JAKARTA (Independensi.com)
Meskipun sudah ada TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan didukung Undang-Undang Anti KKN, namun aparat penegak hukum baik Kejaksaan maupun Kepolisian tidak pernah melakukan penegakan hukum terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme.
Masalahnya, kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono, diantara para penegak hukum juga ada yang ragu-ragu dalam memandang apakah perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai delik atau bukan.
“Sebagian menilai perbuatan kolusi-nepotisme bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri, tapi bagian dari tindak pidana korupsi,” kata Ali di Gedung Pidana Khusus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (12/11) dalam Forum Group Discution (FGD) bertemakan “Optimalisasi Penindakan Delik Kolusi dan Nepotisme Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi ”.
Ali sendiri berpendapat dari materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari KKN, perbuatan kolusi-nepotisme adalah delik yang berdiri sendiri, dan bukan merupakan bagian dari delik korupsi.
Dikatakan juga mantan Aspidsus Kejati Jawa Tengah ini bahwa belum optimalnya penindakan terhadap delik kolusi dan nepotisme bukan karena politik hukumnya, tetapi lebih kepada politik penegakan hukumnya yang belum mendukung.
Seperti pengalamannya sewaktu menjadi Kajati Bengkulu pada 2016 pernah mengadili mantan Bupati Seluma Murman Effendi dengan dakwaan Murman telah melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Pengadilan tingkat pertama dan banding memutuskan Murman terbukti KKN. Namun pada tingkat kasasi dibatalkan Mahkamah Agung dengan alasan perbuatan Murwan adalah korupsi,” ungkapnya.
Dia menyebutkan dengan kondisi seperti itu mengindikasikan adanya lima kekeliruan dalam pengelolaan politik penegakan hukum nasional yang tidak berubah pada masa orde baru hingga pasca reformasi.
“Padahal kolusi-nepotisme pasca reformasi cenderung lebih masif daripada sebelum reformasi,” katanya seraya menyebutkan selain masalah substansi hukum juga ditambah masalah struktur hukum yang tidak komprehensif menghadapi masalah korupsi.
Terutama, tuturnya, dalam kebijakan pemerintah selalu mendikotomikan soal korupsi antara pencegahan dan penindakan tanpa memperhatikan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN,
“Sehingga tidak menyentuh penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme,” ucap Ali yang mengkhawatirkan jika kondisi tersebut berlangsung terus menerus bukan tidak mungkin akan memicu terjadinya reformasi gelombang kedua.
Masalahnya, tutur dia, dalam praktiknya tidak serta merta penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Kegiatan FGD dihadiri Sekretaris JAM Pidsus Raja Nafrizal, Staf Ahli Sudung Situmorang, para Direktur pada JAM Pidsus dan dihadiri anggota Satgassus P3TPK Tahun 2020 yang akan dilantik Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jumat (13/11).
Selain itu FGD yang dilaksanakan secara virtual diikuti para Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri beserta jajaran Pidsus dari kantor masing-masing satuan kerja di seluruh Indonesia.
Sedangkan nara sumber yang hadir di tempat acara maupun secara virtual antara lain mantan JAM Pidsus Ramelan, Guru Besar Universitas Padjajaran Romly Atmasasmita, Guru Besar Univesitas Trisaksi dan mantan Jaksa, Andi Hamzah, Guru Besar Univesitas Indonesia Topo Santoso dan Deputi Menko Polhukam bidang Hukum dan HAM Sugeng Purnomo.(muj)