Habib Rizieq Shihab

Tolak Karantina Covid-19 MRS Bisa Dipenjara 1 Tahun

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Praktisi hukum di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie SH, menegaskan, pentolan Front Pembela Islam (FPI), Mohammad Rizieq Shihab (MRS) bisa dipenjara 1 (satu) tahun karena menolak karantina mandiri selama 14 (empat belas) hari sekembali dari pelariannya dari Arab Saudi selama tiga setengah tahun, Selasa, 10 Nopember 2020.

“Ancaman penjara satu tahun bagi MRS, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang: Kekarantinaan Kesehatan,” ujar Tobias Ranggie, Minggu, 29 Nopember 2020.

Tobias Ranggie menanggapi informasi MRS keluar tanpa kabar berita dari Ruma Sakit Ummi Bogor, pukul 20.50 WIB, Sabtu, 28 Nopember 2020.

MRS menolak melakukan karantina mandiri, dan terus melakukan aktifitas yang menyebabkan kerumuman massa ribuan orang, 10 – 15 Nopember 2020, sambil menebar ujaran kebencian kepada banyak pihak, serta mengancam memenggal leher Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (TNI).

Terakhir, MRS menolak test swab, dan memilih dirawat di RS Ummi Bogor sejak Kamis, 26 Nopember 2020, dan karena terus-terusan didesak Wali Kota Bogor, Bima Arya, supaya harus mengikuti test swab, MRS memilih meninggalkan rumah sakit, sejak pukul 20.50 WIB, Sabtu malam, 28 Nopember 2020.

Menurut Tobias, karantina dan pembatasan sosial diatur dalam Undng-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pertama, mengenai karantina. Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, alat angkut, atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya.

Berdasarkan pengertian di atas, karantina, menurut hemat kami, dapat dilakukan dalam rangka mencegah penyebaran virus corona. Menurut Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang: Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, tindakan karantina dilakukan di sarana pelayanan kesehatan atau di tempat lain yang ditentukan.

Karantina dilakukan baik terhadap penderita penyakit wabah maupun orang sehat.

“Tindakan terhadap penderita dilakukan tidak hanya ditujukan semata-mata untuk menyembuhkan, tetapi sekaligus untuk mencegah agar penderita tersebut tidak menjadi sumber penularan penyakit dan meluas pada warga masyarakat. Sedangkan tindakan terhadap orang sehat dilakukan agar orang tersebut tidak menjadi sakit dan pembawa penyakit,” ujar Tobias Ranggie.

Kedua mengenai pembatasan sosial. Pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Dikatakan Tobias Ranggie, tindakan pencegahan dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah. Namun, patut diperhatikan bahwa pembatasan sosial berskala besar ini hanya ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Terkait wabah corona, Surat Edaran Menteri Kesehatan, Nomor H.02.01/Menkes/202/2020 Tahun 2020, tentang: Protokol Isolasi Diri Sendiri, dalam penanganan Corona Virus Disease-19 (Covid-19) telah mengimbau mereka yang sakit untuk tidak pergi bekerja, ke sekolah, atau ke ruang publik untuk menghindari penularan ke orang lain.

Menurut Tobias, surat edaran tersebut adalah salah satu contoh upaya Pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar. Hukuman bagi yang tidak menaati upaya penanggulangan penyebaran Covid-19. Baik upaya karantina maupun pembatasan sosial berskala besar, adalah bagian dari penanggulangan penyebaran virus corona.

Sebagai masyarakat sipil pun, setiap orang berperan serta dalam pelaksanaan upaya penanggulangan wabah. Peran serta tersebut dilakukan dengan: memberikan informasi adanya penderita atau tersangka penderita penyakit wabah; membantu kelancaran pelaksanaan upaya penanggulangan wabah; menggerakkan motivasi masyarakat dalam upaya penanggulangan wabah; kegiatan lainnya.

Jika ada pihak-pihak yang tidak mengindahkan imbauan untuk karantina maupun pembatasan sosial, maka pihak tersebut dapat dianggap tidak berperan serta dalam penanggulangan wabah Covid-19.

Dijelaskan Tobias, pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, telah mengancam bahwa: (1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Ayat (2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Ayat (3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Tobias mengatakan, patut diperhatikan bahwa perbuatan yang dapat dijerat dengan sanksi pidana dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, yang selengkapnya berbunyi: upaya Upaya penanggulangan wabah meliputi: penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; upaya penanggulangan lainnya.

Menurut Tohias, jika ada pihak-pihak yang menolak dikarantina atau mematuhi imbauan pembatasan sosial, maka dapat diduga menghalangi upaya penanggulangan penyebaran Covid-19.

Sedangkan contoh kealpaan yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, adalah Untuk penyemprotan pada penyakit demam berdarah dengan racun serangga, masyarakat diminta pada hari/jam yang telah ditetapkan membuka pintu/jendela rumahnya sehingga racun serangga yang disemprotkan dari jalan dapat memasuki rumah-rumah dan membunuh nyamuk.

“Seorang kepala keluarga karena sesuatu keperluan meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci sehingga racun serangga tidak memasuki rumahnya, dengan akibat menghalangi penanggulangan wabah,” ungkap Tobias.

Maka, jika berdasarkan kealpaan suatu pihak menghalangi upaya penanggulangan wabah penyakit menular, seperti Covid-19, dapat pula dijerat sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984.

Selain itu, ujar Tobias, pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 menyatakan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” (Aju)