JAKARTA (Independensi.com) – Meskipun memiliki hak prerogatif, namun siapapun Presiden yang nanti terpilih di Pemilihan Presiden tahun 2024 dan selanjutnya harus taat atau mematuhi putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak membolehkan atau melarang Jaksa Agung dari pengurus partai politik (parpol)
“Karena jika tidak ditaati atau tidak dipatuhi Presiden, maka Keputusan Presiden yang mengangkat Jaksa Agung dari pengurus parpol bisa dibatalkan pengadilan karena dinilai melawan hukum,” kata pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar kepada Independensi.com saat dimintai tanggapannya, Senin (11/03/2024)
Fickar pun menilai putusan MK sudah tepat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 27 ayat (1) yang isinya bahwa “Segala Warganegara Bersamaan Kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
“Karena hak asasi manusia atau HAM juga ada batasnya yaitu kepentingan umum, dan putusan MK itu dasarnya agar tindakan Presiden tidak melawan atau tidak bertentangan dengan kepentingan umum,” tuturnya.
Namun dia mengakui konsekuensi dari seorang Jaksa Agung bisa saja digunakan oleh presiden maupun koalisinya untuk menggebuk lawan-lawan politiknya dan sebaliknya melindungi Presiden dan koalisinya jika diduga melakukan kejahatan.
“Jika tidak menuruti perintah, maka siap-siap saja dia dicopot sebagai Jaksa Agung, dan itu resikonya. Karena meskipun Jaksa Agung itu penegak hukum. Tapi dia bagian dari eksekutif juga,” ucapnya.
Oleh karena itu, ungkap Fickar, dibentuknya lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebagai alternatifnya. “Walaupun secara cabang kekuasaan termasuk eksekutif. Tapi bukannya bagian eksekutif pemerintahan. Dia (KPK) itu lembaga independen,” ujar Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.
Seperti diketahui majelis hakim MK diketuai Suhartoyo pada Kamis (29/02/2024) dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024 memutuskan tidak membolehkan Jaksa Agung dari pengurus parpol. Putusan itu terkait uji materi pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan terkait syarat menjadi Jaksa Agung yang diajukan jaksa Jovi Andrea Bachtiar.
Putusan tersebut sebenarnya tidak berbeda jauh dengan putusan MK Nomor 30/PUU-XXI/2023 pada Selasa (15/8/2023) terkait uji materi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI yang juga diajukan jaksa Jovi Andrea Bachtiar.
Hanya saja Majelis hakim MK waktu itu masih diketuai Anwar Usman memutuskan Jaksa Agung tidak harus berasal dari internal kejaksaan, misalnya jaksa karier ataupun mantan jaksa. Menjadi hak prerogatif presiden untuk memilih siapa pun untuk menjadi Jaksa Agung, dengan catatan bukan anggota ataupun pengurus partai politik.(muj)