BANTUL (Independensi)- Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) menyatakan, seorang siswi kelas X SMAN 1 Banguntapan Bantul, DIY mengaku mengalami depresi usai dipaksa mengenakan jilbab di sekolahnya.
AMPPY mengungkapkan, siswi itu mengaku dipaksa memakai hijab sebagai salah satu bagian seragam wajib ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Yuliani, koordinator AMPPY selaku pendamping siswi menceritakan, peristiwa bermula ketika siswi tersebut menjalani hari pertama MPLS tanggal 18 Juli 2022. Yang bersangkutan masuk seperti biasa tanpa mengenakan hijab.
Setelahnya, siswi berusia 16 tahun itu menerima pesan undangan panggilan ke ruang Bimbingan dan Konseling (BK) via WhatsApp.
“Kemudian tanggal 19 (Juli) menurut WA di saya ini, anak itu dipanggil di BP (BK) diinterogasi tiga guru BP. Bunyinya itu, kenapa enggak pakai hijab?,” kata Yuli di Kantor Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY, Sleman, Jumat (29/7).
Siswi itu berkata kepada Yuli, saat itu dia menjawab belum berkenan mengenakan hijab. Sekalipun ayahnya sebenarnya telah membelikannya jilbab yang dijual sekolah sebagai salah satu atribut wajib siswa/siswi SMAN 1 Banguntapan.
“Dia belum mau. Itu kan enggak apa-apa, hak asasi manusia,” katanya.
Yuli dalam hal ini berpegangan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tidak ada kewajiban model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.
Sekolah juga tidak boleh melarang jika peserta mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu berdasarkan kehendak orang tua, wali, dan peserta didik yang bersangkutan.
Namun, lanjut Yuli, di ruang BK, siswi itu mengaku terus dikorek keterangannya hingga merasa tersudut. Akhirnya, oleh salah seorang guru di sana ia dipakaikan hijab.
“Lha terus kamu kalau enggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab, gitu?” kata Yuli menirukan salah satu pertanyaan guru kepada sang siswi.
“Nah itu sudah. Gurunya makein ke si anak itu. Itu kan namanya sudah pemaksaan,” sambungnya.
Siswi itu mengaku, di sela-sela pemeriksaan oleh BK kemudian meminta izin pergi ke toilet. Kata Yuli, siswi itu lalu menangis selama sekitar satu jam.
“Izin ke toilet kok enggak masuk-masuk kan mungkin BK ketakutan terus diketok, anaknya mau bukain pintu dalam kondisi sudah lemas terus dibawa ke UKS. Dia baru dipanggilkan orang tuanya,” ungkap Yuli.
Yuli memperkirakan siswi itu mengalami trauma usai dua kali dipanggil oleh BK untuk persoalan yang sama. Pada tanggal 24 Juli kemarin ia disebut mengurung diri seharian di kamar rumahnya.
Pada 25 Juli Mawar jatuh pingsan saat mengikuti kegiatan upacara bendera. Kata Yuli, pihak sekolah tak melaporkan kejadian ini ke pihak wali murid.
Siswi itu sempat tak mau makan setelahnya. Bahkan, anak semata wayang ini tidak mau berbicara kepada orangtuanya.
“Jadi kemarin saya sudah dipertemukan pihak sekolah oleh dinas (Dinas Pendidikan dan Olahraga DIY). Saya minta dipertemukan, yang datang dinas dan BP. Seolah-olah dia (BK) mengkambinghitamkan bahwa ini adalah ada persoalan di keluarga,” urai Yuli.
Padahal, kata Yuli, sudah sejak duduk di bangku SMP, siswi itu tak berhijab. Sehingga baginya argumen masalah keluarga itu tidak valid.
Menimbang ketidaknyamanan siswi tersebut, ke depannya, AMPPY meminta Dinas Pendidikan Bantul turun tangan menangani perkara ini. KPAI turut dilibatkan untuk membantu manakala siswi tersebut akhirnya terpaksa harus dipindah dari satuan pendidikan tersebut.
“Tapi anaknya jelas sudah sangat trauma ya. Sampai sekarang aja belum masuk. Trauma dia tidak mau sekolah di situ. Okelah pasti nanti kita pindah karena KPAI saya libatkan, ORI juga terlibat karena menurut dilihat fotonya itu si anak depresi berat,” imbuh Yuli.
Kini kondisi psikis siswi itu mulai membaik dan sudah bisa diajak berkomunikasi. Bagaimanapun, AMPPY tetap menyayangkan kebijakan SMAN 1 Banguntapan, apalagi memungkiri soal pemaksaan pemakaian hijab kepada Mawar dan soal adanya aturan wajib pembeliannya jilbab di sekolah.
“Kemarin, sekolah sempat berdebat bahwa tidak ada pemaksaan. Lalu saya tunjukkan pemaksaannya. Kalau tidak pemaksaan, kalau tidak ada pemaksaan Kenapa sekolah membikin hijab yang ada labelnya sekolah. Dari situ jelas pemaksaan,” tegas dia.
“Iya wajib dibeli (di sekolah). Dari situ sudah jelas, kalau dia memaksakan kenapa bikin hijab. Dan itu kan sudah melanggar di aturan PP dan Permendikbud itu kan jelas enggak boleh kayak gitu,” pungkasnya. (Hiski Darmayana)