JAKARTA (Independensi.com) – Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri) mengambil alih kasus kerumunan massa Mohammad Rizieq Shihab (MRS) dari Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dan Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar).
“Pertimbangannya, karena menyangkut semua wilayah, yaitu saat kedatangan kerumuman massa menyambut MRS di Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Selasa, 10 Nopember 2020. Kemudian di Petamburan, Jakarta Pusat, dan di Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, 10 – 20 Nopember 2020,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Andi Rian Djajadi, Jumat, 18 Desember 2020.
MRS menyerahkan diri di Polda Metro Jaya, Sabtu pagi, 12 Desember 2020. MRS ketakutan setelah 6 pengawalnya ditembak mati Polisi di pintu gerbang Kilometer 50 Tol Jakarta – Cikampek, Senin dinihari, 7 Desember 2020. Hanya berselang beberapa jam usai penembakan, Polda Metro Jaya mengumumkan status tersangka MRS, karena 2 kali mangkir dari panggilan Polisi.
MRS ditersangkakan atas hate speech, sikap permusuhan terhadap Negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri), 10 – 20 Nopember 2020. Kasus 14 laporan masyarakat ke Polda Metro Jaya, Polda Jabar dan Polda Bali, 2017 – 2020, di antaranya chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein, diputuskan Polisi dibuka kembali, agar MRS tidak bisa lolos dari jeratan hukum. MRS sempat kabur ke Arab Saudi pada 26 April 2017, untuk menghindari proses hukum.
Kiprah pongah, merasa diri paling hebat sendiri, merasa paling suci sendiri, dengan mulut kotornya menyebut artis Nikita Mirzani sebagai lonte, MRS, pentolan Front Pembela Islam (FPI) semenjak tiba di Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020, menimbulkan amarah meluas masyarakat.
MRS hanya menghirup udara bebas selama 39 hari (10 Nopember – 12 Desember 2020), setelah tiba di Indonesia. Apalagi setelah Polisi menetapkan 5 pentolan FPI lainnya sebagai tersangka, kondisi MRS semakin terpuruk.
Perlawanan serentak FPI, tuntut pembebasan tanpa syarat MRS, nyaris tidak ada artinya. Khusus di Jakarta, pada demonstrasi serentak di Indonesia, Jumat siang, 18 Desember 2020, tampak sekali sikap tegas dan keras dalam mengemban misi Negara dari Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran, membuat pendukung FPI tidak berdaya.
Aksi demonstrasi dibubarkan paksa TNI dan Polri, karena memang tidak mengantongi izin sebagai upaya mengantisipasi meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19). Di Jakarta, malah ada demonstrans yang ditangkap karena membawa senjata tajam, menikam 2 anggota Polisi dengan senjata tajam, hingga membawa berbagai jenis Narkotika dan Obat Terlarang (Narkoba), sehingga membuat posisi MRS dan FPI semakin terpuruk.
Main Judi Politik
Kepulangan MRS ke Indonesia, dalam kaitan persiapan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024. MRS dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat pemilih, terutama pemilih dari kalangan Islam garis keras anti Pemerintah di dalam mengusung figur Calon Presiden (Capres) pada Pilres 2024 yang tidak menutup kemungkinan patut diduga dimotori Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan elit Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) seperti (Din Syamsudin, Jenderal Purn Gatot Nurmantyo dan Amien Rais).
Din Syamsudin, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015 – 2020. Gatot Nurmantyo, Panglima TNI (8 Juli 2015 – 8 Desember 2017). Amien Rais, Ketua Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1999 – 2004 yang sebagai pendiri, justru dipecat dari Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 2020.
Tidak menutup kemungkinann pula, Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden Indonesia, 2004 – 2009 dan 2014 – 2019, patut diduga sebagai salah satu hard gamer dengan menempatkan MRS sebagai proxy war.
Akan tetapi jika dilihat dari konstalasi politik pasca MRS menyerahkan diri di Polda Metro Jaya, Sabtu, 12 Desember 2020, momentum menapak panggung dari calon yang digadang-gadang, yaitu pasangan Bakal Calon Presiden tahun 2024, yaitu Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, di samping paket Anies Baswedan – Gatot Nurmantyo atau Anies Baswedan – Agus Harimutri Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat, tidak lebih dari praktik main judi politik.
