JAKARTA (Independensi.com) – Analis Senior Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan anggota kepolisian berhak menolak perintah jika melanggar hukum, seperti perintah Irjen Freddy Sambo untuk membunuh Brigadir Josua.
“Kepolisian secara prinsip tidak mengenal Chain of command, polisi tidak tunduk pada komando namun tunduk pada undang-undang dan hukum,” ungkapnya, baru-baru ini.
Menurut Connie Rakahundini, argumentasi Chain of Command-Unity of Command mengindikasikan pola berpikir militer dalam domain militer, bukan tata berpikir sipil dalam domain sipil. Sementara kepolisian secara prinsip tidak mengenal Chain of command, polisi tidak tunduk pada komando namun mereka tunduk pada undang-undang dan hukum; Bahkan mereka berhak menolak perintah jika perintah tersebut melanggar hukum.
Maka, lanjutnya, mengapa manajemen kepolisian yang umum, bersifat tidak luas (lokal) dan pendek jenjang hirarkinya, namun sangat fokus pada penguasaan teritorialnya. Konsekuensinya adalah petugas kepolisian biasanya berasal dari wilayah kerjanya, sehingga memiliki kemampuan pemahaman sosial kultural dan penguasaan teritorial yang lebih baik.
Connie juga menjelaskan pada seorang Presiden melekat dua fungsi yaitu Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Akademisi Hendarmin Ranadireksa (2007) menyatakan satu-satunya alat negara yang berada dibawah Kepala Negara (Raja, Kaisar, Ratu atau Presiden) adalah militer dalam artian Komando Tempur, bukan artian Administratur yang berada dibawah Kemhan. Sementara sisanya (Kementerian/Instansi/Lembaga) berada di bawah Kepala Pemerintahan (bisa Perdana Menteri atau bisa dirangkap Presiden).
Ini menjelaskan dengan sangat clear mengapa Kepolisian tidak berada di bawah Presiden dalam dua sistem bernegara, yaitu Presidensil dan Parlementer.
Terkait, pasal 30 UUD 45 (TNI & Polri sebagai komponen utama) bisa jadi dasar legitimasi Polri untuk act as Military, Connie mengatakan interpretasi tentang wajib bela negara secara universal adalah partisipasi atau ikut dalam Angkatan Perang (Militer atau TNI jika di Indonesia), ketika negara dalam kondisi perang. Jadi, jelas, maksudnya bukan militerisme kepolisian.
“Argumentasi tugas dan tanggung jawab POLRI yang besar tidak berarti harus mendapatkan kewenangan yang maha luas dan tanpa terkendali. Itu semua kewajiban kita untuk turut menjaganya. Sebagaimana ungkapan terkenal : Powers tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely,” ujarnya.
Terkait kasus Ferdy Sambo alias FS, Connie menjelaskan kasus Sambo adalah konsekuensi logis dari prinsip Komando militer yang hirarkis (catat: bukan generalisir). Sehingga sejak awal kasus ini muncul, saya sudah sampaikan jika prinsip Komando Militer itu masih tetap dibiarkan berada di dalam kepolisian, maka selama itu akan selalu ada potensi untuk dapat diselewengkan, dan dapat menyeret korban berbentuk ‘rombongan’ dari dalam kepolisian sendiri, sebagaimana dalam kasus Sambo
Inilah yang harus publik perhatikan dan dapat dibahas terbuka demi kebaikan Polri sendiri dan kesempurnaan kita dalam bertata negara, untuk kemudian dari pembahasan tersebut dapat dilakukan reformasi dan restrukturisasi secara mendasar. Dengan menanamkan kembali prinsip mendasar bentuk dan sistem kepolisian sipil.
“Dari semua prinsip dan asas kepolisian universal yang saya jelaskan ini, akan sangat menjadi aneh ketika kita menolak untuk diperbandingkan dengan alasan “Polri kita punya karakteristik yang khas”. Kalau argumennya sekedar, karateristik khas, hati hati loh karena karakteristik khas itu kan bisa luas jabarannya: aneh, nyentrik, ajaib, or worst “gila”, hahaha….. jangan sampai kan?,” ungkapnya.
“Justru karena kita mencintai garda terdepan bangsa kita, TNI dan Polri, maka kita harus terus mengawal kesempurnaan dan kernormalan mereka,” pungkasnya.