Ancaman Politisasi SARA Dalam Pemberitaan Pilkada-Pilpres

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Ahmad Junaidi mengajak media untuk tidak mentoleransi politisasi SARA dalam Pilkada serentak maupun Pilpres. Sikap tegas media seperti itu menurutnya sangat dibutuhkan untuk menangkal menguatnya polarisasi masyarakat sebagaimana terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta tahun lalu yang berlanjut dengan kasus-kasus persekusi.

Dalam sambutan Diversity Award, yang merupakan penghargaan kepada karya-karya jurnalistik yang kuat dan mendalam menyuarakan isu toleransi beragama, pria yang punya sapaan akrab Alex ini sekaligus mengingatkan agar media tidak malah memperkeruh dan mengobarkan sentimen SARA di tahun-tahun politik.

“Media jangan sampai ikut terseret ke dalam perpecahan politik yang menggunakan agama dan etnis karena kerusakannya sangat besar bagi bangsa ini yang hingga kini masih berlanjut, terutama di media sosial,” ujarnya di hadapan ratusan pengunjung malam penganugerahan yang digelar dua tahunan oleh SEJUK sejak 2014 lalu dalam siaran pers, Sabtu (31/03/2018).

Junaidi juga menegaskan posisi SEJUK yang mengecam keras intimidasi yang dilakukan FPI terhadap Tempo waktu lalu. Bagi SEJUK, mengerahkan massa, mengancam dan melakukan kekerasan atas kerja-kerja jurnalistik adalah pelecehan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan pers. “Ketika pers sebagai pilar demokrasi bangsa ini diintimidasi, seharusnya negara bertindak tegas, terlebih ada unsur-unsur kekerasan dalam aksi yang dilakukan FPI saat itu,” harapnya.

SEJUK, sambung dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara ini, mengingatkan semua pihak, baik warga maupun negara, bahwa kerja-kerja jurnalistik tidak bisa ditekan apalagi dengan kekerasan, karena dijamin undang-undang. Ketika terjadi sengketa atas suatu pemberitaan, maka mekanismenya harus melalui mediasi Dewan Pers, sehingga kasus yang menimpa Tempo tidak terulang lagi.

Peraih Diversity Award 2018

Tantangan yang tidak mudah di tengah kecenderungan meningkatnya intoleransi dan diskriminasi atas nama agama dari tahun ke tahun, mengharuskan adanya penghargaan yang tinggi bagi jurnalis yang secara khusus memproduksi pemberitaan-pemberitaan yang menyuarakan kelompok rentan.

“Diversity Award merupakan bentuk apresiasi atas karya-karya jurnalistik yang tidak sekadar memberitakan fakta, tetapi menunjukkan komitmen kepada semangat keragaman dengan menyuarakan secara tegas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara dalam beragama dan mengekspresikan keyakinannya sesuai tuntunan konstitusi dan hak asasi manusia” papar Junaidi.

Dewan juri yang terdiri dari Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Andy Budiman, novelis dan pendiri AJI Ayu Utami, pendiri Galeri Foto Jurnalistik Antara Oscar Motuloh, Pemimpin Redaksi Rappler Indonesia Uni Lubis memutuskan karya jurnalistik pemenang Diversity Award 2018: kategori radio “Asyuro Kota Semarang, Pembubaran tak Kunjung Usai” oleh Yuniar Kustanto, Elshinta Semarang; kategori TV “Tragedi Bom Bali 1: Belajar Ikhlas dari Penyintas” oleh Muhammad Miftah Faridl, CNN Indonesia TV biro Surabaya; kategori online “Program beasiswa LPDP dikritik soal tanya-jawab tentang agama, suku, dan gender” oleh Abraham Utama, BBC Indonesia; dan kategori foto “Keberagaman (di lapangan bola)” oleh Miftahuddin Mustofa Halim, Radar Bali.

Sementara, Diversity Award tahun ini tidak diberikan kepada kategori cetak. Tim riset, tim seleksi awal dan Dewan Juri tidak mendapatkan karya-karya jurnalistik cetak yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Diversity Award 2018.

Sebagai rangkaian Diversity Award, SEJUK selalu menyertakan program bantuan terbatas kepada jurnalis di Indonesia untuk melakukan liputan isu keberagaman dengan bersetia pada konstitusi dan hak asasi manusia.  “Fellowship Liputan Keberagaman 2018 bertujuan untuk mendorong jurnalis dan media massa cetak, online, radio, dan televisi lebih memberi perhatian terhadap isu keberagaman agama dan kepercayaan, etnis serta gender dan seksualitas dengan menggunakan kaca mata toleransi atau pluralisme dan hak asasi manusia,” ungkap Junaidi yang sekaligus ikut mengambil peran sebagai Dewan Juri.

Selain Ahmad Junaidi, yang terlibat menjadi juri fellowship adalah produser Kompas TV dan pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Budhi Kurniawan, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio (KBR) Citra Dyah Prastuti, peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad dan Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong.

Dewan juri memberikan penilaian terhadap proposal-proposal yang lolos verifikasi berdasarkan kekuatan tema, perspektif dan angle, narasumber, serta alur pemberitaan yang diturunkan dalam pertanyaan-pertanyaan kunci dan wishlist atau kebutuhan visual (untuk TV). Berdasarkan keputusan dewan juri, Fellowship Liputan Keberagaman 2018 diberikan kepada: Hera Diani (Magdalene.co) dengan tema proposal Dampak negatif peningkatan Islamisasi di institusi-institusi pendidikan di Indonesia dan Bramantyo (Okezone.com) proposal Kemerdekaan “Semu” Ketuk Palu Hakim untuk kategori online; Furqon Ulya Himawan (Media Indonesia) tema proposal Maraknya Perumahan Syariah di Yogyakarta dan Khoirul Muzakki (Tribun Jateng) tema Ketika Siswa Penghayat tidak Mendapat Tempat di Sekolah untuk kategori cetak.

Kategori radio diraih Zainudin Syafari (Global FM Lombok) dengan proposal liputan Potret Ahmadiyah Transito, Kelompok Pengungsi yang Haknya masih Dikebiri dan Ardhi Rosyadi (Elshinta Semarang) Diskriminasi Hidup Mati Masyarakat Penghayat. Sementara peraih TV hanya satu orang: Eka Rimawati (CNN Indonesia TV Biro Surabaya) dengan proposal bertema Penghayat, Menembus Batas Diskriminasi. Alasan yang hampir serupa menjadi pertimbangan Dewan Juri mengapa hanya satu yang mendapatkan fellowship. Dewan juri melihat bahwa proposal-proposal yang masuk masih belum mencapai kriteria liputan sebagaimana menjadi standar atau prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman yang selama ini dikampanyekan SEJUK.