Oleh : Bachtiar Sitanggang
WAKIL PRESIDEN pertama Dr. Mohammad Hatta, dalam pidato pada Conference of International Association of Historian of Asian di Yogyakarta 1974 dengan judul “Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional” yang diterbitkan Yayasan Idayu dalam bentuk ringkasan menyinggung “Insiden Tjimareme”.
Dalam buku tipis itu disebutkan “saya sangat terkesan oleh dua hal yang disebut oleh Haji Agus Salim sebagai “kenyataan kolonial”.
Pertama, ialah suatu insiden yang disebut “Sjarikat Islam seksi B”, atau dalam kenyataan disebut sebagai “insiden Tjimareme”. Ada instruksi dari pemerintah kolonial bahwa penduduk desa harus menjual sejumlah padi mereka kepada pemerintah.
Di Tjimareme desa dekat Garut , seorang yang bernama Haji Hasan menolak menjual padinya karena ada kekurangan beras di daerahnya. Pemerintah mengirim beberapa serdadu dan rumah Haji Hasan ini dikepung.
Ketika ia menolak mengikuti perintah keluar dari rumahnya, para serdadu itu melepaskan tembakan dan Haji Hasan tertembak fatal. Kejadian itu sewaktu Moh. Hatta berada di Indonesia antara 1919 sampai pertengahan 1921 sebelum beliau kembali ke Negeri Belanda.
Penuturan Mantan Wakil Presiden pertama ini terkesan berkaitan dengan Kericuhan Pemasangan Patok di Pulau Rempang, Kepulauan Riau beberapa 7 September lalu, yang sampai sekarang kelihatannya belum jelas bagaimana penanganannya.
Pemerintah Kolonial hanya memerintahkan agar rakyat menjual padinya ke pemerintah, bagaimana menjual kalau pemilik juga kekurangan.
Pemerintah menugaskan serdadu bukan untuk membunuh, tetapi karena situasi mengakibatkan Haji Hasan tertembak fatal.
Mungkin itu juga yang terjadi di Pulau Rempang, niat baik Pemerintah mau membangun namun bagaimana nasib rakyat yang sudah turun temurun di sana kurang diperhatikan, mungkin Pemerintah terima laporan asal bapak senang dan mungkin ditambah ulah para pejabat pelaksana dan petugas di lapangan mencari gampangnya saja, sehingga timbul kesalah-fahaman.
Tidak ada niat untuk menyamakan Pemerintah Republik dengan Kolonial Belanda, juga serdadu penjajah dengan TNI-Polri yang berhadapan dengan para pengunjuk rasa.
Tetapi kita perlu mengingatkan kita bersama sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa TNI-Polri itu adalah Alat Negara, seyogyanya tidak dibenturkan dengan masyarakat.
Kita juga berharap pimpinan TNI-Polri hendaknya tidak mudah menugaskan pasukan untuk tugas-tugas yang bukan tanggung jawab Alat Negara.
Apa yang diingatkan Presiden RI ke-5 Megawati Ketika HUT ke-58 Lemhannas, “……. mana ada jenderal yang mati di depan perang……….” Dengan kata lain, hendaknya diteliti dulu penugasan itu, apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, dan TNI-Polri di situ sebagai alat untuk kelancaran tugas investor atau sebagai penjaga keamanan?
Dari berbagai komentar pejabat ternyata masih ada yang belum selesai dengan administrasi di Pulau Rempang, termasuk cara penanganan di lapangan, bahkan menurut Ombudsman ada maladministrasi.
Adalah kenyataan bahwa Hak Ulayat sudah ratusan tahun berlangsung sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan baru pemerintahan Jokowi pensertifikatan tanah digencarkan, oleh karenanya tidaklah tepat alasan menggusur penduduk asli karena tidak memiliki sertifikat.
Penggusuran atau relokasi sebenarnya sama saja memindahkan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, yang penting bagaimana memanusiakan manusia.
Mungkin setiap pengambil kebijakan dan para pengusaha itu perlu merenung bagaimana kalau ayah-bundanya atau kakek-neneknya tercabut dari tanah kelahiran- kampung halaman di mana di tempat itu ada makam leluhur dan keluarga serta situs-situs bersejarah.
