Bupati Karo Terkelin Brahmana (kiri), Ramly Bangun (tengah) dan H Muhammad Tempel Tarigan

Memetik Hikmah dari Lika Liku Hidup Penulis Novel “Jandi La Surong” Tempel Tarigan

Loading

Oleh : Ramly Bangun

Saya mengenal pak Tarigan ketika saya mulai bekerja dan menetap di Jakarta pada tahun 1984. Ini merupakan rentang waktu yang cukup lama, sekitar 37 tahun. Nama aslinya adalah Tempel Tarigan dan kemudian ditambahkannya Muhammad ketika ia memeluk agama Islam sehingga nama lengkapnya menjadi Muhammad Tempel Tarigan atau sering disingkat M. Tempel Tarigan.

Kebetulan pula, salah seorang sepupu dekat saya menikah dengan adik kandung pak Tarigan, sehingga saya selalu mendapat informasi yang updated tentang beliau. Lagi pula sebagai anak beru saya sering terlibat langsung dalam acara adat di keluarga beliau.

Oleh karena itu penunjukan saya sebagai salah satu yang memberikan komentar dalam acara ini adalah hal yang pantas. Sayangnya saya bukan seorang penulis tapi untuk memenuhi permintaan kalimbubu, saya mencoba menuliskannya.

Ramly Bangun

Pada umumnya ketika usia mulai mencapai 60-an atau mulai pensiun, ingatan manusia lebih tajam pada peristiwa yang terjadi pada masa mudanya dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi sesudah pensiun. Hal inilah yang saya lihat pada sosok pak Tarigan.

Peristiwa atau kisah cinta yang terjadi pada masa mudanya dituliskan begitu jelas dan detail seolah baru terjadi beberapa hari yang lalu. Dua buah novel, Jandi La Surong dan Pingko-pingko adalah buktinya.

Kedua novel itu ditulis berdasarkan true story yang dialami sendiri oleh pak Tarigan. Kombinasi antara true story dan fiksi menjadikan novel itu enak dibaca. Dan di sinilah letak kemampuan menulis pak Tarigan.

Ketika masih bertugas sebagai wartawan, pak Tarigan tentu sudah terbiasa membuat reportase yang sering kali dikejar dead line. Kali ini yang direportase adalah kisah cinta pak Tarigan dengan beru ribu dan beru Jawa yang juga seorang wartawan. Awalnya ditulis dalam facebook yang berkesinambungan sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.

Pengakuan pak Tarigan, dia sering kali asyik menulis kisahnya di facebook hingga larut malam. Kemudian timbul permintaan dari pembacanya untuk menuliskannya dalam sebuah buku ataupun novel.

Lalu kemudian lahirlah novel Jandi La Surong dan tidak lama kemudian lahirlah novel berikutnya yang berjudul Pingkopingko untuk melengkapi sepak terjang pak Tarigan dalam bercinta. Tidak hanya sampai di situ, kisah ini akhirnya berlanjut ke layar lebar.

Kisah baik fiksi maupun nonfiksi yang berlatar budaya Karo yang sudah diangkat ke layar lebar bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Jadi tidak berlebihan kalau saya menilai pak Tarigan seorang yang hebat dan berjasa dalam menulis dua novel sekaligus menceritakan budaya karo secara tidak langsung.

Kedua novel ditulis ketika usia pak Tarigan sudah di atas 70 dan kondisi Kesehatan yang sudah menurun. Meskipun beliau sudah tiga kali mengalami stroke ringan, semangatnya tidak pernah kendor.

Ia masih sering memberikan komentar tegas bahkan terkadang pedas tentang situasi politik di tanah air termasuk pemilu dan pilkada. Mengapa kedua novel itu tidak ditulis ketika ia masih muda?

Bukankah pada usia di awal enampuluhan ia masih kuat dan energik? Saya mencoba mereka-reka jawabannya, tapi pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan baik oleh pak Tarigan sendiri.

Kisah cinta yang bersifat pribadi dengan beru Jawa kadang-kadang terungkap dalam novel Pingko-pingko. Keterbukaannya itu membuat saya bertanya dalam hati tentang perasaan istrinya (turangku) kalau dia membaca novel itu.

