JAKARTA (Independensi.com) – Sumba, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak hanya tersohor dengan bentangan savana, pantai eksotis, dan tradisi adat yang unik. Pulau ini juga menyimpan mahakarya budaya yang mendunia yaitu kain tenun Sumba. Di balik setiap helai benang, tersimpan cerita tentang leluhur, filosofi hidup, serta ketekunan tanpa batas dari para pengrajinnya.
Membuat selembar kain tenun Sumba bukan perkara instan. Ignacio, pemilik rumah tenun di Sumba Timur menuturkan, prosesnya bisa berlangsung hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. “Kain tenun ikat dengan pewarna alam bisa memakan waktu delapan bulan sampai satu tahun. Kalau pewarna campuran enam bulan, sedangkan pewarna kimia tiga sampai empat bulan,” jelas Ignacio disela acara Pameran Tenun Astra, Jumat (19/9/2025).
Setiap tahap, mulai dari menggambar motif, memintal benang, mewarnai dengan bahan alami, hingga menenun, dilakukan dengan penuh kesabaran. Inilah yang menjadikan kain tenun Sumba bukan sekadar kain, melainkan karya seni bernilai tinggi.
“Biasanya para istri menenun kain yang menggambarkan sifat dan patriotisme suaminya atau leluhurnya. Perempuan disana jarang bicara tentang suaminya maupun leluhurnya. Meeeka lebih banyak diam. Mereka berkomunikasi dari kain tenun,” imbuhnya.
Salah satu keistimewaan kain tenun Sumba adalah pewarnaannya yang menggunakan bahan-bahan alami. Akar mengkudu menghasilkan warna merah, nila untuk biru, kayu kuning untuk kuning, dan lumpur untuk cokelat. Hasilnya? Warna alami yang bisa bertahan puluhan hingga ratusan tahun.
Motif tenun Sumba tidak pernah dibuat sembarangan. Setiap pola menyimpan makna mendalam. Buaya, misalnya, melambangkan insting kuat dan dianggap sakral, biasanya dipadukan dengan penyu atau kura-kura yang merepresentasikan keseimbangan.
Untuk kaum bangsawan perempuan, motif patola dengan corak bunga-bunga menjadi simbol status dan keanggunan. Hingga era 1990-an, masyarakat adat masih memegang aturan ketat yakni motif tidak boleh dipakai sembarangan dan harus sesuai dengan strata sosial.
Kini, muncul motif-motif baru yang lebih menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Meski membuat tenun lebih mudah diterima generasi muda dan wisatawan, sebagian nilai historis dari motif asli mulai tergerus. Kain tenun Sumba bukan sekadar produk budaya, tetapi identitas yang menyatukan masyarakat dengan leluhur mereka. Setiap benang yang disusun adalah simbol perjuangan, doa, dan warisan yang tak ternilai harganya.
Melestarikan kain tenun Sumba berarti menjaga jati diri dan memastikan cerita tentang leluhur tetap hidup. Seperti benang yang saling terjalin, demikian pula budaya ini diharapkan terus menyambung masa lalu, kini, dan masa depan.