JAKARTA (Independensi.com) – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mensahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-10, Selasa (5/12/2023). Hal ini diharapkan membawa dampak positif terutama terkait dengan keamanan masyarakat dalam bertransaksi elektronik.
Revisi UU ITE yang berfokus pada perlindungan masyarakat ini diharapkan menjadi landasan hukum yang komprehensif untuk membangun ekosistem transaksi elektronik yang adil, aman, dan berintegritas. Keberlanjutan dari upaya pembenahan regulasi ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia sambil memastikan kepercayaan dan keamanan masyarakat tetap terjaga.
“Perubahan kedua atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, memiliki arti penting, sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum, baik nasional maupun global. Indonesia membutuhkan sebuah landasan hukum yang komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital dan perkembangan digitalisasi serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” ungkap Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono melalui keterangan tertulisnya, Rabu (13/12/2023).
Dave menambahkan, dalam revisi ini diketengahkan penguatan perlindungan konsumen di era transaksi elektronik yang semakin marak dan berkembang cepat, sehingga keamanan konsumen harus menjadi prioritas utama.
“Pengembangan sektor informatika, komunikasi dan sektor digital perlu terus dilakukan mengingat potensi kontribusi yang cepat dan masif dari sektor ini sangat berpengaruh bagi kemajuan perekonomian Indonesia,” imbuh Dave.
UU ITE yang direvisi ini memberikan landasan hukum yang lebih jelas terkait dengan tanggung jawab platform dan pelaku usaha terhadap keamanan data konsumen. Hal ini menjadi topik bahasan pada acara Diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR RI, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Ketua Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI), Marshall Pribadi menyambut baik revisi UU tersebut. “Saya mewakili Asosiasi Digital Trust Indonesia yang beranggotakan sembilan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang berinduk dan berizin ke kementrian Kominfo, menyambut sangat baik revisi undang-undang ITE ini,” ujar Marshall.
Lebih jauh Marshall menyampaikan, semua dokumen pada dasarnya bisa dalam bentuk elektronik dan dapat menjadi alat bukti yang sah. Namun demikian, ditambahkan keterangan pada pasal 17 UU ITE, bahwa transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi bagi para pihak, wajib menggunakan tanda tangan digital yang diamankan dengan sertifikat elektronik.
“Tanda tangan digital yang diamankan dengan sertifikat elektronik melalui teknologi hashing dan enkripsi menggunakan infrastruktur kunci publik, juga telah diatur dengan rinci dari UU ITE, Peraturan Pemerintah Nomor tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik hingga Permenkominfo tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (PSrE),” ujar Marshall.
Kepastian Hukum
Marshall melanjutkan, terdapat standar pengamanan dan audit tahunan oleh Kominfo yang sangat ketat sehingga dokumen yang ditandatangani menggunakan tanda tangan digital tersertifikasi, dienkripsi dengan privasi masing-masing penandatangan. Hal ini menjamin kalau ada perubahan pada dokumen akan dapat diketahui secara matematis. Selain itu, dokumen yang menggunakan tanda tangan digital tersertifikasi memiliki jaminan kepastian dan keabsahan hukum yang sah.
Sementara itu, Ketua Tim Peliputan Biro Humas Kominfo, M. Taufik Hidayat mengatakan, selama lima tahun terakhir aktivitas menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dipelbagai sektor. Untuk itulah pemerintah hadir melalui UU ITE. “Hampir semua aktivitas digital kurun 3-5 tahun terakhir berkembang di sektor ekonomi, perbankan, jasa dan sebagainya. Jadi ke depan, salah satu yang akan ditindaklanjuti oleh pemerintah adalah dengan pengaturan turunan UU ITE,” ujar Taufik.