Oleh: Bachrul Hakim
(Bagian 2 dari 3 tulisan)
Di bagian pertama dari tulisan ini, telah kita bahas tentang bagaimana kebanggaan masyarakat terhadap PT Garuda Indonesia yang terus memudar. Rasa bangga itu kini berubah menjadi rasa penasaran dan keprihatinan.
Mereka penasaran dan tidak habis mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada Garuda? Mengapa hal ini tidak bisa cepat diatasi?
Mengapa hal ini malah berlanjut, berlarut-larut sampai sekarang? Dan mengapa hingga kini tak ada tanda-tanda bahwa masalah ini akan segera terselesaikan?
Beberapa orang teman yang saya kenal sebagai pencinta Garuda, pernah menyatakan keprihatinannya kepada saya, jangan sampai nama PT Garuda Indonesia ini pada suatu hari nanti akan menjadi Nostalgia, atau kenang-kenangan yang tidak akan kembali lagi! Jangan sampai aset-aset Garuda yang tersisa nantinya akan menjadi Memorabilia, atau fosil-fosil yang menandakan bahwa didalam sejarah, Garuda itu memang pernah ada.
Dari kilas-balik sejarah perjalanan Garuda selama ini, tercatat bahwa Garuda sudah 4 x terancam kebangkrutan, akibat rugi-usaha yang berkepanjangan dan akumulasi hutang yang tak terlunasi. Anehnya kejadian-kejadian tersebut berdaur-ulang kurang-lebih setiap 16 tahun sekali yaitu, pada tahun-tahun 1966, 1982, 1998 dan yang terakhir pada 2014.
Tahun 1966 Kasus Pertama
Sejak awal tahun 1960-an, di bawah Pimpinan Kapten Partono, yang kemudian dilanjutkan oleh Kapten Soedarmo, Garuda sudah menanggung beban rugi akibat biaya operasi yang terus-menerus membengkak.
Puncaknya pada 1966 posisi Garuda benar-benar terancam kebangkrutan. Solusi yang diambil pada waktu itu adalah menghapus pesawat-pesawat tua, dari berbagai merek dan berbagai spesifikasi, yaitu tipe Dakota DC3 dan Convair, seri 240,340 dan 440 dari jajaran armada pesawat Garuda dan menggantinya dengan pesawat pesawat jenis baru Fokker F-27, F-28 dan DC9. Sejak itu, berkat pola operasi yang lebih efisien, Garuda sukses meraup laba.
Kekeliruan Strategi
Kerugian terbesar ke dua, walau tidak sampai terancam pailit, terjadi pada 1982. Pada waktu itu pesawat-pesawat baru, jarak pendek, berbadan lebar dengan kapasitas 300 tempat duduk, jenis Airbus AB4 yang baru saja dibeli, dioperasikan untuk menggantikan pesawat jarak-pendek DC9, berbadan-sempit dengan tempat duduk untuk 102 orang, namun hasilnya jelek.
Pesawat pesawat besar ini gagal menarik lebih banyak penumpang, alias sepi. Solusi yang diambil waktu itu adalah menerbangkan kembali pesawat DC9 dan mengurangi pengoperasian AB4 hingga di level minimum.
Dalam konteks ini, terbukti bahwa Garuda tak mengenal ceruk pasarnya sendiri. Niat baik untuk efisiensi biaya operasi, tidak dilengkapi dengan studi pasar yang memadai.
Sektor Jakarta-Singapura PP dan Jakarta-Surabaya PP pada masa itu mengalami jaman keemasan. Frekuensi penerbangan 7 sampai 8 kali sehari dan pesawat terisi rata-rata 80%. Rencana penggantian DC9 dengan Airbus AB4 ini bertujuan agar Garuda cukup terbang 4x/hari saja, tapi dapat mengangkut lebih banyak penumpang.
Siapa nyana, rencana yang terdengar logis ini, tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Pesawat AB4 dengan 300 tempat duduk tersebut hanya terisi tidak sampai 100 pax/flight. Sepertinya Garuda tidak menyadari bahwa pangsa pasarnya itu terdiri dari para pebisnis yang terbang hanya pada jadwal yang mereka butuhkan, bukan pada jadwal yang ditawarkan.
“1998 Bukan Rencana Garuda”
Pada tahun 1994, Garuda memohon ijin untuk beli 6 pesawat Airbus A340-300, jarak-jauh dengan mesin Pratt and Whitney, yang mampu terbang Jakarta – Amsterdam non stop. Permohonan tidak di respons, tapi dikondisikan untuk beli Airbus A330-300, jarak menengah, dan harus memakai mesin Rolls Royce Trent-700, dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.
Rencana penerbangan langsung Jakarta-Amsterdam yang antar-Benua ini jadi gagal, karena disuruh beli pesawat yang Antar-Negara. Pada 1997 tunggakan hutang Garuda kepada Airbus sudah mencapai USD 1.6 milyar atau setara IDR 232 T. Solusi yang diambil waktu itu adalah mengembalikan pesawat lama MD-11, sedangkan hutang pembelian Airbus A330-300 direstrukturisasi melalui ECA (European Credit Agencies).
“2014 Gagalnya Quantum Leap”
Kalau pada 1998 Garuda telah dikondisikan untuk menjalankan rencana stratejik yang bukan hasil buatannya sendiri, maka pada 2009 Garuda merencanakan sendiri proyek pengadaan sejumlah besar pesawat, yang multi merek, multi tipe, multi spesifikasi yang berbeda satu sama lain.
Mirip dengan kasus pengadaan pesawat pada 1998, harga-harganya juga jauh diatas harga pasar. Kalau pada kasus tahun 1998, hanya ada 1 kasus pesawat “mèhong” (mahal), yaitu jenis Airbus A330-300, maka pada 2014 ada banyak merek, banyak tipe, banyak spesifikasi pesawat-pesawat “mèhong” yang dibeli yaitu, antara lain Boeing B737-800, B777-300ER, Airbus A330-300, A330-200, A320-200, Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72, plus tambahan pesanan 120 buah engine Rolls Royce Trent-700.
Puncak dari drama ini adalah pada waktu penerbangan Garuda, baik internasional maupun regional mendadak kosong, di saat pesawat pesawat baru yang dipesan belum sampai separuhnya datang.
Kasus Quantum Leap ini, sampai sekarang masih belum teratasi. Sudah lebih dari satu dekade waktu berlalu, tapi belum terlihat adanya koreksi yang berarti, kecuali restrukturisasi hutang hutangnya yang masih berjalan.
Dari analisis di atas kita bisa menarik kesimpulan apa kiranya yang salah dengan Garuda? Untuk itu kita akan lanjutkan pembahasannya pada bagian akhir dari tulisan ini.
Jakarta, 25 November 2024
Bachrul Hakim
Penulis adalah pengamat kebijakan publik, tinggal di Jakarta.