Pekanbaru (Independensi.com) –Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 yang ditetapkan 15 Mei 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, merupakan terobosan pemerintah memberikan manfaat dari hasil sedimentasi laut untuk kepentingan negara, pemerintah dan dunia usaha lainnya.
Apalagi jika sedimentasi mengakibatkan pendangkalan alur kapal, ini bisa berbahaya, ini yang perlu di ambil.
Perlu dipahami, makna sedimentasi itu sendiri jangan hanya memahami pasir kita keruk seperti pasir yang ada di darat dan ekspor.
Harus kita garis bawahi bahwa sedimentasi di laut itu adalah material alam / pasir yang bisa berasal dari alam menuju sungai serta menuju laut, hingga terjadi endapan (sedimentasi) penumpukan akibat pertemuan arus.
Sedimentasi juga bisa membersihkan biota laut termasuk karang karena tertimbun oleh pasir / sedimentasi.
Itu yang harus kita manfaatkan, dan peraturan pemerintah itu juga mengharuskan adanya kajian ilmiah dengan menyusun dokumen dari berbagai aspek termasuk lingkungan dan masyarakat pesisir, jadi bukan asal ambil saja.
Baca utuh PP-nya, apalagi kita butuh reklamasi untuk pembangunan dan kepentingan pemerintah dan usaha, mau ambil dari mana.
Hal itu dikatakan Ing Iskandarsyah – pengamat maritime Provinsi Kepulauan Riau menjawab pertanyaan Independensi.com melalui WhatsAap, Kamis (2/6).
Lebih lanjut Iskandarsyah mengatakan, sampai sekarang belum ada izin eksport, yang ada baru peraturan pemerintah (PP) yang isinya membuka peluang ekspor jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Khusus di Provinsi Kepulauan Riau, dengan keluarnya PP 26 itu, sangat di untungkan, karena ada kebutuhan reklamasi di Kepri terutama di Batam.
Jika ada kelebihan, bisa kita ekspor ke Singapore karena mereka juga butuh, tapi izin ekspor harus lebih dulu di urus di kementerian perdagangan, bukan di KKP.
Terkait adanya larangan atau penghentian sementara tahun 2003 melalui surat keputusan (SK) Memperindag 117/MPP/Kep/2/2003 tentang penghentian sementara, perlu di ingat bahwa waktu itu belum ada terbit undang-undang (UU) pengelolaan pulau-pulau kecil dan pesisir.
Dan di Kepulauan Riau saat itu belum ada peraturan daerah (Perda) RZWP3K/Tata Ruang Laut.
“Saya lahir dan besar di Kabupaten Karimun, setahu saya, tidak ada pulau yang tenggelam.
Mungkin ada pulau kecil yang diambil pasir daratannya (cut in fill) dan akibat global warning sehingga permukaan laut naik ,” ujar Iskandarsyah.
Lebih lanjut Iskandarsyah menjelaskan, bahwa sebelum izin ekspor diterbitkan, perlu dikaji dari aspek sosial, lingkungan masyarakat, aspek pertanahan dan keamanan negara.
Menurut saya kata Iskandasyah, peraturan daerah rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Kepulauan Riau sudah memberikan jawaban dari semua aspek.
Jika ada yang mau memanfaatkan aspek bisnis, menurut saya apa salahnya, imbuhnya.
Kita harus memahami bahwa pasir laut Kepri berasal dari alam akibat sedimentasi, adalah pemberian Tuhan untuk masyarakat Prov Kepri dan harus di manfaatkan untuk kepentingan negara, daerah dan masyarakat selama mengikuti aturan dengan tidak mengabaikan terutama aspek lingkungan dan nelayan.
“Pasir laut Kepulauan Riau akibat sedimentasi adalah harta karun pemberian Tuhan untuk masyarakat Kepulauan Riau,” tegasnya.
Perlu dipahami bahwa dalam Perda RZWP3K sudah terencana wilayah usaha pertambangan, yang sudah di plot antara lain Karimun, Lingga, dan Batam.
Sementara Karimun dan Lingga adalah kawasan timah laut yang pada prinsipnya juga berbentuk seperti pasir hitam.
Untuk wilayah Batam, sedikit saja dan Batam pun daerah industry dan perlu karena banyak yang mau di reklamasi.
Untuk yang terkait sedimentasi kata Iskandar, semua kabupaten kota ada, terutama untuk wilayah Natuna, Anambas, Bintan.
Sedangkan Tanjung Pinang sebaiknya untuk tambang tapi untuk sedimentasi silahkan dikaji dulu.
Ditanya terkait potensi penerimaan negara bukan pajak, menurut Iskandarsyah tinggal di koordinasikan saja seperti migas bagi hasilnya berapa atau kesepakatan seperti dana hibah dari hasil pasir laut dari pusat ke Kepri.
“Jika dilihat dari kebutuhan total Singapore 1,25 milyar M3, pemerintah dapat 40 ribu saja dalam bentuk bukan pajak, kini sama dengan 50 triliun. Dana CSR, lingkungan hidup diberikan sama Kepri untuk kepentingan masyarakat 20 ribu, maka kita dapatkan 25 triliun,” kata Iskandarsyah.
Terkait nelayan, kata iskandarsyah, wajib diperhatikan untuk pemberdayaan nelayan.
Kami sudah membuat konsep dan usulkan agar nelayan dan masyarakat Kepri di bagian pesisir yang akan berdampak langsung, dibuatkan koperasi.
Termasuk berikan mereka bantuan kelompok kapal peralatan modern. Dan negara yang dimungkinkan tujuan ekspor antara lain Singapore, Hongkong, dan Makau.
Namun semuanya harus lebih dulu dikaji dengan mengedepankan kepentingan dalam negeri. ”Jika ada lebih silahkan dimanfaatkan harta karun itu,” ujarnya.
(Maurit Simanungkalit)