JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan sanksi pidana paling tepat diterapkan untuk subyek hukum korporasi adalah optimalisasi pengembalian atau pemulihan kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatan pidana korporasi.
“Serta terciptanya kembali harmonisasi kehidupan di masyarakat yang sebelumnya terkoyak oleh tindak pidana yang dilakukan korporasi,” kata Jaksa Agung saat menghadiri pengukuhan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep Nana Mulyana sebagai Profesor Kehormatan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bidang Ilmu Hukum di Gedung Ahmad Sanusi UPI, Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/8).
Jaksa Agung beralasan ada kondisi dilematis antara kepentingan pemidanaan dengan menjaga kelangsungan hidup korporasi dalam kaitan penegakan hukum dengan tindak pidana korporasi.
“Karena pemidanaan korporasi tidak semata-mata persoalan hukum, tapi juga persoalan sosial kemasyarakatan,” katanya dalam ulasan pidato ilmiah “Penegakan Hukum Integral Menuju Keadilan Transformatif Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Pidato Ilmiah Pengukuhan Profesor Kehormatan UPI Bidang Ilmu Hukum Asep Nana Mulyana, dengan tema “Rancang Bangun Model Integratif Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Korporasi Dan Bisnis”.
Dia menyebutkan pemidanaan yang lebih mengutamakan pendekatan pembalasan akan menghadirkan dampak negatif lebih banyak. “Terutama terhadap orang-orang yang tidak berdosa yang bergantung hidupnya kepada korporasi.”
Oleh karena itu, tutur Jaksa Agung, pemidanaan terhadap korporasi khususnya sanksi penutupan korporasi hendaknya dilakukan secara hati-hati, cermat dan bijaksana karena dampaknya sangat luas.
“Jangan sampai orang-orang yang tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham, konsumen dan pihak-pihak yang bergantung kepada korporasi termasuk pemerintah menjadi korban sebagai pihak yang dirugikan,” ujar mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.
Dia sebelumnya mengatakan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
“Sehingga mendorong pemikiran subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tidak pidana tertentu dapat pula dilakukan korporasi,” katanya.
Namun, tutur dia, korporasi sebagai subyek hukum non alamiah tidaklah mungkin diterapkan sanksi pidana yang hanya dapat diterapkan pada subyek hukum manusia, misalnya hukuman mati, penjara, maupun kurungan.
Oleh karena itu Jaksa Agung, pendekatan ekonomis yang berporos pada perhitungan efektivitas dan efisiensi penegakan hukum perlu dipertimbangkan dalam pemidanaan korporasi.
Pendekatan ekonomis, kata dia, tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dengan hasil yang ingin dicapai. “Tapi juga mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri,” ujarnya.
Bertolak dari pandangan itu, kata dia, hendaknya pemidanaan korporasi dalam perspektif penegakan hukum integral lebih diarahkan pada pencapaian keadilan transformatif dimana pihak-pihak yang berkonflik saling memberikan keadilan satu sama lain.
“Sehingga tercipta kembali keharmonisan di masyarakat, dengan kewajiban utama korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah mengembalikan kerugian yang ditimbulkan,” ucap Jaksa Agung.
“Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam perspektif penegakan hukum integral, tentunya tidak hanya untuk memulihkan keadaan seperti semula. Namun juga guna mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan nasional,” katanya.
Dia menyebutkan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah terutama dalam sektor padat karya, menghendaki korporasi untuk berupaya maksimal menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta terciptanya kondisi yang memungkinkan partisipasi dan kesempatan berusaha secara adil bagi masyarakat.
Selain itu, Jaksa Agung mengatakan pemidanaan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana juga mempertimbangkan untuk terwujudnya stabilitas ekonomi dan mengantisipasi krisis di berbagai bidang, sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan korporasi.
Menurutnya pembaharuan hukum pidana korporasi yang holistik harus diwujudkan dengan menyelaraskan seluruh sistem hukum yang ada meliputi subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum secara integral. Hal demikian, dengan tetap mempertimbangkan dampak dari pemidanaan terhadap korporasi itu sendiri.
“Kiranya ke depan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan penegakan hukum integral untuk mencapai keadilan tranformatif. Dengan pendekatan ini diharapkan akan menciptakan suatu tatanan kehidupan yang ajeg yang mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi korporasi dan masyarakat, sekaligus mampu memberikan manfaat nyata untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Jaksa Agung.
Dia pun berharap pemikiran Profesor Asep Nana Mulyana ke depan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif dalam menyusun arah politik hukum khususnya untuk pembangunan dan pembaharuan hukum di Indonesia.
“Selain itu dapat menjadi sumber kajian untuk kemudian dapat diejawantahkan oleh para akademisi dan praktisi hukum,” ucap Jaksa Agung seraya mengharapkan semoga dengan amanah yang diemban Asep Nana Mulyana sebagai Profesor UPI Bandung dapat terus memberikan karya nyata yang diiringi dengan kerja nyata dan kerja tuntas bagi penegakan hukum di Indonesia.(muj)