JAKARTA (Independensi.com) – Ahli Teknologi Polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) Mochamad Chalid mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap kandungan etilen glikol (EG) pada kemasan pangan berbahan Polietilena Tereftalat (PET).
Hal ini lantaran kandungan etilen glikol pada kemasan PET memiliki kadar rendah dan proses yang aman.
“Publik tidak perlu panik terkait kandungan EG dan DEG dalam kemasan Botol PET. Karena ada batas-batas zat tersebut dalam produk pangan yang bisa ditoleransi,” katanya dalam keterangan pers, dikutip Jumat (21/10/2022).
Ia menjelaskan, sebenarnya kandungan etilen glikol pada kemasan botol air minum PET masih dalam tahap aman dan selalu dalam pengawasan BPOM.
Meskipun berasal dari senyawa yang sama, Chalid menjelaskan, proses dan kadar kandungannya berbeda.
Lebih lanjut, ia memaparkan, dalam obat sirop etilen glikol (EG) dicampurkan dalam bentuk cair dan ikut diminum.
Namun demikian, penggunaan etilen glikol (EG) pada kemasan botol adalah sebagai senyawa pengikat dalam plastik PET yang sulit untuk luruh.
Pada obat, kandungan etilen glikol (EG) dianggap berbahaya karena digunakan untuk melarutkan bahan-bahan obat dan masuk ke tubuh karena ikut diminum.
Sedangkan dalam kemasan PET, senyawa EG ini sekadar dipakai sebagai aditif untuk mengikat polimer.
“Dan hanya bermigrasi jika kondisi ekstrem, yakni terpapar panas yang mencapai 200 derajat Celcius,” tandas dia.
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang menggunakan bahan Dalam hal ini, termasuk kemasan air mineral yang berbahan PET (Polietilen Tereftalat).
Terhadap kemasan pangan yang berpotensi mengandung Etilen Glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar Etilen Glikol di dalam produknya,” ujar Rahmad.
Rahmad bilang, penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol (EG) tersebut sangat diperlukan, meskipun sudah diberikan izin edar.
“Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” pungkas Rahmad.