JAKARTA (Independensi.com) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang. Sehingga secara resmi Ibu Kota Negara akan pindah ke Kalimantan Timur.
Namun pakar hukum Suhardi Somomoeljono dalam surat terbukanya kepada Presiden Djoko Widodo meminta agar sebelum dilakukan pemindahan Ibu Kota Negara Jakarta tetap perlu dilakukan referendum.
“Sebaiknya terlebih dahulu wajib dimintakan persetujuan dari rakyat, dengan cara referendum,” kata Suhardi dalam surat terbukanya yang diterima Independensi.com, Kamis (20/1)
Selain itu, tutur Suhardi, dari perspektif kemanfaatan sebelum opsi meminta persetujuan rakyat atau referendum dilaksanakan, Presiden agar mengesampingkan dulu UU IKN yang telah disahkan.
“Presiden juga agar segera mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden membuka Cabang Ibu Kota Negara RI di Provinsi Kalimantan Timur sebagai solusinya,” kata Suhardi.
Masalahnya, tegas dia, Ibu Kota Negara secara logika hukum adalah merupakan Ibu dari kota-kota atau provinsi- provinsi yang ada diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dia menyebutkan Ibu Kota Negara Jakarta sendiri lahir setelah berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda. “Sedangkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dari abad 16-19, ibu kota negara bernama Batavia.”
Bahkan sebelumnya, tuturnya, pada Abad 15-16 dalam masa kekuasaan Kerajaan Falatehan bernama Jayakarta dan bahkan sebelumnya masa penjajahan Portugis bernama Sunda Kelapa.
Dikatakannya dengan berbagai perubahan nama Ibu Kota Negara dan saat ini setelah Indonesia merdeka bernama Jakarta menunjukkan Ibu Kota Negara memiliki nilai kejuangan yang sangat dalam.
“Mengingat secara historika biasanya sebelum suatu negara terbentuk, telah memiliki sejarah panjang sehingga terbentuklah karakter atau watak dari suatu bangsa tersebut,” katanya.
Namun dikatakannya juga jika dalam kenyataannya pemerintah sudah terlanjur membangun infra struktur di tempat Ibu Kota Negara akan dipindah di Kalimantan Timur dengan menggunakan uang negara yang besar maka dari perspektif kebijakan tidak perlu dipersoalkan.
“Mengingat secara logika hukum masih dapat dimungkinkan, Presiden dengan kebijakannya membuka Cabang Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur dan atau di provinsi-provinsi lain. Sepanjang masih dalam koridor demi kepentingan umum,” ujar Dosen Pascasarjana Univeristas Matla’ul Anwar, Banten ini.(muj)