Walaupun akhirnya saya menjawab sendiri, pak Tarigan pasti sudah mempertimbangkannya dan tentunya tidak ada masalah dengan hal itu. Bukan hanya dalam menulis novel, dalam kehidupan sehari-hari juga ia sangat terbuka.

Ia juga cepat merespons sesuatu apa lagi jika diminta pendapat atau bantuannya, terlepas dari benar atau tidak jawabannya itu.

Sebagai seorang praktisi adat di Jabodetabek, saya menilai beliau patuh dan menghargai adat, meskipun pengetahuan dan pemahamannya tentang adat biasa-biasa saja.

Ia selalu memenuhi undangan yang disampaikan kepadanya dan tidak pernah menolak memberikan kata sambutan undangan dalam upacara adat. Kalau memang sudah menjadi tugas dan kewajibannya untuk berbicara, ia jarang menolaknya.

Pidatonya biasanya tegas, singkat tapi bernas dan langsung kepada pokoknya. Sikapnya itu membuat saya salut kepadanya. Dalam hal bergaul pak Tarigan sangat luwes. Ia bisa akrab dengan siapa saja terlepas dari apa agama, suku dan profesinya.

Mungkin itulah yang membuatnya tetap terpilih menjadi pengurus inti Kerukunan Keluarga Sumatera Utara (KKSU) selama puluhan tahun.

Atas prakarsa beliau saya pernah duduk dalam kepengurusan organisasi tersebut. Tapi karena kesibukan saya sebagai pengusaha, tugas di dalam gereja dan keterlibatan di dalam adat, saya sering absen dalam pertemuan organisasi itu. Sadar akan kesibukan-kesibukan tersebut, sayapun mengundurkan diri.

Menurut pandangan saya karena pergaulan dan keluwesannya itulah novel pak Tarigan itu bisa ditulis dalam bentuk buku dan diangkat ke layar lebar. Saya tahu betul kalau dari sisi finansil ia adalah keluarga biasa saja. Luar biasa peran pergaulan itu. Yang tidak mungkin bisa jadi mungkin.

Selain aktif pada pengurus KKSU, dia juga menjadi ketua pada Yayasan Bengkel Seni 78, sebagai ketua Himpunan Muslim Karo sejabodetabek selama beberapa periode. Sekarang berubah menjadi Keluarga Muslim Karo (KAMKA) di mana dia sebagai Sekretaris Dewan Pembina, yang wilayahnya se antero nusantara.

Luar biasanya M. Tempel Tarigan juga dipercaya sebagai wakil ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia China (PPICH) membidangi humas. Masih ada beberapa organisasi di mana dia duduk sebagai pengurus yang terlalu panjang untuk saya sebutkan dalam tulisan ini.

Keterlibatan M. Tempel Tarigan dalam berbagai organisasi membuktikan bahwa beliau memang seorang yang peduli, terbuka, rela bekerja keras, dan layak dipercaya.

Kedekatannya dengan pak Tariganu (Usaha Tarigan), sang penyair sekaligus pelukis sedikit banyaknya telah mewarnai kehidupan pak Tarigan.

Setahu saya, kalau pak Tariganu mengadakan acara, sekecil apapun itu, pak Tarigan selalu ada di sampingnya. Sebaliknya dalam acara pemutaran perdana film Jandi La Surong di Berastagi, pak Tariganu ikut terbang dari Jakarta bersama istrinya, walaupun kondisi fisiknya sepertinya kurang mendukung. Tidak berapa lama kemudian pak Tariganu pergi menghadap sang Pencipta.

Timbul pertanyaan dalam benak saya. Adakah yang bersedia menulis riwayat hidup pak Tarigan? Kalau hal ini bisa terwujud, pembaca akan bisa mengerti dan memahami siapa pak Tarigan seutuhnya.

Saya sengaja melempar issue ke forum ini karena saya beranggapan hal ini sesuatu yang pantas. Dari sisi pembiayaan saya bersedia menjadi salah seorang donatur.
Terima kasih dan mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak berkenan.

Jakarta/Megamendung, 18 Pebruari 2021.

Ramly Bangun, penulis adalah seorang pengusaha dan juga pemerhati masalah sosial, adat dan budaya Karo