Intoleransi Menyeruak, Renovasi Vihara Jiu Tien Kung Sukabumi Ditolak

Loading

SUKABUMI (Independensi)- Pembangunan ulang atau renovasi Rumah Ibadah Istana Langit ke 9 Jiu Tien Kung Kebon Limus, di Kampung Cipari Girang, Kebon Limus, Desa Tenjojaya, Cicurug Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dihentikan.

Renovasi rumah ibadah yang sudah berdiri sejak tahun 1975 ini ditolak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Cicurug.

Penolakan ini disampaikan langsung oleh Ketua MUI Kecamatan Cicurug, KH Endang Sana’ul Azha pada musyawarah di salah satu pondok pesantren yang dihadiri forkompimcam dan kepala desa setempat. Musyawarah membahas keluhan dan penolakan warga serta ormas Islam terkait tidak dipenuhinya persyaratan pembangunan kembali Rumah Ibadah Jiu Tien Kung oleh pihak Yayasan Gema Cita Nusantara.

Menurut KH Endang Sana’ul Azha, ada 6 syarat yang harus ditempuh oleh yayasan tersebut untuk pembangunan kembali Rumah Ibadah tersebut.

“Saat ini, hanya satu yang sudah terpenuhi, yaitu dukungan warga sekitar sementara sisanya tidak dipenuhi. Berarti sudah menyalahi aturan,” jelas KH Endang pada Senin, 20 Juni 2022.

Enam persyaratan tersebut mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah, atau yang secara resmi dikenal sebagai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Selain alasan yang dikemukakan MUI setempat tersebut, kalangan ormas juga menyuarakan penolakan terhadap Rumah Ibadah Jiu Tien Kung, dengan alasan kekhawatiran akan terjadi ‘Buddhaisasi’ terhadap warga Muslim.

Berdasarkan video-video dari kanal youtube Gema Cita Nusantara, terungkap bahwa Rumah Ibadah Jiu Tien Kung itu terdiri dari tiga bagian. Yakni Rumah Ibadah Petilasan Prabu Siliwangi, Vihara Khusus YM Buddha Dewi Welas Asih Kwan Im, serta Jiu Tian Sien Ni (Dewi Langit ke 9).

Untuk diketahui, pada 28 September 2017 sosialisasi rencana renovasi atau pembangunan kembali Rumah Ibadah Kebon Limus sudah dilakukan pihak Yayasan. Namun, beberapa ormas Islam pun sudah menyuarakan penolakan.

Berdirinya rumah ibadah Kebon Limus yang berada di lahan seluas kurang lebih 8.800 meter persegi itu tak terlepas dari keterkaitan tempat tersebut dengan para pemimpin dalam sejarah Tatar Sunda.

Tempat itu diyakini sebagai salah satu petilasan para penguasa tatar Sunda di masa lalu yakni Eyang Raden Semadalan Paku Alam Jaya Kusuma atau Kian Santang, serta Eyang Raden Temanggung Jaya Kusuma atau Prabu Siliwangi.

Tempat itu juga diyakini ada hubungannya dengan Situs Batu Kujang di Desa Cisaat Cicurug yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi Rumah Ibadah Kebon Limus.

Jadi, tampak ada penghormatan dari para pendiri Rumah Ibadah ini terhadap tokoh leluhur masyarakat Sunda. Jadi, rumah ibadah ini didirikan bukan untuk menyembah atau menghormati figur-figur yang dianggap sakral oleh agama Buddha atau keyakinan Tionghoa lainnya.

Hal itu terkonfirmasi oleh Ketua FKUB Kabupaten Sukabumi Daden Sukendar. Beliau mengatakan Yayasan Gema Cita Nusantara hanya ingin menjalankan wasiat dari yang mewakafkan sebagian tanah tempat bangunan itu berdiri.

Daden mengatakan Yayasan Gema Cita Nusantara telah membeli seluruh tanah seluas 8.800 meter tersebut dengan syarat harus mempertahankan bangunan di atasnya. Di dalam bangunan itu, kata Daden, ada petilasan Prabu Siliwangi dan tempat meditasi, serta ornamen khas Tionghoa, yang sering disebut sebagian warga sebagai klenteng.

Maksud renovasi pihak yayasan adalah ingin menjadikan tempat itu sebagai wisata religi. Dan setiap orang, dari agama atau etnis apa pun, bisa mengunjunginya. Apalagi kalangan yang menghormati leluhur Sunda seperti Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang.

Keberadaan ruangan khusus petilasan Prabu Siliwangi di Rumah Ibadah Istana Langit ke 9 Jiu Tien Kung ini memang bukan hal aneh. Beberapa rumah ibadah Vihara di daerah Jawa Barat ini, juga memiliki altar khusus untuk memuja Prabu Siliwangi.

Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, atau lebih dikenal dengan nama Wihara Loji di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi contohnya, juga memiliki altar khusus untuk menghormati Prabu Siliwangi.

Vihara Gayatri di Kelurahan Cilangkap, Depok, juga memiliki satu ruang ibadah yang diperuntukkan bagi para leluhur masyarakat Sunda, salah satunya Prabu Siliwangi.

Dan karena itu, yang datang ke Vihara-Vihara itu tak semuanya warga beragama Buddha. Tapi juga warga dari agama-agama lain yang menghormati Prabu Siliwangi.

Dan mereka pun tak menjadi penganut Buddha setelah mengunjungi Vihara-Vihara itu. Sehingga, alasan beberapa kelompok yang menolak Rumah Ibadah Jiu Tien Kung Kebon Limus dengan alasan khawatir terhadap Budha-isasi, tampak seperti ketakutan yang berlebihan dan tak berdasar. Ketakutan, yang sejatinya dipicu oleh pandangan intoleran. (Hiski Darmayana)

5 comments

  1. Takut Budhanisasi?segitu dangkalkah iman masyarakat sekitar? sementara umat minoritas setiap hari mendengar suara adzan namun tidak lantas menjadi muslim

  2. Mohon maaf, ini Negara Republik Indonesia dengan kekayaan perbedaan dan BUKAN negara Islam. Mengapa agama lain ribet dan susah untuk bangun tempat ibadah, sedangkan… Kami Indonesia!

  3. MUI setempat tidak menghargai leluhur. Petilasan Prabu Siliwangi mau dirawat dipugar agar dikenali public dihalangi.
    Atau memang berusaha agar bangsa ini tercerabut dari akar budaya dan sejarahnya?

  4. Bubarkan saja MUI.
    Organisasi yg merupakan sarang radikalis-ekstrimis-intoleran pemecah belah bangsa

Comments are closed.