RUU Boikot (BDS): Manuver Yang Bahayakan Indonesia, Bukan Israel

Loading

Oleh Hiski Darmayana & Esteria Tamba

(Pengamat Sosial & Penulis)

Wacana Rancangan Undang-Undang Boycott, Divestment, and Sanctions (RUU BDS) yang dilontarkan politisi PKS, Mardani Ali Sera, akhir-akhir ini memang terdengar lantang dan tampak heroik di permukaan. Seolah memberi legitimasi bagi aksi boikot terhadap produk-produk yang dianggap berafiliasi dengan Israel.

Namun jika kita mau jujur, wacana itu lebih mirip dengan teriakan di ruang gema media sosial penuh emosi, minim analisis dan mengabaikan fakta-fakta di lapangan yang jauh lebih kompleks dari sekadar hitam dan putih.

Dua tahun terakhir, Indonesia telah menjadi saksi betapa aksi boikot yang dilakukan secara serampangan justru memukul perut rakyatnya sendiri.

Contoh paling gamblang adalah peristiwa boikot terhadap KFC. Restoran cepat saji itu sempat diserang dengan tuduhan mendukung Israel, padahal operasionalnya di Indonesia sepenuhnya dikelola oleh investor lokal. Data dari Bursa Efek Indonesia (IDX) menunjukkan mayoritas saham PT Fast Food Indonesia Tbk.

Pengelola resmi KFC Indonesia dimiliki oleh PT Gelael Pratama sebanyak 40% dan PT Indoritel Makmur Internasional Tbk sebanyak 35,84%. Artinya, porsi kepemilikan terbesar justru berada di tangan perusahaan-perusahaan Indonesia, yang menggaji ribuan pekerja lokal dari kasir, koki, hingga manajer yang juga warga Indonesia.

Dan aksi boikot salah sasaran telah membuat per 30 September 2024, ada sekitar 47 gerai KFC yang harus ditutup akibat penurunan drastis penjualan. Pertanyaannya, apakah itu benar-benar menekan Israel, atau justru menghukum pekerja-pekerja Indonesia yang tak ada sangkut-pautnya dengan konflik di Timur Tengah?

Lebih jauh, fakta yang jarang diungkap adalah gerakan BDS internasional sama sekali tidak memasukkan KFC ke dalam daftar boikotnya. Artinya, aksi boikot yang marak di Indonesia selama ini lahir dari kabar burung dan linimasa, bukan dari panduan resmi gerakan internasional.

Bahkan laporan mendalam PBB yang berjudul “From Economy of Occupation to Economy of Genocide” yang ditulis oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Palestina, Francesca Albanese tidak menyebut satu pun merek yang jadi target boikot di Indonesia seperti KFC, Danone, Pizza Hut, McDonald’s, atau Starbucks. Laporan itu justru menyingkap keterlibatan perusahaan-perusahaan global seperti IBM, Google (Alphabet), Amazon, Microsoft, Palantir di bidang teknologi; Lockheed Martin dan Leonardo S.p.A di sektor pertahanan; serta raksasa energi seperti Chevron, Glencore, Drummond Company, dan BP. Lembaga keuangan global seperti BNP Paribas, Barclays, BlackRock, Vanguard, dan Allianz PIMCO juga disebut karena mendanai obligasi pemerintah Israel.

Lantas, mengapa daftar panjang brand yang diboikot di Indonesia tidak ada satu pun yang diakui laporan PBB sebagai pendukung genosida? Bukankah itu bukti telanjang bahwa banyak aksi boikot di negeri ini salah sasaran?

Lalu bayangkan, bila aksi boikot salah sasaran itu dijustifikasi oleh UU sebagaimana keinginan Politikus PKS tersebut?

Apalagi, ketika saat ini Presiden Prabowo tengah berjuang membangun iklim investasi yang kondusif, wacana RUU BDS justru berpotensi jadi bumerang. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, bukan regulasi yang mudah dipolitisasi. Investor global akan berpikir ulang menanamkan modal di negeri yang aturan mainnya bisa berubah hanya karena tekanan opini sesaat.

RUU BDS bisa menjadi bom waktu yang merusak kepercayaan dan mematikan peluang kerja bagi rakyat sendiri. RUU ini sejatinya tak lebih dari manifestasi manuver Politikus PKS yang membahayakan perekonomian Indonesia.

Mari kita renungkan kembali, apakah aksi boikot yang lahir dari rasa solidaritas akan tetap bermakna jika dilakukan tanpa pemahaman mendalam? Ataukah kita hanya menjadi korban FOMO, sekadar ikut-ikutan linimasa tanpa peduli akibatnya? Jika kita sungguh-sungguh peduli pada kemanusiaan, maka kita wajib bertindak dengan akal sehat, riset matang, dan strategi yang tepat sasaran. Solidaritas sejati tidak merusak rumah sendiri untuk melukai musuh di kejauhan.

Maka sebelum kita terbuai retorika dan semangat sesaat, mari berhenti sejenak. Belajarlah dari luka yang sudah kita torehkan sendiri lewat boikot keliru di masa lalu. Jangan biarkan wacana populis seperti RUU BDS menjadi bumerang yang justru mengoyak ekonomi bangsa dan memadamkan harapan rakyat kecil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *