BALI (IndependensI.com) – Leisure ekonomi itu perlu transformasi, kreatif dan inovatif. Kreatif itu penting untuk mencapai sukses namun tak harus banyak modal atau uang besar. Jadi tak seperti era pertanian dan era industrialisasi yang padat modal.
Mantan Ketua HIPMI Bali Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan hal itu, saat tampil sebagai pembicara pada seminar One Day Talkshow dengan tema “Terobosan Memenangkan Ceruk Pasar Pariwisata di Era Leisure Economy” yang digelar Ikatan Senior HIPMI – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia – (ISHI) Provinsi Bali bekerja sama sama dengan Bank Mandiri di Hotel Aston Denpasar, Senin (11/6/2018).
Acara yang dibuka dibuka Ketua Umum IHSI Bali yang juga Ketua Umum HIPMI Bali periode 2000-2003 I Gede Sumarjaya Linggih alias Demer ini menghadirkan sejumlah narasumber pakar di bidang ekonomi digital dan leisure economy (ekonomi bersenang-senang), pakar pariwisata serta senior-senior yang pernah menjabat pimpinan HIPMI Bali. Seperti I.G.A Inda Yudha Ketua Umum HIPMI Bali periode 2013-2016, I Ketut Sudikerta Mantan Pengurus BPD HIPMI Bali periode 2000-2003, I Ketut Sudikerta, Yuswohady Tim Co-Branding Kementrian Pariwisata, pakar blockchain Dr. Walter Tonetto, Kevin Wu Founder Tripal.co serta pembicara lainnya.
Menurut Rai Mantra yang juga Walikota Denpasar dua periode ini saat ini prilaku dan pola konsumsi masyarakat mulai bergeser dari goods-based consumption (barang) menjadi experience-based consumption (pengalaman). Kondisi ini mendorong lahirnya leisure economy atau ekonomi bersenang-senang.
Dalam praktiknya seperti traveling, menginap di hotel, menonton film, konser musik, dan kuliner telah menjadi konsumsi gaya hidup sekarang ini dan lebih penting ketimbang kepemilikan barang.
Potensi leisure economy yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata. Namun Rai Mantra yang menjadi Calon Gubernur Bali ini mendorong pengembangan leisure economy di Bali harus mampu mendorong terwujudnya quality tourism atau pariwisata yang berkualitas berbasiskan budaya dan lingkungan (cultural tourism dan ecotourism).
Dikatakan Rai Mantra leisure economy ini bukan masalah HIPMI saja tapi semua pelaku usaha di Bali harus mampu menangkap peluang ini. Namun leisure economy bukan hal yang sederhana. Sebab pelaku usaha harus mampu memahami pergeseran prilaku dan pola konsumsi konsumen atau masyarakat. Dimana saat ini konsumsi lebih ke arah jasa untuk mengejar kesenangan dan pengalaman ketimbang membeli barang.
“Leisure economy intinya bagaimana konsumen mendapatkan feel, ada rasa, pengalaman yang berbeda. Fenomena ini harus digabungkan di Bali yang memang dominan dan domain bisnisnya adalah pariwisata. Namun yang dikembangkan adalah pariwisata budaya dan quality tourism,” tegasnya.
Ia mencontohkan banyak aktivitas leisure yang bisa mengarah pada quality tourism. Misalnya wisatawan diajak melestarikan terumbu karang di destinasi wisata Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Selain dapat menikmati terumbu karang dan pemandangan alam bawah laut, wisatawan juga bisa berkontribusi melestarikan lingkungan. Maka dalam konteks itu aktivitas bisnis leisure mampu mendukung terjuwudnya pariwisata berkualitas dan ecotourism.
“Di Pemuteran, wisatawan bisa menanam terumbu karang. Lalu punya kenangan bagus dan akan kembali lagi. Tidak peduli berapa harganya, sepanjang mereka dapat pengalaman yang mengesankan dan unik,” tutur Rai Mantra.
Contoh lain, imbuh Rai Mantra, Nusa Penida, Klungkung bisa dikembangkan dengan pendekatan ecotourism sehingga ada kombinasi bisnis leisure dan keinginan mewujudkan quality tourism. “Nusa Penida akan jadi objek leisure luar biasa dengan ecotourism. Jadi leisure yang sifatnya quality tourism bukan mass tourism,” imbuh Rai Mantra yang dua periode menjabat Walikota Denpasar itu. (hidayat)