Pembantaian PKI

PKI Bangkit Halusinasi Gatot Nurmantyo

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo (8 Juli 2015 – 8 Desember 2017), kembali menjadi bahan tertawaan, olok-olokan dan cemoohan banyak pihak, Rabu, 23 September 2020.

Gatot kelahiran Tegal, Provinsi Jawa Tengah, 13 Maret 1960, mengklaim penetapan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI pada 8 Desember 2017, padahal dirinya baru akan resmi pensiun, 1 April 2018, karena selalu mengingatkan masyarakat akan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebagai salah satu deklarator kelompok barisan sakit hati, dinamakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Menteng, Jakarta, Selasa, 18 Agustus 2020, Gatot Nurmantyo, mengklaim, gelagat kebangkitan PKI sudah mulai tercium sejak tahun 2008.

Menurut Gatot, salah satu indikasi kebangkitan PKI, rencana menghapuskan mata ajar sejarah, terutama di sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta sebagai bukti pemberontakan PKI.

Padahal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, menegaskan bahwa misinya, kebalikan dari isu yang timbul (penghapusan mata pelajaran sejarah).

“Saya ingin menjadikan sejarah menjadi suatu hal yang relevan untuk generasi muda dengan penggunaan media yang menarik dan relevan untuk generasi baru kita, agar bisa menginspirasi mereka,” ucap Menteri Pendidikn dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim di Jakarta, Senin, 21 September 2020.

Identitas generasi baru yang nasionalis, hanya bisa terbentuk dari suatu kenangan bersama yang membanggakan dan menginspirasi.

“Sekali lagi saya imbau masyarakat, jangan biarkan informasi yang tidak benar menjadi liar. Semoga klarifikasi ini bisa menenangkan masyarakat. Sejarah adalah tulang punggung dari identitas nasional kita. Tidak mungkin kami hilangkan,” tegas Nadiem.

Nadiem Anwar Makarim, menambahkan isu itu keluar, karena ada presentasi internal yang keluar ke masyarakat dengan salah satu permutasi penyederhanaan kurikulum dan akan diberlakukan pada tahun 2022.

Kudeta Seharto

Manuver Gatot Nurmantyo menggiring masyarakat untuk percaya kebangkitan PKI menjelang 30 September 2020, tidak akan efektif. Masyarakat tidak bisa dibohongi dan dibodoh-bodohi. Karena isu kebangkitan PKI, tidak lebih dari halusinasi Gatot Nurmantyo.

Sebagai mantan pejabat tinggi negara, Gatot Nurmantyo, sangat tidak layak menjadi panutan bagi generasi penerus bangsa.

Kalau memang ada kebangkitan PKI, kenapa selama menjadi Panglima TNI (8 Juli 2015 – 8 Desember 2017), Gatot Nurmantyo tidak melakukan tindakan apapun terhadap pihak-pihak yang diklaim terlibat PKI?

Sementara masalah ideologi komunis, sudah tinggalkan semua negara di dunia dalam lima dasawarsa terakhir, karena gagal menciptakan kesejahteraan sosial.

Malah China, Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara sosialis, sekarang, menjadi simbol kekuatan ekonomi dan teknologi inovasi dunia di abad ke-21, mengalahkan hegemoni Amerika Serikat dan Negara Barat sepanjang abad ke-20 (TASS Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020).

Halunisasi Nurmantyo, pertimbangannya sederhana saja. Karena bagi kalangan masyarakat terdidik berpendapat, di negara manapun di dunia, kudeta terhadap pemerintahan yang sah, tidak pernah dilakukan sipil, dikaitkan dengan klaim kudeta gagal PKI melalui G30S 1965.

G30S 1965 adalah sebuah persepsi politik yang tanpa sebuah kajian ilmiah, dipaksakan menjadi fakta sejarah dalam berbagai dokumen buku yang diterbitkan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD).

Para penculik 7 jenderal senior TNI-AD dalam G30S 1965, berpakaian militer Angkatan Darat di Indonesia. Yaitu oknum pasukan elit TNI AD, Cakrabirawa. PKI itu lembaga sipil yang tidak punya kemampuan menggerahkan pasukan militer.

Dalam perkembangan G30S 1965, adalah bukti kemenangan Amerika Serikat, penganut ideologi kapitalis, melawan Uni Soviet (Rusia) penganut ideologi sosialis, di dalam menanamkan pengaruh di Indonesia.

G30S 1965, sebagai pintu masuk mengganti kepemimpinan Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), karena dinilai tidak mau didikte kepentingan Amerika Serikat di Indonesia.

Mantan diplomat Amerika Serikat, Peter Dale Scott. Peter Dale Scott, 1998, merupakan orang pertama kali mengungkap G30S 1965, merupakan setingan Amerika Serikiat.

Peter Dale Scott, di dalam buku: “Konspirasi Soeharto – CIA, Penggulingan Presiden Soekarno, 1965 – 1967”; Surabaya: Perkumpulan Kebangsaan dan Anti Diskriminasi (Pekad) Univeritas Airlangga, menuding, G30S 1965 merupakan kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto.

G30S 1965 sebagai kudeta Pangkostrad Letjen TNI Soeharto, diungkap lebih terbuka dalam disertasi John Roosa, peneliti dari Kanada. Profesor Dr John Roosa dari University of British Columbia (UBC), Kanada.

Bukunya, “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia”, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007).

John Roosa sebut, G30S 1965, kudeta Soeharto dibiayai Central Central Inteligence Agency (CIA) Amerika Serikat.

