Erman Radjagukguk

Hukum Itu Tidak Selalu Tegak

Loading

Oleh Bachtiar Sitanggang

MENGIKUTI pemberitaan belakangan ini rasanya miris sebagai generasi tua, karena setiap hari disuguhi perilaku anggota masyarakat yang tidak sepatutnya dilakukan karena bertentangan dengan kewajiban, tugas dan tanggung jawabnya menurut hukum, etika dan moral.

Kita menyaksikan: polisi menembak polisi di rumah dinas polisi, Irjen polisi bersama isteri merencanakan pembunuhan ajudannya; hakim agung Mahkamah Agung bersama beberapa stafnya terjerat lilitan perkara yang ditanganinya; serta advokat terlibat sebagai perantara suap-menyuap antara pengusaha (kliennya) dengan anggota majelis hakim agung.

Kalau hakim agung menjadi bagian dari “mafia hukum” kemana lagi masyarakat ini mencari keadilan, kalau keadilan itu dapat dibeli bagaimana nasib orang-orang yang tidak berpunya?

Kalau “mafia tanah” tidak diberantas penegak hukum, negara ini akan bangkrut.

Bagaimana agar hal-hal yang menyakitkan di atas tidak terulang, dan hukum itu tidak dijadikan industri atau usaha untuk mengeruk keuntungan orang atau kelompok tertentu seperti yang disyinyalir  Menkopolhukan Prof. Mahfud MD.

Mungkin perlu terapi khusus atau amputasi, sebab tanpa tindakan tegas, mungkin setiap orang akan seenaknya berbuat apa yang dia mau. Banyak buktinya,  seseorang yang mau menikah lagi dengan mudahnya menyewa orang lain menghilangkan nyawa isterinya.

Para anak-anak sekolah dengan mudahnya dihamili guru, dan para artis dengan ketenarannya memperdaya polisi seolah terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isteri melapor ke kantor polisi, sementara suami terkekeh-kekeh di mobil menonton via kamera tersembunyi, ternyata hanya “prank” (lucu-lucuan) mempermainkan lembaga negara, hukum dan petugas keamanan.

Di luar akal sehat, dua oknum polisi yang ditugaskan atasannya mengantar kue “selamat hari ulang tahun”, kepada institusi dengan bangganya menjilat kue tersebut dan konyolnya direkam dan dipertontonkan ke publik.

Mengapa bisa terjadi sedemikian parahnya etika dan moral yang dipertontonkan para penyandang jabatan dan kedudukan tersebut.

Apakah telah terjadi “Salah Asuhan”? Peristiwa yang kita singgung di atas dilakukan orang-orang terpelajar dengan jabatan terhormat dan kedudukan yang tidak semua orang bisa meraihnya.

Apakah saat ini kutipan penting Prof. Erman Rajagukguk SH LLM PhD, gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang mengatakan: “Hukum itu tidak selalu tegak. Sekali tegak, sekali runtuh. Karena, ia tergantung pada tingkah laku manusia.

Tugas kita adalah: tegakkan ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.” Kutipan tersebut terpampang dengan huruf emas di dinding salah satu gedung di kampus FH UI Depok, Jawa Barat.

Apakah saat ini hukum kita tidak tegak bahkan runtuh akibat ulah dan tingkah laku segelintir orang pelaksananya di lapangan dengan mata hati gelap sehingga meruntuhkan dan merubuhkan hukum dan peraturan perundang-undangan?

Tidak tegaknya hukum itu apakah kesalahan orang-perorangan atau kesalahan para orang tua? Apakah karena tidak lengkapnya hukum sehingga dengan mudah dipermainkan pelaksana, ataukah orang-orang yang bersangkutan sendirilah yang tidak memiliki etika dan moral?

Atau deretan peristiwa tersebut merupakan cerminan masyarakat dan bangsa kita saat ini, sehingga mau tidak mau harus semua lapisan dan institusi harus mengoreksi diri tidak hanya sekedar berbenah?

Mulai dari pejabat pemerintah termasuk lembaga perwakilan masyarakat, apakah sudah melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya sesuai hukum dan peraturan perundang-undangannya sebagaimana sumpah jabatannya?

Atau sumpah jabatan itu hanya formalitas saja?

Pemerintah, DPR, DPD dan MPR perlu mengkaji dan mencari akar permasalahan, apakah ada yang terlupakan dalam lembaga pendidikan kita sehingga tampil orang-orang yang tidak menghayati dan mengamalkan hukum, sopan-santun, etika dan moral?

Kalau selalu ada orang yang menggunakan keahlian dan kemampuannya melanggar hukum mengelabui publik, bangsa ini akan semakin tidak karuan.

Betapa besar enerji terbuang hanya untuk membongkar dan mengusut kasus “tragedi Duren Tiga” telah menyeret sekitar 90-an personil polisi, pada hal belum tentu tahu apa yang mereka lakukan.

Dengan kelihaian seseorang tokoh dan lembaga terperdaya, seperti sejumlah advokat, Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK serta Kompolnas sendiri. Kalau bukan kehendak Tuhan, kejahatan tersebut sempurna tidak diketahui umum.

Dalam menyikapi situasi sekarang ini kelihatannya sudah menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya perlu kesadaran bersama secara nasional untuk merenung kembali tujuan bersama yaitu masyarakat yang aman, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Agar generasi sekarang tidak dituding sebagai salah mengasuh, mungkin perlu mengingat kembali novel karya Abdul Moeis “Salah Asuhan” yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1928, terutama menghadapi dunia yang semakin menyatu.***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.