Ilustrasi. Budiman Sudjatmiko dan Prabowo Subianto. (ist)

Capres Stratejik, Cawapres Futuristik

Loading

Oleh: Dr. Maruly H. Utama *

JAKARTA (Independensi.com) – Terminologi hijab sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum keberadaan Islam di Iran, Yahudi dan India. Justifikasi hijab pada wanita dilandasi lima point yaitu : pertama; rahbaniah yaitu, teori yang mengajarkan manusia untuk mencapai hakikat tertinggi harus meninggalkan kenikmatan duniawi, salah satu faktornya adalah wanita.

Kedua; Faktor sosial, faktor ini muncul karena ketidakadilan dan rasa tidak aman, sehingga harta kekayaan dan isteri harus disembunyikan supaya tidak dirampas oleh penguasa.

Ketiga; Faktor ekonomi, faktor ini disebabkan anggapan bahwa wanita hanya sebagai alat produksi yang dipergunakan untuk mengerjakan urusan domestic rumah tangga termasuk mengasuh anak.

Keempat; Faktor etis yang dikarenakan sifat posesif laki-laki yang ingin memiliki wanita secara pribadi dan tidak bisa menerima jika isterinya berbicara dengan laki-laki lain.

Kelima; Faktor psikologis, faktor ini timbul dari perasaan rendah diri wanita karena perbedaan secara fisik dengan laki-laki dan kebiasaannya datang bulan sehingga harus mengasingkan diri dalam rumah.

Saba Mahmood, antropolog dari Mesir menyatakan bahwa banyak muslimah yang memakai hijab karena alasan identitas agama dan ekspresi kesalehan seseorang. Dengan menggunakan hijab, seorang muslimah mempercayai bahwa dirinya lebih saleh dibandingkan dengan wanita yang memilih untuk tidak menggunakannya.

Tentu saja ada alasan lain untuk menggunakan hijab seperti alasan keamanan, kenyamanan dan alasan politis. Feminis dalam negeri, Dewi Chandraningrum menulis dalam bukunya “Negotiating Womens Veiling, Politic and Sexuality in Contemporary Indonesia” bahwa sebagian politikus perempuan terkadang menggunakan hijab untuk keperluan politis supaya mendapatkan suara pemilih.

Hormat untuk Ibu Negara, Iriana Jokowi yang memilih untuk tidak menggunakan hijab. Dengan demikian rakyat Indonesia tetap bisa melihat ibu menggunakan kebaya sebagai pakaian nasional dalam acara resmi kenegaraan. Tanpa hijab, keberadaan Ibu Negara mewakili semua suku, agama, ras dan golongan. Pancasila dalam tindakan, bukan sebatas ucapan.

Sebagai Ibu Negara, ibunya rakyat Indonesia, ibu juga adalah orang tua dari anak-anak dan keluarga. Tentu saja masa depan anak-anak sangat ditentukan oleh peran ibu. Dukungan massa yang meluas untuk mencawapreskan putra sulung ibu itu tidak natural. Terlihat sebagai hasil kerja operasi penggalangan.

Pernyataan Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengafirmasi dukungan Cawapres pada Gibran bukan agenda Presiden menunjukan secara eksplisit peran ibu. Tapi saya meragukan jika ibu yang melakukan kerja-kerja politik ini. Namun tidak ada kekuatan lain yang berani melakukan penggalangan dukungan Cawapres tanpa persetujuan orang paling berkuasa di negeri ini.

Jika Gibran menjadi Cawapres Prabowo maka konflik dengan PDIP semakin menajam selain serangan politik dinasti sebagai alat konsolidasi kelompok Ganjar dan Anies. Tetap jaga Presiden bu, jangan juga menjerumuskan Prabowo. Dia bukan politisi, permintaannya agar Gibran mendampinginya sebagai Cawapres adalah ungkapan ketulusan karena Presiden yang begitu baik padanya.

Sialnya ketulusan ini dimanfaatkan oleh orang lingkar dalam istana untuk melakukan manuver sebagaimana manuver 3 periode atau perpanjangan masa jabatan.

Dalam berbagai simulasi survey, dipasangkan dengan siapapun Prabowo selalu unggul. Artinya pemilih Prabowo sudah terkonfirmasi. Keberadaan Cawapres bukan sebagai figur yang menentukan.

Pengumuman hasil rapat partai-partai yang tergabung dalam KIM dengan menyebutkan pilihan bacawapres adalah Gibran, Khofifah, Ridwan Kamil dan Erick Thohir. Jika Gibran menjadi pilihan, konsekuensinya justeru mendegradasi legacy Presiden Jokowi. Sementara tiga calon lainnya menggunakan pertimbangan konservatif, sekedar mengakomodir kepentingan elektoral dan logistik.

Pemimpin stratejik punya tantangan dan kesulitan dalam pernikahan, sama seperti Putin di Rusia, Prabowo bercerai. Tidak ada persoalan, bahkan tanpa isteri Putin mampu mengangkat Rusia dari keterpurukan. Yang menjadi persoalan itu adalah jika Prabowo menikah dengan wanita berhijab. Perancang busana dari Wadas dan Yaman pasti senewen karena diperintah untuk membuat kebaya dengan kombinasi hijab.

Capres stratejik harus memilih cawapres futuristik. Cawapres yang bisa membangun teori sekaligus praktek. Jika Rusia hanya ada Putin, Brazil hanya ada Lula maka Indonesia memiliki keduanya, Prabowo dan Budiman.

Selain dukungan internasional, mengutip statemen salah seorang sekjend partai dalam sebuah acara mengatakan, kehadiran Budiman dalam mendampingi Prabowo bukan kehadiran pribadi melainkan sama saja dengan membawa 4% pendukung partai yang ditinggalkannya.

Pernyataan ini dikuatkan dengan hasil survey yang menyatakan terdapat pergeseran pemilih hingga 5% di Jawa bagian selatan setelah Budiman mendukung Prabowo. Budiman adalah versi terbaik dari semua bentuk politisi pasca Orde baru yang pernah ada,–bersih dari korupsi dan visi yang kuat tentang Indonesia adik makmur masa depan.

Jika Kopassus adalah pasukan elitnya tentara maka PRD adalah pasukan elit aktivis 98. Sejarah dibentuk oleh orang-orang yang mengejar cita-cita. Tak ada orang yang benar-benar sendiri dalam memperjuangkannya.

Teori dan praktek yang diimplementasikan dalam praksis politik adalah takdir sejarah yang mempertemukan Prabowo dan Budiman dengan cara yang tidak terduga.

17 Oktober usia Prabowo tepat 72 tahun. Panjang umur Jenderal! Sehat tetap bersemangat Jenderal! Tidak ada perayaan, tidak ada kue tart dan tidak ada makan-makan. Teriring ucapan ini, jajaran kader Partai Rakyat Demokratik dan seluruh perjuangan rakyat progresif revolusioner mempersembahkan Budiman Sudjatmiko guna mendampingi Jenderal Prabowo Subianto untuk bersatu rebut hari, rebut jam! seperti kata Mao Zedong dalam tulisan Han Suyin.

Sebait puisi yang tertulis pada makam Aliarcham di Boven Digoel kiranya tepat untuk menggambarkan relasi Prabowo dan Budiman. “Obor yang dinyalakan dimalam gelap gulita ini, kami serahkan pada angkatan kemudian”. (*)

*Penulis Dr. Maruly H. Utama, DPP Prabu – Dewan Pimpinan Pusat Prabowo Budiman Bersatu