JAKARTA (Independensi)- Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP-GMNI) menanggapi kebijakan Pemerintah Pusat yang menambahkan 3 Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua menjadi 5 Provinsi di Tanah Papua yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Papua Pegunungan.
Ketua Bidang Organisasi DPP GMNI, Yoel Finse Ulimpa, menanggapi positif terkait pemekaran di 3 DOB tersebut.
“Pemekaran tersebut pasti sudah dikaji matang-matang oleh pemerintah pusat dari beberapa aspek, salah satunya aspek percepatan pembangunan di Tanah Papua. Menurut saya, hal ini akan berdampak positif pada percepatan dan pemerataan pembangunan di Papua,” kata Yoel.
Yoel Finse Ulimpa yang merupakan Putra Asli Papua ini mengingatkan pemerintah pusat, dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, agar memperhatikan Putra/i Orang Asli Papua (OAP) yang netral untuk mengisi pejabat (Pj) Gubernur di 3 DOB tesebut.
“Dalam mengisi posisi Pj Gubernur di 3 DOB tersebut, saya menilai Pak Mendagri Tito Karnavian perlu mengakomodir Orang Asli Papua, bukan hanya untuk mengantisipasi gejolak di Papua, tetapi karena itu sudah diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus pada BAB IV Pasal 12 bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur harus diisi oleh Orang Asli Papua.” tegas Yoel.
“Jika mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pengisian kekosongan Pj Gubernur, sudah diatur dengan jelas, yang berhak adalah mereka yang aktif sebagai ASN di Kementerian dan harus mempunyai golongan Eselon 1, itu syaratnya,” tambahnya.
Bila mengacu pada persyaratan diatas, saat ini hanya 1 OAP yang memenuhi kriteria persyaratan diatas, yaitu Velix Vernando Wanggai, yang saat ini menjabat sebagai Staf Perencana pada Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Jika saat ini hanya Velix Vernando Wanggai yang memenuhi syarat, artinya dua daerah DOB lainnya akan terdapat kekosongan. Bila pemerintah pusat mengambil kebijakan berdasarkan golongan untuk mengisi kekosongan tersebut, maka kemungkinan Kemendagri akan mengutus orang dari pusat yang dianggap layak. Hal ini yang menurut Yoel akan ditentang oleh masyarakat Papua.
Yoel mengingatkan kembali bahwa pada saat proses pengambilan keputusan tentang pemekaran 3 DOB di Papua telah banyak menuai aksi protes keras dari masyarakat Papua. Menurut Yoel, bila pemerintah pusat bersikeras akan menempatkan yang bukan OAP sebagai Pj Gubernur, hal ini akan menimbulkan penolakan dari masyarakat Papua dan menjadi sumber permasalahan baru di Papua.
“Keputusan tentang Pemekaran 3 DOB di Papua saja, sudah banyak orang Papua yang melakukan aksi protes. Jika Pj Gubernur tidak diisi oleh OAP, maka kita bagai menunggu bom waktu saja berbagai gelombang aksi penolakan yang lebih besar akan muncul. Hal ini tentu akan menjadi sumber permasalahan baru, tidak hanya bagi pemerintah pusat, namun juga bagi masyarakat Papua,” ujar Yoel.
Menurut Yoel, dalam menentukan Pj Gubernur untuk 3 DOB di Papua, selain dari persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, pemerintah pusat juga perlu mempertimbangkan berbagai aspek lain, seperti politik kultural, aspek kemampuan orang-orang asli Papua yang dianggap mampu di Daerah meskipun dari sisi kepangkatan belum memenuhi standar, tapi dia mampu dan layak menjadi panutan di daerah. Tokoh itu, lanjut Yoel, bisa didorong guna memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Papua.
“Kami mendesak agar Papua diberi kewenangan khusus untuk mengatur wilayah tersebut, bila perlu Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Permendagri untuk pengisian posisi Pj Gubernur di 3 DOB Papua, sehingga bisa mengakomodir OAP yang dianggap netral dan layak untuk menjadi Pj Gubernur. Posisi lain dalam setiap instansi-instansi di tiap DOB boleh diisi oleh orang-orang yang berkemauan dan berkemampuan yang tak harus berasal dari Orang Papua, namun untuk posisi Gubernur, harus dari OAP,” ungkapnya. (Hiski Darmayana)