Denpasar (Independensi.com) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dino Kriesmiardi menyampaikan tanggapan atas eksepsi terdakwa mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof I Nyoman Gde Antara dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Unud di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (9/11/2023).
Jaksa Dino dalam sidang yang diketuai Hakim Agus Akhyudi membantah dengan merujuk konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
“Tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa dan harus dilakukan dengan cara yang khusus,” tandas Jaksa Dino Kriesmiardi.
Jaksa juga menyinggung pernyataan tentang tidak adanya kerugian negara, menurut Dino tidak tepat dijadikan alasan dalam eksepsi tim penasihat hukum.
“Pendapat kami hal tersebut telah masuk dalam ranah pembuktian materi pokok perkara,” jelasnya.
Kepada hakim, tim penuntut umum meminta untuk menolak dan menyatakan tidak dapat diterima keberatan terdakwa dan tim penasihat hukum dan menyatakan surat dakwaan JPU No. Reg. Perkara: PDS-04/N.1.18/FT.1/10/2023 tanggal 12 Oktober 2023 adalah sah.
“Telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap serta memenuhi syarat formil dan materiil dan melanjutkan pemeriksaan perkara terdakwa Prof Antara,” pungkas JPU Dino.
Menanggapi yang dilontarkan JPU, kuasa hukum Prof Antara, Gede Pasek Suardika (GPS) merasa ada keraguan yang disampaikan karena dalam penjelasan JPU itu justru kian berputar-putar semakin tak menentu arahnya.
Sederhananya kata Pasek, kalau memang ini dibilang kasus korupsi, pertama kerugian negara harus ada, kedua memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Di dakwaan menurutnya, tidak ada dijelaskan, kalau memperkaya diri sendiri, berapa terdakwa itu memperkaya diri sendiri, bagaimana perbuatannya, itu harus muncul. Lalu modusnya seperti apa sehingga dia memperkaya diri sendiri.
“Termasuk juga upaya memperkaya orang lain, juga harus dimunculkan di dakwaan itu. Siapa orang lain itu yang diperkaya, atau korporasi?. Kalau korporasi itu siapa?. Kalau dalam hal ini Unud, sudah jelas Unud kan lembaga milik pemerintah,” cetus Pasek ditemani rekannya Agus Saputra saat ditemui media usai sidang.
Dalam hal ini, ia merasa kebingungan, yang mana unsur kerugian negara itu dibawa ke pribadi terdakwa, ke orang lain maupun ke korporasi. Namun ketiga unsur itu tidak dimunculkan dalam dakwaan.
“Karena itulah kami mengatakan ini kurang lengkap, kurang cermat. Maksudnya kami itu sedang membantu JPU juga. Nanti di pokok perkara biar gampang. Misalnya terdakwa mengambil uang negara sekian miliar. Jadi berapa nilainya itu harus diuji, bagaimana modusnya bagaimana cara mengambil dan sebagainya, kemudian yang kedua memperkaya orang lain, orang lain ini siapa? Si A, si B, si C yang diperkaya. Kan tidak muncul di dakwaan,” bebernya.
Baik Pasek maupun Agus Saputra menjelaskan, apabila hakim itu ada keberanian, paling tidak tanggapan JPU itu tidak diterima. Karena memang kurangnya disitu. “Kalau korupsi itu kan intinya itu, banyak kebijakan negara atau banyak keputusan negara yang merugikan keuangan negara. Tapi tidak memperkaya orang lain atau tidak memperkaya pejabat itu sendiri. Tapi ini kan belum jelas,” tegasnya.
Agus Saputra menambahkan, kalau Unud diaudit, sebelum berlakunya SPI tahun 2018 hingga sekarang, justru aset Unud meningkat pesat. Namun, ini justru kata dia dikatakan merugikan. Ia menilai, kalau kasus ini berlanjut, tentu akan kesulitan menguji, pihak mana yang harus diuji untuk yang menikmati korupsi ini.
Ia juga mengkritik, kenapa rektor-rektor sebelumnya saat ketika dia menjadi ketua panitia, tidak juga ikut menjadi terdakwa, padahal terdakwa saat itu adalah sebagai ketua panitia penerimaan mahasiswa baru. Kemudian saat dia menjadi rektor, kenapa ketua penerimaan mahasiswa baru saat ini, tidak menjadi terdakwa.
“Pertanyaannya, baik jabatan ketua panitia penerimaan mahasiswa baru, jabatan wakil rektor, jabatan rektor, kok hanya satu orang saja disasar. Karena itulah terdakwa membuat eksepsi sendiri, seakan akan memang dirinya sendiri yang disasar. Kalau memang jabatan ketua penerimaan mahasiswa baru, artinya semua ketua penerimaan yang kena. Begitu juga Rektor, berarti semua Rektor juga kena. Tapi kalau nyasar orang, mau jabatan apa ,yang penting orang itu. Ini memang agak sedikit anomali kasusnya,” tegasnya, sembari mengatakan kalau pihaknya optimis, paling tidak dakwaan tidak diterima karena tidak cermat.
Pada sidang kali ini, sahabat dari Terdakwa Prof. Antara, turut hadir memberi dukungan moril. Diantaranya, Prof Sulis, dan kawan-kawan dari Fakultas Teknik dan lainnya.
Ditemui sebelum sidang, Prof Sulis mengatakan, kehadiran sahabat dari Prof Antara ini, hanya untuk memberikan support dan semangat sebagai seorang teman. Mereka berharap yang terbaik, agar kasus ini bisa ada kejelasan dan segera selesai.
“Sebelumnya, sudah sempat bertemu dengan Prof Antara. Hanya ‘say hello’ saja. Cuman nanya kabar. Saya melihat kondisinya beliau masih ok,” pungkas Prof Sulis. (hd)