JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin kemungkinan akan merevisi pesyaratan substantif yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
“Persyaratan substantif yang akan direvisi seperti ancaman hukuman maksimal lima tahun dan jumlah kerugian Rp2,5 juta,” ungkap Jaksa Agung dalam keterangan persnya secara tertulis, Jumat (21/04/2023).
Jaksa Agung menyebutkan revisi perlu dilakukan setelah melihat perkembangan hukum saat ini dan persyaratan substantif tersebut sudah tidak relevan kagi. “Karena jika bicara tentang keadilan, maka tidak bisa dikaitkan dengan angka. Tapi nurani dan kondisi riil para pihak dalam perkara tesebut,” ujarnya.
Dia pun menyebutkan selama bulan suci Ramadhan ini telah mendorong Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) untuk memperhatikan penegakan hukum humanis yakni penghentian perkara melalui keadilan restoratif.
“Ini adalah kesempatan bagi kita untuk mempertemukan mereka yaitu tersangka dengan keluarga. Sehingga pendekatan dengan korban dan keluarga korban menjadi sangat berarti dalam mendapatkan kata maaf, sebab kunci utamanya adalah perlindungan terhadap korban,” ujar Jaksa Agung.
Oleh karena itu, ungkapnya sejak awal Ramadhan 22 Maret 2023 hingga 17 April 2023 sebanyak 228 perkara telah dihentikan melalui keadilan restoratif. “Sehingga mereka yang dihentikan perkaranya tidak perlu melanjutkan prosesnya sampai pengadilan dan dapat kembali berkumpul bersama keluarga untuk merayakan hari raya Idul Fitri.”
Dia menambahkan keberhasilan penyelesaian perkara melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif bukan hanya menjadi catatan Kejaksaan Agung. “Tetapi hikmahnya adalah membuka pintu maaf bagi mereka yang melakukan kejahatan,” ujarnya.
Jaksa Agung menyebutkan juga konsep dari penegakan hukum humanis adalah memanusiakan manusia. “Sehingga melalui keadilan restoratif memberikan perlindungan dan perbaikan terhadap korban untuk memperoleh kesepakatan damai guna meminimalisir terjadinya resistensi dimasyarakat, serta berdampak mengurangi biaya penanganan perkara,” tuturnya.
Dia menegaskan sistem ini sudah mulai dianut beberapa negara sistem hukum anglo saxon dan juga diadopsi oleh negara-negara penganut sistem hukum eropa kontinental. “Dalam penegakan hukum modern, keadilan tidak memiliki batasan sistem, tetapi lebih memperhatikan pada kebutuhan masyarakat modern akan keadilan,” ujar mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ini.(muj)