Bagi John Roosa, G30S 1965, memiliki implikasi buruk yang cukup serius di dalam pembentukan karakter dan jatidiri/identitas bangsa Indonesia, dari sedianya semangat nasionalisme, anti-kolonialisme, cinta budaya sendiri, menjadi anti-komunisme, melalui berbagai aksi pembunuhan massal jutaan manusia tidak berdosa oleh pemerintahan Presiden Soeharto dan TNI-AD dengan dalih pembersihan PKI.

Identitas Bangsa Hilang

John Roosa sebagaimana dikutip Indoprogress.com, Senin, 17 September 2012, mengatakan, “Identitas Bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa.”

“Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total.”

Menurut John Roosa, pasca G30S 1965, Soeharto berfungsi sebagai attack dog buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip Hak Azasi Manusia (HAM), yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah.

John Roosa, mengaku, heran kenapa gerakan demokratisasi tidak mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Pemerintahan Presiden Soeharto, baru dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998.

Miseducation orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita harus kembali ke hari-hari lahirnya.

Dikatakan John Rossa, “Tujuan utama di balik pembantaian dilakukan Presiden Soeharto dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), mencakup dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (penangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu.”

“Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing.”

“Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kelompok Soeharto dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) membunuh orang yang sudah ditahan, satu point cukup penting: kelompok Soeharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS).”

“Supaya Amerika Serikat membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Soeharto sadar bahwa rezim kepemimpinannya akan bergantung kepada bantuan finansial dari Amerika Serikat untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.”

John Roosa, mengatakan, “Hubungan Soeharto dan TNI-AD, tekait brain trust. Itu istilah dipakai Central Inteligence Agency (CIA) sendiri dalam laporan tentang G30S 1965 pada tahun 1968. Tidak ada satu kelompok perwira Angkatan Darat yang sering rapat dan menyusun bersama strategi yang jelas untuk semacam konfrontasi terhadap PKI.”

“Organisasi mereka lebih informal dan strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa. Yang jelas, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira antikomunis. A.H. Nasution sering bicara dengan perwira lain tentang strategi untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara pimpinan Angkatan Darat dan Amerika Serikat erat sekali sebelum dan sesudah G30S 1965.”

“Banyak perwira Angkatan Darat diterbangkan ke Amerika Serikat untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk militer Amerika Serikat. Amerika Serikat kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI.

Amerika Serikat membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke Pemerintah Soekarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Soeharto.”

“Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang.”

“Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya,” ujar John Roosa, sebagai dikutip Indoprogress.com, Senin, 17 September 2012.

G30S 1965 sebuah persepsi politik dipaksakan Presiden Soeharto dan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), menjadi bukti sejarah sebagai pemberontakan PKI.

Padahal, di negara manapun di dunia, tidak ada kudeta dilakukan masyarakat sipil sukses menggulingkan pemerintahan yang sah. PKI adalah lembaga politik sipil, bukan institusi militer.

Anti-komunisme

Kudeta Soeharto terhadap Presiden Soekarno melalui G30S 1965, memiliki dampak buruk sangat serius di dalam pembangunan karakter dan jatidiri/identitas masyarakat.

Apabila di era Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa, tapi di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) sampai 7 Nopember 2017, berubah total menjadi semangat anti-komunisme.

Semangat anti-komunisme seakan sudah sebagai pengganti ideologi Pancasila. Karena ‘Ideologi anti-komunisme’, dijadikan alat untuk memberangkus kelompok minoritas, serta sesamanya yang tidak memiliki visi dan misi yang sama dalam perjuangan.

Secara ideologi, ketika Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam konsepsi Trisakti; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkarakter secara budaya, akan tetapi di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) sampai 7 Nopember 2017, antar sesama anggota masyarakat terlalu mengedepankan kesalehan individu dengan menganggap hanya kelompoknya saja paling benar, serta pihak lain dilihat sebagai musuh.

Semangat kesalehan sosial, dengan menghargai dan menerima orang lain dalam semangat keberagaman budaya selama pemerintahan Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) menjadi hilang begitu saja, saat kepemimpinan nasonal beralih ke tangan Presiden Soeharto sebagai dampak G30S 1965 (Eko Sulistyo: 2019).

Wijaya Bambang (2013), mengatakan, rezim Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara.

Terbukti, jauh sesudah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Sebagian penandatangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 17 Agustus 1963, menjadi motor penggerak Presiden Soeharto di dalam melakukan agresi Kebudayaan Barat berhaluan liberalis – kapitalis di Indonesia, melalui ideologi anti komunisme.

Faktor-faktor membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965 -1966.

Pemerintahan Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998) beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966.

Ada intervensi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Ada perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme rezim Soeharto.

Ada lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme barat dan anti-komunisme’ (Wijaya Bambang: 2013).

CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC), pimpinan Frank Wisner, seorang pejabat CIA AS terlibat dalam perencanaan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Persatuan Rakjat Semesta (PRRI/Permesta), 1957-1958.

Wijaya Bambang (2013), menyebut nama Goenawan Mohammad, salah satu oknum penandatangan Manikebu, patut diduga mendapat proyek dari Ivan Kats, Congrès pour la Liberté de la Culture’, Perancis, diminta menuliskan upaya-upaya PKI dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural orang-orang yang tidak sepaham dengannya, hingga menterjemahkan karya sastrawan Perancis, Albert Camus, mendapat bayaran US$50. (Aju)