Ubud (Independensi.com) – Betapa penting menjaga harmoni dengan alam, menghormati tradisi, menghadapi tantangan masa depan. Manusia selalu numpang lewat dalam suatu ruang dan waktu yang menjadi wadah bertumbuh dan berkembang, baik sebagai individu, keluarga, kelompok, bangsa, maupun warga dunia.
Hal tersebut diungkapkan Seniman Made Djirna terkait karyanya ‘NUMPANG LEWAT’ di Museum ARMA Ubud, Gianyar Bali, Kamis (10/7/2025).
Di tengah hamparan alam yang asri di Kedewatan, Ubud, seniman Made Djirna mempersembahkan sebuah karya instalasi yang bukan hanya menarik, tetapi juga menggelitik kesadaran, bertajuk ‘Transient-Continuous (Numpang Lewat–Berkelanjutan).’
Djirna ‘membangun’ perahu dan naga dari bahan-bahan alami seperti kayu, batu, tanah liat, dan serat yang menyimpan jejak alam, sejarah, dan ingatan—sekaligus menjadi penanda hubungan manusia dengan lingkungan tempat ia tumbuh.
Karya ini tidak hanya berdiri sebagai objek seni, melainkan menjadi ruang pengalaman batin melintasi ruang dan waktu kehidupan. Perahu yang membawa sejumlah gelondongan kayu menjadi simbol perjalanan, transisi, dan kelahiran kembali—juga menggambarkan manusia yang mengusung beban masa lalu.
Pada bagian lain, terdapat bangunan bertingkat dengan kain Dewata Nawa Sanga warna-warni yang mengilustrasikan masa kini yang terus bertransformasi secara dinamis, sebagaimana Bali yang memimpikan keberlanjutan dengan berpijak pada tradisi yang kuat.
Sementara itu, naga—makhluk mitologis yang dipercaya sebagai pelindung alam semesta—mewakili kekuatan spiritual untuk menyongsong masa depan gemilang yang selalu diimpikan setiap generasi.
Djirna juga menghadirkan instalasi di dalam ruang pamer Gudang Kayu. Karya-karya di luar dan dalam ruang tersebut merupakan refleksi dari buana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos), yang mencerminkan realitas kosmik Bali bahwa manusia adalah bagian kecil dari semesta, tetapi memiliki kekuatan untuk memengaruhi sekaligus diubah oleh lingkungan sekitarnya.
Dalam pandangan ini, setiap elemen karya menjadi cerminan keterbatasan manusia sekaligus keterhubungannya dengan siklus besar kehidupan. Seperti halnya perahu yang terus berlayar dan naga yang menjaga arah, hidup manusia pun senantiasa bergerak dalam ruang dan waktu yang terus berubah.
“Betapa penting menjaga harmoni dengan alam, menghormati tradisi, menghadapi tantangan masa depan,” ujar Djirna tentang karyanya, yang juga merupakan pengembangan dari karya ‘Numpang Lewat’ di Museum ARMA Ubud.
Ia mengajak kita untuk memahami bahwa warisan budaya memiliki kekuatan yang dapat membentuk identitas serta nilai-nilai yang memberikan keberlanjutan dan terkoneksi dengan masa lalu.
Karya Djirna ini merupakan bagian dari pameran perdana Ubud Art Ground bertema ‘Parallels: Legacies in Flux’, yang diselenggarakan di Batu Kurung Estate, Kedewatan, Ubud, dan akan dibuka secara resmi dengan undangan terbatas pada Jumat, 11 Juli 2025.
Kurator Farah Wardani mengatakan pameran yang menampilkan karya 51 seniman ini mengangkat dinamika warisan tradisi dan lahirnya seniman muda kontemporer pascapandemi Covid-19, yang menggali kembali akar identitas serta praktik budaya di sekitar mereka.
Seniman-seniman muda tampil sebagai generasi reflektif—tidak hanya mencipta bentuk visual baru, tetapi juga menafsir ulang nilai-nilai tradisi melalui pendekatan kontemporer.
Pameran ini menjadi ruang pertemuan lintas generasi, menghadirkan dialog antara karya para perintis yang mewarnai kancah seni rupa, termasuk mereka yang telah tiada, dengan gelombang baru yang tengah mencari pijakan dalam lanskap seni yang terus mengalir.
Farah secara khusus memilih Djirna, salah satu seniman senior dari Sanggar Dewata Indonesia, sebagai figur sentral dalam pameran ini.
Menurutnya, Djirna bukan hanya representasi kesinambungan nilai-nilai tradisi dalam seni rupa, tetapi juga sosok perekat antar-generasi yang melalui pencapaian dan konsistensinya berhasil menjembatani eksplorasi budaya Bali dengan ekspresi kontemporer.
Pameran ini terbuka untuk umum dan dapat dikunjungi mulai Sabtu, 12 Juli hingga 10 Agustus 2025. Secara paralel, pameran ini juga menampilkan karya 20 seniman dari Central Academy of Fine arts (CAFA) Beijing yang fokus pada inovasi seni lukis tradisional Tiongkok dalam konteks kontemporer yang dikuratori Profesor Qiu Ting. (hd)