Muhammad Mustofa

Expertology Dalam Pembuktian Ilmiah

Loading

Oleh : Prof DR Muhammad Mustofa

KETERANGAN ahli untuk membuat terang perkara kejahatan semakin dibutuhkan dalam pembuktian terjadinya kejahatan.

Namun demikian metode dan kesimpulan yang dihasilkan oleh ahli tidak  akan  mudah dipahami oleh awam, karena untuk memperoleh keahlian tersebut memerlukan Pendidikan dan pelatihan secara profesional.

Menurut Rueschemeyer (1977) ciri dari profesi ahli adalah: 1) menerapkan pengetahuan secara sistematis untuk memecahkan masalah, dan 2). relevan dengan nilai-nilai utama masyarakat.

Pembelajaran profesional yang menghasilkan kompetensi menghasilkan masalah dalam pengendalian sosial, tentang benar tidaknya hasil kerja profesi.

Orang awam tidak dapat menilai kinerja profesional. Orang awam juga tidak tahu tujuan profesi.

Pengendalian sosial terhadap profesi hanya dapat dilakuan oleh organisasi profesinya.

Ilmu pengetahuan ilmiah yang dipergunakan sebagai alat bantu dalam pembuktian ilmiah terhadap suatu peristiwa kejahatan dikenal sebagai kriminalistik.

Ia juga disebut sebagai ilmu-ilmu forensik. Kriminalistik ini meliputi antara lain, kedokteran forensik (bedah mayat/autopsi), kimia forensik (penelitian racun, narkotika dsb), balistik (penelitian peluru), daktiloskopi (sidik jari), graphologi (ilmu tentang ciri-ciri tulisan) dsb.

Kriminalistik ini dipergunakan oleh polisi untuk mengungkapkan suatu peristiwa kejahatan.

Semua ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipergunakan untuk mengungkap peristiwa kejahatan yang terkait dengan bidang ilmiah ilmu pengetahuan ilmiah tertentu.

Misalnya geologi dapat dipergunakan untuk mengungkap jenis tanah yang ditemukan pada korban kejahatan.

Pengetahuan telematika dapat dipergunakan untuk mengungkap cyber crime, dsb.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang peradilan membutuhkan pengetahuan dari bidang non hukum tersebut untuk melakukan pembuktian ilmiah.

Yang menjadi masalah kemudian adalah Para praktisi hukum (Hakim, Jaksa,  Advokat,  Polisi) tidak mempunyai pengetahuan tentang bekerjanya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Untuk memperoleh keadilan substantif atau keadilan ilmiah, dalam proses hukum memerlukan bantuan ahli untuk membuat terang perkara.

Hakim sebagai pengambil keputusan dalam perkara hukum yang diperiksanya harus mengambil keputusan yang benar atau obyektif sesuai dengan bekerjanya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Timbul masalah bila ada dua atau lebih ahli dari bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama,  dalam memberikan keterangan tentang peristiwa hukum  yang dipersoalkan memberikan keterangan yang saling berbeda di depan sidang pengadilan.

Keterangan ahli tentang sesuatu yang sesuai dengan kompetensinya tidak dijamin selalu benar. Menurut Dahlman dan Wahlberg (2015) banyak ahli yang telah mengkonfirmasi hal tersebut.

Mengandalkan keterangan ahli secara membabi buta sangat membahayakan, apalagi bila keterangan para ahli saling berbeda.

Solusi dalam menghadapi hal tersebut adalah bahwa para hakim (terutama), adalah dengan cara menilai reliabilitas dari ahli yang memberikan keterangan, bukan menilai keterangannya yang kemungkinan besar tidak dipahami oleh hakim.

Walton dan Goldman (2015) mengembangkan metodologi dalam menilai keterangan ahli.

Sementara itu, Dahlman dan Wahlberg (2015), selain mempergunakan metode Walton dan Goldman, mengembangkan suatu pendekatan Bayesian (Model Matematis) untuk menilai reliabilitas ahli.

Dikatakan bahwa terdapat sejumlah isu yang harus dipertimbangkan dalam menilai obyektivitas keterangan ahli.

  1. Bagaimana menilai bahwa suatu keterangan ahli dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya.
  2. Bagaimana membedakan antara ahli asli dan ahli palsu.
  3. Bagaimana membedakan antara ahli yang sangat reliabel dan ahli yang kurang reliabel.
  4. Apa yang merupakan kriteria reliabel dan tidak reliabel yang dapat dipergunakan oleh orang yang tidak ahli di bidang tersebut.
  5. Meskipun para praktisi hukum tidak mempunyai pengetahuan bidang yang dipertanyakan, adalah beralasan untuk percaya kepada ahli.

Isu-isu tersebut merupakan perhatian dari expertology. Expertology adalah metode untuk menilai ahli dan keterangan ahli.

