JAKARTA (Independensi.com) – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Petrus Selestinus, menegaskan, Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya) Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman, berwenang menurunkan baliho Mohammad Rizieq Shihab (MRS).
“Langkah Pangdam Jaya, dan kemudian dipertegas lagi berupa bentuk dukungan dari Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, sudah benar, demi ketertiban dan ketenangan masyarakat. Jakarta, itu, bukan milik satu kelompok, tapi miniatur Indonesia, karena statusnya sebagai Daerah Khusus Ibu Kota,” kata Petrus Selestinus, Kamis, 26 Nopember 2020.
Tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI), menurut Petrus Selestinus, dalam menjamin tetap terjaganya ideologi Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Manuver MRS dan Front Pembela Islam (FPI) sudah mengingkari terhadap aspek keberagaman atau Bhineka Tunggal Ika di Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam penjabaran filosofi ideologi Pancasila.
Apa yang dilakukan Kodam Jaya dan Polda Metro Jaya, didasarkan kejadian pasca kepulangan MRS dari Arab Saudi di Jakarta, Selasa, 10 Nopember 2020. Dalam berbagai aktifitasnya, MRS tidak mengikuti standar Protokol Kesehatan, dimana tidak mau mengikuti karantina mandiri selama 14 hari untuk mengeliminir penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19).
Dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat, MRS kemudian menebarkan ujaran kebencian kepada Pemerintah Republik Indonesia, TNI dan Polri, serta menyebut kata-kata kotor berupa pelecehan terhadap seorang artis perempuan, Nikita Mirzani.
Pola-pola yang dilakukan MRS dan FPI, sama seperti di sejumlah negara yang penduduknya mayoritas Islam, dimana kemudian terjadi perang saudara, akibat tidak diantisipasi sebelumnya, seperti kejadian di Iran tahun 1979.
Demikian juga di Suriah, karena pertikaian terus berlanjut, membuat para pemberontak meminta perlindungan Amerika Serikat dan Pemerintah Suriah dilindungi Federasi Rusia, semata-mata rebutan sumberdaya alam berupa minyak bumi. Ini semua lantaran ujaran kebencian mengatasnamakan agama tidak diantisipasi, sebagaimana dilakukan MRS dan FPI di Indonesia.
Petrus Selestinus mengungkapkan, tugas TNI adalah tegak lurus di dalam menjalankan politik negara berdasarkan ideologi Pancasila, supaya tidak condong ke kiri (komunis dan liberalis) dan tidak condong ke kanan (ideologi berdasarkan doktrin agama tertentu). Apa yang dilakukan MRS dan FPI, menggiring masyarakat menganut politik negara condong ke kanan (berdasarkan doktrin sempit, yaitu khilafah).
Menurut Petrus Selestinus, untuk mengantisipasi maraknya paham radikalisme dan terorisme, TNI memiliki doktrin Tri Dharma Eka Karma (Tridek).
Dalam penangkalan paham radikalisme melalui Tridek, jajaran TNI memiliki tiga tugas dan fungsinya, yaitu fungsi penangkalan, penindakan dan fungsi pemulihan.
Khusus di TNI AD memiliki struktur dan kemampuan yang mumpuni sehingga bisa melakukan penangkalan radikalisme. Digelarnya sampai ke desa-desa, karena paham radikalisme ada di Desa.
Untuk menangkal paham radikalisme di desa dan kecamatan, jajaran TNI AD melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Komandan Rayon Militer (Danramil) melalui pembinaan komunikasi sosial dan melalui kesadaran bela negara.
Hal tersebut, karena di lingkungan masyarakat itu ada yang memiliki paham aneh seperti adanya kelompok yang memiliki pemahaman radikalisme sebagaimana dilakukan MRS dan FPI, pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) didasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.
Jadi masayarakat yang pahamnya aneh-aneh itu (radikalisme) harus dilaukan pembinaan supaya pahamnya itu tidak berkembang menjadi tindakan.k
“Atas hal itu, jajaran TNI akan meningkatkan peran penangkalan dan penindakan paham radikalisme yang telah siap untuk dilakukan. Termasuk di antaranya membantu tugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, dalam menertibkan baliho MRS,” kata Petrus Selestinus.
Petrus Selestinus menilai, polemik tentang operasi penertiban FPI bergambar MRS dengan pesan-pesan provokatif yang terpasang di seantero Jakarta dan tempat-tempat lainnya, oleh aparat TNI, bukan hanya sekedar pro dan kontra, tetapi juga mulai menghakimi institusi TNI.
Sebagaian pihak menyatakan bahwa tugas menertibkan baliho atau apapun lainnya (bangunan liar, kebersihan dan keindahan Kota) adalah tugas aparat Satuan Polisi Pamong Praja atau aparat Ketertiban Kota dari Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang bukan menjadi urusan tugas dan wewenang TNI.
Sementara sebagian pihak menyatakan, mendukung pelaksanaan tugas TNI menertibkan baliho MRS. Argumentasinya TNI berwenang menertibkan baliho karena salah satu tugasnya antara lain membantu tugas Pemerintahan di Daerah.
Apalagi terkait baliho MRS, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terkesan membiarkan baliho MRS yang berkonten provokatif terpasang secara liar di mana-mana.
Pandangan lain mengatakan bahwa yang hendak ditertibkan oleh aparat TNI adalah pesan-pesan provokatif pada baliho MRS yang berisi pesan sara, pesan kebencian, fitnah, intoleransi dan berpotensi mengganggu keharmonisan antar warga masyarakat, mengganggu kohesivitas masyarakat yang beragam dan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
“Di dalam ketentuan pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, dikatakan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara dan dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan kemanan rakyat semesta dstnya. yang akan diatur dengan Undang-Undang,” ujar Petrus Selestinus.
Peraturan organik dari ketentuan pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang TNI, yang di dalam pasal 5 dan pasal 7 disebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Menurut Petrus Selestinus, keputusan politik negaranya adalah menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, yang dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.
Tugas Pokok TNI, selain perang menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang TNI, antara lain: mengamankan obyek vital nasional strategis, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain.
Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh TNI Khususnya Pangdam Jaya menertibkan baliho-baliho MRS yang terpasang di berbagai lokasi di Jakarta dan di tempat-tampat lain, adalah tugas TNI “selain perang” sehingga sangat beralasan dan berlandaskan hukum.
“Apalagi konten pesan-pesan dalam baliho MRS berpotensi memecah persatuan dan kesatuan, mengganggu kohesivitas sosial masyarakat beragam dan mengancam kedaulatan bangsa,” ungkap Petrus Selestinus.
Apa yang dilakukan oleh Pangdam Jaya untuk DKI Jakarta, terkait penertiban baliho MRS Shihab, adalah implementasi dari kebijakan dan keputusan politik negara, seperti yang diatur di dalam norma, standar, kriteria dan prosedure sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang TNI.
“Oleh karena itu jangan ‘hakimi’ Prajurit dan institusi TNI. Karena apa yang dilakukan TNI terkait penertiban baliho MRS, adalah bukti pengabdian TNI untuk negeri. Bukan pengkhianatan sebagaimana dituduhkan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo,” ungkap Petrus Selestinus. (Aju)