Mengapa? Jika hal yang disebutkan di atas sebagai indikasi awal manuver politik PKS, Nasdem, Demokrat dan KAMI, maka dengan mudah dibaca, sehingga membuat masyarakat menjadi tidak simpati di tengah-tengah desakan meluas terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk memberangus tuntas aksi radikalisme dan intolerans pasca penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena bersikeras mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Islam garis keras, yaitu khilafah.
Dalam takaran tertentu, PKS, Nasdem, Demokrat dan komplotan KAMI, bisa saja nantinya dituding mendukung aksi radikalisme dan intolerans yang selalu berkolerasi dengan terorisme di Indonesia, karena membela MRS dan FPI yang secara jelas-jelas sebagai aktor utama hate speech dan sikap bermusuhan dengan kelompok minoritas, Pemerintah, TNI dan Polri.
Komplotan KAMI, PKS, Nasdem dan Demokrat, bisa saja nantinya dituding otak di balik upaya penghancuran ideologi Pancasila berlandaskan: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika, karena memperalat MRS dan FPI yang menganut paham khilafah, demi kepentingan politik dalam Pemilihan Presiden (Pilres) 2024.
Kalaupun paket Anies Baswedan – Ridwan Kamil, atau, Anies Baswedan – Gatot Nurmantyo, atau, Anies Baswedan – AHY, atau, Gatot Nurmantyo – Ridwan Kamil, memenuhi syarat diusung menjadi Calon Presiden dalam Pilres 2024 (PKS, Nasdem dan Demokrat), diyakini tidak akan mengantongi dukungan maksimal dari masyarakat pemilih, kalau tidak ingin disebut sudah layu sebelum berkembang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), tidak akan mungkin melepaskan begitu saja MRS dari jeratan hukum, karena menyangkut harga diri Pemerintahan yang tengah berkuasa, demi menciptakan situas keamanan di dalam negeri yang konsusif.
Sebagai pion atau proxy war para hard gamer, MRS dan FPI selama ini sebagai icon bagi berbagai pihak di dalam melawan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan tudingan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendukung China.
Presiden Joko Widodo malah dituding tidak konsisten di dalam menjamin terjaganya ideologi Pancasila, berlandaskan: UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, jika tidak kuat terhadap tekanan oknum tertentu, sehingga membuat MRS lepas dari jeratan hukum.
MRS masuk bui, membuat optimalisasi strategi perlawanan kelompok yang berseberangan dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, menjadi kehilangan momentum.
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDIP), Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Airlangga Hartanto, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) yang disebut-sebut akan kembali berkoalisi dalam Pilres 2024, pasti melakukan berbagai upaya memberikan dukungan politik bagi Presiden Joko Widodo, supaya MRS tidak boleh lolos dari jeratan hukum.
“Tidak ada sebuah organisasi massa yang merasa dirinya paling hebat, lebih tinggi dari Negara, dengan bebas menebar hate speech. Ini dilakukan bertahun-tahun, tanpa bisa disentuh hukum. Tidak ada tempat bagi kaum radikal dan intoleran di Jakarta, karena bisa merusak rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran, Jumat, 4 Desember 2020.
Operasi intelijen terpadu dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (Bais TNI), dan Badan Pemeliharaan Keamanan Polisi Republik Indonesia (Baharkam Polri), mendisain seakan-akan ada pembiaran terhadap kelakuan MRS setelah mendarat di Jakarta, Selasa, 10 Nopember 2020, membuat oknum elit politik di KAMI, PKS, Nasdem, Demokrat, awalnya sempat merasa sangat yakin segera meruntuhkan kewibawaan Presiden Indonesia, Joko Widodo.
Para lawan politik sama sekali tidak mengira, dalam melakukan serangan balik, tapi sangat mematikan, ternyata Presiden Indonesia, Joko Widodo, hanya cukup mengoptimalkan peran Mayor Jenderal TNI Dukung Abdurachman selaku Pangdam Jaya dan Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran selaku Kapolda Metro Jaya, sebagai barometer di dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Langkah dukung Dudung dan Imran, dimana kemudian didukung sepenuhnya dari Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Hadi Tjahjanto dan Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Idham Aziz.
Alur Hard Gamer
Tidak sulit untuk mencari kolerasi dan siapa-siapa saja sebagai hard gamer dengan memposisikan MRS sebagai proxy war. Di awali Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia, 2004 – 2009 dan 2014 – 2019) terbang ke Arab Saudi.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK), mengklaim, membahas kelanjutan pembangunan Museum Internasional Sejarah Nabi Muhammad SAW dan Peradaban Islam di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu, 24 Oktober 2020. Peletakan batu pertama museum tersebut sudah dilakukan di Jakarta, 26 Februari 2020.
Satu pekan kemudian, FPI mengklaim MRS segera kembali ke Indonesia. Tapi Duta Besar Republik Indonesia di Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, Rabu, 4 Nopember 2020, menegaskan, MRS memang dideportasi. Karena berstatus overstayer, menurut Agus Maftuh, maka MRS bersama 15 anggota keluarganya, terlebih dahulu membayar harus bayar denda Rp23 miliar, untuk bisa meninggalkan Arab Saudi.
Namun kita tidak bisa memfitnah begitu saja JK begitu saja sebagai salah satu aktor politisi di balik kepulangan MRS ke Indonesia.
Tapi kiprah para elit politik, setelah MRS tiba di Indonesia, bisa dijadikan petunjuk di dalam melakukan analisa. Bisa dilihat keterlibatan berbagai pihak di dalamnya, serta siapa yang rela merogoh kantong hingga Rp23 miliar untuk membayar denda over stay MRS setelah 3,5 tahun (26 April 2017 – 10 Nopember 2020) bersembunyi di Arab Saudi, agar bisa kembali ke Indonesia.
Saat tiba di kediamannya di Petamburan, Jakarta Pusat, Anies Baswedan, langsung menemui MRS di Petamburan, Jakarta, Selasa malam, 10 Nopember 2020. Hal yang sangat aneh, karena sesuai ketentuan, di dalam pandemi Covid-19, seseorang yang baru datang dari luar negeri, wajib mengikuti 14 hari karantina mandiri.
Sementara saat bersamaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jakarta masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam memutus mata rantai penularan Covid-19. Demi syahwat politik dalam menarik simpati masyarakat, Anies Baswedan, melanggar aturan yang dibuat sendiri.
Tidak cukup sampai di situ. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, turut pula mendatangi kediaman MRS di Petamburan, Jakarta Pusat. Pada Rabu, 11 Nopember 2020, giliran Ridwan Kamil, berkeinginan menemui MRS di Petamburan, Jakarta Pusat.
Karena ingin bertemu MRS itulah, membuat Ridwan Kamil, pada Jumat, 13 Desember 2020, melakukan pembiaran kerumuman massa MRS ribuan orang tanpa mengindahkan protokol kesehatan di Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Sabtu, 14 Nopember 2020, Anies Baswaden menjadi saksi di dalam penikahan anak MRS. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, hadir di dalam pernikahan anak MRS. Malah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, menyumbangkan 50 ribu lembar masker bagi massa yang menghadiri pesta pernikahan anak RMS, kendatipun setelah dihujat banyak kalangan yang bersangkutan meminta maaf.
Semuanya menjadi ribut sendiri bagai kera kena belacan (terasi), setelah Presiden Joko Widodo, memanggil Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Polisi Idham Aziz, untuk mencopot Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Nanang Sudjana digantikan Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran (Kapolda Jawa Timur), dan Kepala Polisi Daerah Jawa Barat, Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahradi diganti Inspektur Jenderal Polisi Ahmad Dofiri (Asisten Logistik Kapolri), terhitung 16 Nopember 2020.
Jumat, 20 Nopember 2020, Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran, menggelar konferensi pers bersama. “Penurunan baliho provokatif MRS atas perintah saya. Jangan coba-coba buat onar di Jakarta,” tegas Dudung. Fadil Imran menambahkan, “Tidak ada tempat bagi kaum intolerans dan radikal di Jakarta. Akan saya sikat habis!”
MRS tiarap, tapi masih berupaya melakukan perlawanan. Dua kali dipanggil tidak hadir. Senin dihinari, 7 Desember 2020, polisi menembak mati 6 pengawal MRS yang melakukan perlawanan di Jakarta. Para hard gamer tiarap agar tidak ketahuan, membuat MRS ditinggalkan seorang diri, ketakutan, dan memilih menyerahkan diri sebagai tersangka di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Sabtu siang, 12 Desember 2020. Lima pentolan FPI lainnya telah pula ditetapkan sebagai tersangka.
Keterlibatan Partai Politik dan Elit Politik
Untuk melihat keterlibatan partai politik dan elit politik di belakang MRS, bisa dilihat dari Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Rabu, 17 April 2017. Anies Baswedan yang dipecat Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, dirancang JK sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian diusung PKS, Gerindra dan Nasdem.
Pada putaran kedua, untuk mengalahkan petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilakukan kriminalisasi politik dengan tuduhan menista Agama Islam, dibuat narasi Jakarta harus dipimpin seorang beragama Islam, sementara Ahok adalah pemeluk Agama Kristen.
Ahok kemudian setelah kalah di dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, divonis hakim 2 tahun penjara di auditorium Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Mei 2017.
Keberhasilan Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, sebagai proxy war, membuat MRS menjadi besar kepala. Karena terus-terusan dilakukan laporan polisi sebanyak 14 kali, membuat MRS memilih kabur ke Arab Saudi, 26 April 2017.
Kaburnya MRS ke Arab Saudi, bukan berarti berbagai manuver politik dalam menghadapi Pilpres 2024, menjadi hambar. Karena secara terang-terangan pula, kendati sekarang masih menjadi bagian dari koalisi Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), tapi di Pantai Losari, Makassar, Sabtu, 1 Januari 2020, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, secara terbuka mendukung Anies Baswedan sebagai Calon Presiden tahun 2024.
Mendapat dukungan Nasdem, membuat PKS menjadi lebih bersemangat, setelah Partai Gerindra, memutuskan berkoalisi dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pasca Pemilihan Presiden tahun 2019.
“Kalau itu masih panjang ya, saya kira tetapi kita bangga dulu lah. Sekali lagi, ini tantangan buat Anies Rasyid Baswedan untuk membuktikan kinerjanya yang lebih baik di Jakarta. Kita dukung Anies Baswedan dalam Pilres 2024, koalisi dengan Nasdem,” ujar Sekretaris Jenderal PKS, Musafa Kamal di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta, Selasa, 25 Februari 2020.
Partai Demokrat sendiri, diprediksi sangat pragmatis di dalam menghadapi Pilres 2024. Tapi setelah melihat manuver elitnya terus menyalahkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pasca ditembak mati 6 pengawal MRS di Jakarta, Senin dinihari, 7 Desember 2020, peluang Partai Demokrat, akan berkoalisi dengan PKS dan Nasem di dalam mengusung Calon Presiden tahun 2024 mendatang, terbuka lebar.
Benny K Harman, anggota DPR dari Komisi III dari Partai Demokrat yang membidangi hukum, hak asasi manusia dan keamanan mengatakan kepolisian perlu memberikan keterangan yang objektif kepada publik, Senin siang, 7 Desember 2020.
Dengan melihat historisnya, hampir dipastikan Partai Demokrat, tidak akan mungkin berkoalisi dengan PDIP, Gerindra dan Partai Golkar dalam Pemilihan Presiden tahun 2024. Koalisi tambahan PDIP, Golkar dan Gerindra dalam Pilres tahun 2024, diprediksi ditambah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hatinurani Rakyat (Hanura) dan Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia (PKPI).
Pertimbangannya, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, masih tetap tidak ingin berdamai dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Indonesia (20 Agustus 2004 – 20 Agustus 2014). Karena ketika menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, SBY, tiba-tiba mengundurkan diri, untuk melawan petahana Presiden Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden tahun 2004.
Apalagi dari berbagai hasil survey lembaga survery, PDIP, Partai Gerindra dan Partai Golkar, diproyeksikan tetap akan bertengger pada tiga besar dalam hasil Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif tahun 2024, sebagai modal utama berkoalisi dalam Pilres tahun 2024.
Sikap dendam Megawati Soekarnoputri, karena komplotan SBY memperalat para ulama dalam Pemilihan Presiden tahun 2004. Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Fauzan Al-Anshari, menyatakan, Presiden wanita haram hukumnya. “Keputusan ini kami ambil berdasarkan Al-quran, sunnah dan pendapat para ulama,” kata Fauzan dalam keterangan pers di Jakarta, Senin, 7 Juni 2004.
Sebanyak 24 kiai Nahdlatul Ulama se Jawa Timur menggelar pertemuan di kediaman Kiai Haji Mas Subadar, pemimpin Pondok Pesantren Raudhatul Ulung, Kemesuk, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis, 3 Juni 2004. Para kiai memutuskan menolak presiden wanita. Bukan hanya itu. Mereka juga menyatakan haram hukumnya bagi warga nahdlyin memilih Calon Presiden berjenis kelamin wanita pada Pemilihan Presiden, 5 Juli 2004.
Seorang perempuan boleh dipilih menjadi pemimpin apabila negara dalam keadaan genting darurat, seperti kudeta. “Tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kita punya ikhtiar memilih di antara beberapa calon. Ini kita harus memilih yang laki-laki,” kata K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, Provinsi Jawa Timur, Kamis, 3 Juni 2004.
Dampaknya SBY dengan mudah mengalahkan mantan bosnya, Megawati Soekarnoputri dalam Pilres tahun 2004.
Anies Baswedan dan Ridwan Kamil
Dari uraian di atas, ambisi politik Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, hingga Gatot Nurmantyo dan AHY, untuk maju di dalam Pilres 2024, sudah kehilangan momentum. Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, setidaknya, diyakini tidak akan mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Argumentasinya, karena Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, hingga Gatot Nurmantyo dan AHY, sudah terlanjur dicap masyarakat sebagai bagian dari kelompok radikal dan intolerans, dengan melakukan pembiaran terhadap aktifitas MRS pasca kembali ke Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020.
Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, telah memeriksa Anies Baswedan, Rabu, 18 Nopember 2020, dan Polisi Daerah Jawa Barat, telah memeriksa Ridwan Kamil, Rabu, 16 Desember 2020, karena melakukan pembiaran terhadap kerumuman massa MRS, 10 – 20 Nopember 2020.
Anies Baswedan sudah berkali-kali menyatakan sikap berseberangan dengan Pemerihan Presiden Joko Widodo. Ketika ribuan massa terdiri dari pelajar merusak fasilitas umum di Jakarta, sebagai bentuk proses pengesahan undang-Undang Omnibus Law, Anies Baswedan, di Jakarta, Rabu, 14 Oktober 2020, dengan enteng berkata, “Kalau ada-anak yang dalam usianya melakukan tindakan keliru, ya dia harus diberi didikan lebih banyak.”
Lebih lucu lagi, Ridwan Kamil, usai diperiksa polisi, Rabu, 16 Desember 2020, menuding Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Azasi Manusia, Mahfud MD, sebagai biang kerok kekisruhan karena menginginkan jutaan massa MRS menjembut di Bandar Udara Soekarno Hatta, Selasa, 10 Desember 2020.
Peran JK sebagai hard gamer di dalam Pilres tahun 2024, dimana dipastikan berseberangan dengan PDIP, Partai Gerinda dan Golkar, mulai terlihat setelah Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya, menyatakan, siap melibas habis aksi radikalisme dan intolerans di Jakarta, pasca MRS ditetapkan sebagai tersangka, Jumat, 20 Nopember 2020.
Menurut JK, kembalinya MRS yang disambut ingar-bingar ribuan pendukungnya itu patut mendapat perhatian. JK mengatakan MRS telah mengisi kekosongan pemimpin Islam akibat absennya figur yang menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar.
“Di situ MRS masuk dengan jumlah pengikut yang luar biasa besar,” kata JK dalam Majalah Tempo edisi 23 – 29 November 2020.
JK menjelaskan, partai-partai Islam yang wasathiyah, moderat, diharapkan mengusung amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi semuanya pragmatis saja. Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, kata JK, tentu sibuk dengan dakwah dan upaya sosial. Sehingga, upaya mengisi kepemimpinan pun berkurang dan di situ lah sosok MRS.
“Kita jangan hanya asyik berdakwah, tapi juga menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. Ini karena kita asyik berpolitik, akhirnya ada kekosongan yang diisi oleh MRS,” ujar JK.
Sebuah argumentasi yang sulit diterima akal sehat, karena bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang masih cinta akan ideologi Pancasila, bisa menerima tokoh alternatif seperti MRS dan FPI sebagai pengusung Calon Presiden yang kerjanya hanya menebar hate speech, sikap bermusuhan terhadap TNI dan Polri.(Aju)