Secara sadar atau tidak sadar, hakim atau legislator telah membuat kriteria  tentang keterangan ahli.

Kriteria utamanya adalah membedakan antara ilmu ilmiah dengan pseudo ilmu.

Kriteria ilmiah yang menjadi yurisprudensi di AS, adalah bahwa “keterangan ahli harus berdasarkan asas-asas ilmiah dan temuan-temuan yang telah mapan dan diterima dalam bidang ilmiah tertentu.” (Dahlman, Wahlberg, 2015).

Kriteria lain merujuk pada pemikiran Karl Popper dan Carl G Hempel yaitu ditengarai pada keterujian (testable), peer review, error rate, dan diterima secara umum (oleh masyarakat ilmiahnya) (Dahlam, Wahlberg, 2015).

Walton mengajukan sejumlah pertanyaan expertology yang dapat dipergunakan oleh bukan ahli (awam), yaitu:

  1. Pertanyaan Eskpertis: Seberapa kredibel Ahli tersebut merupakan nara ahli?
  2. Pertanyaan Bidang: Apakah Ahli tersebut merupakan ahli dalam bidang tersebut?
  3. Pertanyaan Opini: Apa pernyataan Ahli tentang hal yang dipertanyakan?
  4. Pertanyaan Keterpercayaan: Apakah secara personal Ahli tersebut merupakan nara ahli yang reliabel?
  5. Pertanyaan Konsistensi: Apakah pernyataan Ahli tersebut konsisten dengan pernyataan ahli yang lain?
  6. Pertanyaan Bukti Pendukung: Apakah pernyataan Ahli tersebut berdasarkan pada bukti ilmiah?

(Walton, 1997, 2006; Gooden dan Walton, 2006).

Goldman (2001) membuat kriteria expertology yang dapat dipergunakan oleh awam berdasarkan pertimbangan tentang:

  1. Argumen-argumen yang diberikan oleh ahli-ahli lain (pihak lawan).
  2. Kesepakatan dari ahli-ahli lain yang dipertanyakan.
  3. Penilaian keterangan ahli oleh “meta-expert”.
  4. Bukti-bukti kepentingan dan bias ahli.
  5. Rekam jejak masa lalu

( Goldman, 2001)

Harus dibedakan antara argumen tentang subyek dan keterangan (ad rem),  dari argumen tentang orang yang memberikan pernyataan/ keterangan (ad hominem).

Ad hominem adalah pertanyaan tentang reliabilitas ahli yang dipertanyakan. Ad hominem  merupakan atribusi-atribusi yang diterakan kepada orang (ahli) yang dipertanyakan yang berdampak kepada reliabilitas ahli tersebut (Walton, 1998; Dahlman et.al. 2011; Yap, 2013).

Ad hominem positif  berarti bahwa ahli tersebut lebih reliabel, sedangkan ad hominem negative berarti bahwa ahli tersebut kurang reliabel (Dahlman, et.al. 2011). Ad hominem adalah benar apabila atribusinya menunjukkan bahwa pengakuan kebenaran benar-benar reliabel.

Ad hominem salah apabila atribusinya tidak berhubungan dengan realiabilitas orang yang dipertanyakan, atau atribusi terhadap orang tersebut dilebih-lebihkan (Dahlman, et.al. 2011).

Expertology mempersoalkan reliabilitas ahli. Realibilitas mengandung baik komponen epistemic/kognitif maupun moral/motivasional (Hardwig, 1991; Solomon, 1992).

Demikian pula ad hominem berhubungan dengan kompetensi dan motivasi. Kompetensi berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan dan pengalaman.

Motivasi berhubungan dengan obyektifikas dan dedikasi ahli (tidak bias, tidak punya pamrih pribadi).

Keterangan ahli kemungkinan akan memperoleh sanggahan dari ahli lain. Dapat dikatakan bahwa rendahnya kompetensi dan motivasi akan menurunkan tingkat kepercayaan kepada keterangan ahli.

Nilai pembuktian dari keterangan ahli tercermin dalam rasio  kebolehjadian. Apabila kompetensi ahli tidak mencukupi, rasio kebolehjadian menurun.

Besaran penurunan dan mekanismenya tergantung pada kesadaran ahli bahwa ia tidak mempunyai kompetensinya serta kesadarannya bahwa ia khawatir akan dapat memberikan keterangan yang tidak benar.

Kekurangan kompetensi, kesadaran dan kehati-hatian pada umumnya tidak mempengaruhi rasio kebolehjadian, karena biasanya ia menolak menjadi ahli.

Mudah-mudahan pengetahuan tentang expertology ini dapat dijadikan pedoman dalam pembuktian ilmiah suatu peristiwa kejahatan.

Penulis adalah dosen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia