Jakarta (Independensi.com) – Aparat penegak hukum seringkali menjadi penjaga korporasi yang berhadap-hadapan secara langsung dengan rakyat.
Dan Hukum saat ini tidak lagi berperan sebagai Panglima,tapi justru menjadi alat untuk mengamankan kepentingan korporasi pelaku ekonomi, termasuk ekstraktif (pertambangan).
Hal itu disampaikan Bono Budi Priambodo, Dosen Fakultas Hukum UI, yang juga aktivis lingkungan
Jakarta. Dalam sebuah diskusi daring yang dilangsungkan, Jumat (15/7/2022) petang di Jakarta
Diskusi daring dihelat oleh komunitas Environment Law Society Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta, bertajuk “ Diskusi Publik Konflik Sangihe, Emas dikeruk, Asa Terpuruk.”
Menampilkan tiga pembicara, selain Bono Budi Priambodo, ada, Veive Hamenda,SH Advokat
Perempuan asal Sangihe yang menjadi pengacara penggugat intervensi dalam gugatan masyarakat Sangihe terhadap Ijin Usaha Produksi PT. Tambang Mas Sangihe di PTUN Jakarta, dan Muhammad Jamil, SH, Pengacara muda yang bernaung di bawah organisasi Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM).
Jamil juga turut mengawal sebagai pengacara penggugat intervensi pada gugatan masyarakat Sangihe terhadap Ijin yang dikeluarkan Kementerian ESDM-RI pada 29 Januari 2021.
Diskusi daring yang berlangsung seru ini, dimoderati, Ketua BEM FH UI Adam Putra Firdaus
Dibela Aparat Negara
Bono Budi Priambodo,yang tampil sebagai pembicara pertama , Dalam paparannya, mengangkat tentang posisi hukum pada berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di Indonesia.
Ini terutama saat masyarakat yang berjuang mempertahankan ruang hidup dan lingkungan yang sehat, namun harus berhadapan dengan korporasi yang dibela oleh Aparat Negara.
Bono menyarankan untuk masyarakat Sangihe terus melakukan amplifikasi suara penolakan dengan semakin memperluas basis gerakan melalui perluasan jaringan perjuangan dengan elemen masyarakat di luar pulau Sangihe, termasuk luar negeri.
Ia juga menyarankan agar upaya hukum yang dilakukan tidak hanya dilakukan di PTUN, di wilayah Tata Usaha Negara, tetapi boleh juga dilakukan melalui gugatan perdata.
Sementara Veive Hamenda memaparkan kronologi perjuangan Masyarakat Sangihe dimulai sejak sosialisasi oleh PT. TMS pada 22 – 24 Maret 2021, dilanjutkan dengan pembentukan aliansi Save Sangihe Island (SSI) oleh berbagai organisasi kemasyarakatan yang ada di Pulau Sangihe pada 3 April 2021.
Veive menyatakan bahwa sejak saat itu, berbagai bentuk perjuangan dilakukan baik melalui aksi massa, upaya litigasi di pengadilan serta membangun jaringan dengan berbagai tokoh maupun lembaga di luar pulau Sangihe.
“Yang terakhir dilakukan masyarakat Sangihe melalui SSI adalah mendatangi sejumlah lembaga setingkat Kementerian di Jakarta pada awal bulan Juli 2022,”ujarnya
Ditambahkan, Pada saat yang sama para utusan SSI bersama keluarga besar masyarakat Sangihe melakukan aksi damai di depan Kementerian ESDM RI dan Kedutaan Besar Kanada pada 7 Juli 2022 lalu
Sementara Muhammad Jamil, memaparkan upaya-upaya yang dilakukan dalam advokasi terhadap persoalan tambang Sangihe selama ini.
Menurutnya dalam hal kasus pulau Sangihe, berbagai elemen masyarakat terlibat secara bersama dalam mempertahankan pulau Sangihe yang 57 % dari total 736,98 Km2 luas pulaunya, atau setara dengan 42.000 Ha telah diserahkan Negara menjadi konsesi PT. TMS.
“Bahkan bukan hanya pulau Sangihe, tapi juga beberapa pulau lain seperti pulau Mahumu, Batunderang, Lenggis dan Laotongan,” tambah Muhammad Jamil
Ia menekankan bahwa, perjuangan mempertahankan ruang hidup seperti pada masyarakat Sangihe tidak boleh hanya dilakukan di ruang sempit pengadilan yang beresiko terjadi manipulasi dan disusupi oleh oknum mafia hukum.
Karena itu, berbagai kampanye dan perluasan gerakan perlu terus dilakukan.
Inisiator Save Sangihe Island, Jull Takaliuang, diberi kesempatan untuk bicara, memaparkan bahwa perjuangan yang dilakukan selain melalui gugatan di PTUN Jakarta juga melalui gugatan Ijin Lingkungan oleh 56 perempuan asal desa Bowone terhadap Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Utara, di PTUN Manado.
Hasilnya, Majelis Hakim PTUN Manado pada amar putusannya mengabulkan tuntutan para perempuan Desa Bowone dengan membatalkan, mencabut, serta menunda pelaksanaan Ijin Lingkungan tersebut sampai ada keputusan hukum berkekuatan tetap.
“ Ini kemudian menjadikan PT. TMS tidak lagi memiliki legalitas dalam beroperasi di Pulau Sangihe. Karena dasar dari penerbitan IUP adalah adanya ijin lingkungan.
Ketika Ijin Lingkungan dicabut dan ditunda pelaksanaannya maka, IUP yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM RI kepada PT. TMS menjadi tidak sah secara hukum, karena tidak memiliki dasarnya lagi, “ jelas Jull Takaliuang
Pada bagian akhir, Bono Budi Priambodo mendorong agar para mahasiswa Fakultas Hukum UI yang juga merupakan adik tingkatnya itu untuk bersedia menjadi volunteer yang akan mengawal perlawanan masyarakat Sangihe terhadap eksploitasi oleh PT. TMS ini. (edl)