Mungkin perlu belajar bagaimana penanganan penduduk bedol deso dari Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri ke Muko-muko Bengkulu, dengan cara “jer basuki mawa beo”, begitu juga dengan Pembangunan Waduk “Kedung Ombo” di Boyolali. Tidak sembarang gusur, tetapi diberikan pengertian dengan tujuan nasional untuk kesejahteraan Bersama, tidak hanya untuk tujuan investasi semata sementara rakyat sebagai pemilik sah dan resmi dari sejak Kerajaan Mataram dan Sriwijaya terabaikan dan hanya sekedar bisa hidup sementara.
Kedua pemindahan penduduk di atas adalah di era Orde Baru di mana keuangan negara sangat terbatas, sekarang di satu pihak seolah Pemerintah berlebihan dana, sementara buat Masyarakat di Pulau Rempang dan Sigapiton Toba Samosir sebagai penduduk yang menyatu dengan tanahnya diperlakukan bagaikan maaf “bukan manusia”, sampai-sampai Ibu-ibu di Sigapiton (tepian Danau Toba) “marsaemara” (mempertontonkan tubuh tanpa kain penutup untuk menghambat laju alat berat memasuki perkampungan mereka.
Mungkin Menteri Investasi perlu menerapkan apa yang disuarakan Sabam Sirait sejak tahun 1973. Bahwa bagi mereka yang tergusur supaya diberikan Ganti Untung dan tidak ganti rugi.
Sekaligus meniru apa yang dilakukan dalam Pembangunan Jalan Tol, yang hampir tidak bergejolak dengan pemberian penghormatan kepada mereka yang harus angkat kaki dan tikar dari kampung halamannya untuk kepentingan nasional.
Pemerintah telah berhasil mendidik masyarakat jadi sebaiknya tidak perlu para pengambil kebijakan dan keputusan apalagi pelaksana menggunakan kata-kata manis apalagi bersayap, langsung saja selami hati dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Warga desa Muaro Sebapo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, rumah, perkampungan kebun dan semua harta miliknya direlakan terkena jalan tol, karena mereka diperlakukan baik dan benar serta tidak dirugikan, bahkan semakin sejahtera.
Bagaimana penduduk yang terdampak jalan tol Solo-Yogyakarta tanpa ribut-ribut rakyat dengan tenang menyerahkan hak-haknya dan Pembangunan jalan tol berlangsung cepat dan tidak diketahui publik, langsung bisa dilalui.
Demikian juga jalan tol yang mengharuskan beberapa kampung terlewati di Kabupaten Tuban tidak ada unjuk rasa apalagi korban, semua berjalan lancar dan diterima masyarakat. Sebagian menurut berita begitu senang dan menggunakan dana yang diperoleh untuk beli rumah, sawah, kendaraan dan umroh.
Begitu gencarnya penolakan Proyek Wadas di Jawa Tengah, ternyata dengan mudah diterima masyarakat, apakah tidak bisa seperti itu di Pulau Rempang?
Kalaulah investasi yang mau ditanamkan di Pulau Rempang Rp. 175 triliun, berapa persen lah untuk membiayai kenyamanan dan kesejahteraan rakyat Pulau Rempang dari jumlah itu?
Perlu di pikir ulang apakah fasilitas yang disediakan pemerintah sudah memadai termasuk nilai moral spiritual warga yang harus di pindah dengan:
1. Tanah seluas 500 Ha
2. Rumah tipe 45
3. Uang tunggu transisi sampai rumah jadi per orang Rp. 1,2 juta dan biaya rumah Rp. 1,2 juta termasuk tanaman tumbuh, dan keramba?
Memang “jer basuki mawa beo”, rakyat harus berkorban untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa dan negara, tetapi dengan fasilitas di atas apakah mereka sudah ikut sejahtera?
Menurut hemat kita belum terlambat, daripada ribut apalagi sampai Eco City dan investor Xinyi Glass dengan nilai Rp. 175 triliun batal, masih ada waktu bagi pemerintah untuk memerintahkan investor untuk memasukkan biaya “pembahagiaan dan pensejahteraan” 700 KK tersebut dalam perhitungannya.
Bila perlu Pemerintah berbaik hati sajalah membahagiakan rakyatnya yang terdampak proyek strategis nasional itu agar tidak dianggap sebagai diatur oleh pemodal. Dan TNI-Polri juga tidak dianggap sebagai alat pemukul investor tetapi berada di Tengah masyarakat untuk menjaga keamanan rakyat dan sekali-sekali tidak melukai apalagi dilukai sesama anak bangsa.***
Bachtiar Sitanggang, penulis adalah wartawan senior dan advokat domisili di Jakarta.