Oleh : Nur Setia Alam Prawiranegara SH M.Kn
Indonesia memiliki sumber daya yaitu Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia.
Sumber Daya Manusia salah satunya adalah “Perempuan” dimana dia adalah salah satu
makhluk manusia yang unik, menarik kemampuan dan kekuatan baik secara fisik maupun mental dalam menghadapi segala situasi. Akan tetapi bisa menjadi korban dari mahluk manusia lainnya yaitu laki-laki.
Bahkan bisa juga dari kalangan perempuan sendiri yang tidak memahami, sehingga masih dianggap sebagai pelengkap dan penderita dari sesuatu hal bernama Relasi Kuasa.
Teori Relasi Kuasa menurut Michael Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme,
menunjukkan posisi kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana ada relasi, di sana ada kekuasaan, dan hal tersebut ada di mana-mana.“Kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak untuk berkuasa”.
Pada umumnya, kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain.
Contohnya bisa terjadi baik dari lawan jenisnya yaitu laki-laki, agama, budaya, sosial, dan ekonomi, maka semua akan bermuara pada hukum dan hak asasi manusia.
Hukum sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat norma dan sanksi dengan tujuan mengendalikan perilaku manusia.
Fungsinya adalah menjaga ketertiban keadilan dan kepastian hukum yang mengatur dalam pergerakan hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang dimaksud dengan Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja sebagai suatu sistem yang diperlukan bangsa Indonesia sebagai Negara berkembang, “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.”
Oleh karena itu, untuk tercipta “keadilan” Hukum harus beriringan dengan Hak Asasi Manusia. Makna dari kata “Hak” dalam hal ini berarti sebagai kepunyaan atau kekuasaan atas sesuatu. Sedangkan“Asasi” adalah sesuatu hal yang utama dan mendasar.
Hak Asasi Manusia mempunyai makna hak-hak dasar manusia yang dimiliki sejak berada dalam kandungan dan setelah lahir ke dunia yang berlaku secara universal dan diakui oleh semua orang.
Oleh karena itu bisa diilustrasikan bahwa Perempuan yang membutuhkan rasa keadilan berprespektif gender melalui tegaknya Hukum dan HAM selayaknya “sepasang sepatu” yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi.
Problematika perempuan untuk memperoleh keadilan dari segi hukum dan HAM tidak hanya untuk mereduksi permasalahan terhadap perempuan yang begitu luas dan global, bahkan sampai dengan adanya Cyber Crime, dengan berbagai kejahatan yang unik dan selalu baru dimana ujungnya mengenai kekerasan seksual dengan segala macam bentuk.
Misalnya, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Penanganan ini tentu membutuhkan lembaga-lembaga yang peduli, dalam hal penangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai PENGGERAK AKTIF/UJUNG TOMBAK.
Suka tidak suka, selama ini masih terjadinya kekerasan berbasis gender dan segala bentuk penyerangan, eksploitasi seksual yang menimbulkan akibat atau mungkin berakibat penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi pada kehidupan pribadi maupun kehidupan di depan umum.
Perlindungan baik dalam Hukum dan HAM dapat dijadikan sebagai suatu TEROBOSAN HUKUM UNTUK KORBAN dengan mengejawantahkan hambatan-hambatan tersebut, dimana dibutuhkannya suatu sistem baru atau peraturan perundang-undangan yang didalamnya, selain berisikan falsafah dan perbuatan tetapi terdapat sanksi pidana.
Peraturan itu diharapkan dapat lebih melindungi perempuan dan anak, dan atau kaum disabilitas dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar bertanggung jawab terhadap pemulihan, pencegahan kekerasan seksual baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya.
Serta adanya restitusi bagi korban sebagai suatu permasalahan hukum dan HAM yang dihadapi oleh perempuan Indonesia.
Oleh karena itu, maka upaya penghapusan kekerasan seksual harus dilakukan secara bersama oleh lembaga negara Eksekutif, Lembaga Yudikatif dan Lembaga Legislatif dan para Penegak Hukum yaitu Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim, bersama-sama mendorong disahkannya RUU P-KS menjadi UU sebagai wujud nyata kebersamaan antara Hukum dan HAM.(*)
Penulis adalah pemerhati hukum dan pembela hak-hak perempuan