JAKARTA (Independensi.com) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyatakan tetap menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari Pemerintah terkait revisi UU Pendidikan Kedokteran yang telah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR sejak September 2021. Selain itu, revisi UU tersebut juga telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2022.
Oleh karena itu, menjadi tidak habis pikir jika pihak Kemendikbud khususnya Dirjen Riset Dikti menyatakan bahwa pembahasan revisi UU No. 20 Tahun 2013 belum perlu dilanjutkan.
“Kalau memang tidak perlu mengapa ada Surat Presiden (Surpres) yang diterbitkan? Terbitnya surpres menunjukkan bahwa ada kesepahaman antara Presiden dengan DPR bahwa ada beberapa masalah terkait UU Dikdok ini sehingga sudah saatnya untuk direvisi,” ungkap Wakil Ketua Baleg Willy Aditya dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/2).
Willy menandaskan bahwa RUU Pendidikan Kedokteran diperlukan untuk menyelesaikan masalah pendidikan dokter yang terjadi seiring zaman.
“Penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran terkait migrasi dunia 4.0, ini lingkungan strategis pesat yang harus kita respons dalam pendidikan kedokteran. Dalam dunia yang akan serba digitalize, dokter niscaya hanya akan jadi fasilitator. Selain itu, problem distribusi juga masih jadi masalah hingga saat ini. Dokter kita masih sangat terbatas dan menumpuk di Jawa,” kata Willy.
Kenyataan ini, menurutnya, masih terjadi hingga hari ini. Dokter tidak hanya menumpuk di Jawa tetapi secara spesifik menumpuk di wilayah perkotaan. Penyebabnya adalah kehendak untuk mengembalikan biaya pendidikan yang begitu mahal.
“Ini ditambah dengan adanya mekanisme UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter). Ujian kompetensi ini telah membuat seorang calon dokter menjadi ‘masuk sulit, keluar pun sama sulitnya’. Dan semua seolah harus dibayar dengan biaya yang begitu besar. Bagaimana dunia kedokteran kita akan menjadi humanis jika demikian?” ungkapnya retorik.
Merujuk pada sejarah, Willy mengingatkan bahwa Indonesia lahir dari perjuangan para dokter. Sebab itu, ia menyesalkan dengan kebijakan pendidikan kedokteran saat ini yang membuat banyak dokter kesulitan mengembangkan dunia sosial hingga politiknya di luar profesi.
Maka menjadi tidak aneh jika pikiran dokter saat ini hanya membuka praktik sebanyak mungkin. Lokus mereka adalah perkotaan dan Jawa karena desa dan daerah pinggiran tidak menarik dan relevan dengan besarnya biaya pendidikan yang mereka tempuh. Bahkan para orang tua akan menyebut profesi dokter kepada anak-anaknya jika mereka ingin cepat kaya.
“Di sanalah krisis humanisme terjadi. Masuk mahal, keluar pun sama. Feodalisme pun menjadi niscaya akhirnya. Untuk itu dunia kedokteran perlu reformasi. Di luar negeri orang berlomba-lomba membuka RS pendidikan, di kita limited, bahkan swasta sulit jadi RS pendidikan. Kami tidak ingin jadi negara yang terjebak pada komersialisasi,” papar Willy.
Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu mengingatkan bahwa pakem kerja Presiden Jokowi adalah peka terhadap perubahan, bukan malah berdiam di zona nyaman. Itulah mengapa Nadiem Makarim ditunjuk sebagai Mendikbud. Ini tentu tidak terlepas dari terus berubahnya dunia saat ini yang dipicu oleh revolusi industri 4.0.
Di sisi lain, tingginya biaya pendidikan kedokteran saat ini menjadi semakin muskil untuk dijangkau oleh mereka yang terbatas secara ekonomi. Pendidikan kedokteran menjadi identik milik kalangan mampu dan berduit belaka.
“Pendidikan kedokteran ini menjadi hulu dalam upaya kita membangun sistem kesehatan nasional yang lebih beradab dan berperikemanusiaan. Jika di sektor hulunya saja menyisakan banyak masalah maka tidak akan mungkin di sektor hilirnya akan beres,” tutup Willy.(RO/*)