JAKARTA (Independensi.com) – Faktanya kebudayaan masyarakat melahirkan minimal tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik (sistem politik pada sebuah negara).
Pranata peradaban sosial, kemudian melahirkan subsupranata peradaban sosial, yaitu agama asli suku bangsa yang bersangkutan dengan materi utama kitab sucinya bersumberkan legenda suci, adat istiadat dan hukum adat suku bangsa yang bersangkutan.
Jadi, bicara masalah kebudayaan sebuah suku bangsa, otomatis di dalamnya bicara masalah sosial (ada agama di dalamnya), ekonomi dan politik suku bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, bicara kebudayaan Suku Dayak, otomatis di dalamnya bicara masalah sosial Suku Dayak (di antaranya agama asli Suku Dayak), bicara masalah ekonomi Suku Dayak dan bicara masalah politik Suku Dayak.
Ini yang menjadi argumentasi pemahaman universal, kebudayaan melahirkan agama, agama adalah produk budaya. Bicara masalah Agama Katolik atau Agama Kristen, misalnya, otomatis bicara masalah akar Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah, berkembang di daratan Eropa, hingga ekspansi ke Benua Asia.
Di Indonesia, keberadaan agama, termasuk agama asli berbagai suku bangsa, dijamin di dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa.
Karakteristik agama asli masyarakat adat suku bangsa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan teristimewa agama asli Suku Dayak, sangat unik, yaitu dalam ekspresi peradaban ritualnya, akrab dengan alam dan hutan.
Sebagian besar agama asli di Indonesia, termasuk agama asli Suku Dayak, meyakini, hutan sebagai tempat bersemanyam roh leluhur, sehingga dalam periode tertentu digelar ritual agama asli, sebagai sarana berkomunikasi dengan roh leluhur, penguasa alam sekitar.
Itulah yang mendasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, menggariskan, apabila sebuah wilayah lokasi hutan, terdapat situs pemukiman dan pemujaan, maka harus di-enklav dari kegiatan ekonomi non konservasi. Karena situs pemukiman dan situs pemujaan, paling disucikan dalam peradaban agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi
Dalam konteks jaminan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat, sebagaimana implementasi Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), membatalkan sejumlah frasa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
Dimana sebelumnya disebut, hutan adat adalah hutan negara, maka dalam putusan MK-RI, Nomor 34-PUU-XI/2012, tanggal 16 Mei 2013, diubah menjadi hutan adat di luar hutan negara, hutan adat bukan hutan negara dan hutan adat adalah milik masyarakat adat setempat, termasuk milik masyarakat Adat Suku Dayak.
Keberadaan agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk keberadaan agama asli Suku Dayak, semakin dikukuhkan melalui keputusan MK-RI, Selasa, 7 Nopember 2017, tentang pengakuan terhadap aliran kepercayaan, dimana dimaknai pula sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan agama asli berbagai suku bangsa Indonesia.
Menanggapi hal itu pula, maka Pemerintah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2018, memfasilitasi Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, 28 – 30 Nopember 2018.
Keputusan penting di dalam TIC 2018 di Sintang, di antaranya Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, melalui merevitalisasi peran hakim adat yang disebut Temenggung di Kalimantan Barat, Damang di Kalimantan Tengah, Pemanca di Negara Bagian Sarawak dan Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.
Sedianya, seorang Damang, merupakan tokoh sentral, karena memiliki empat tugas pokok yang sangat strategis, yaitu Kepala Suku dan atau Panglima Perang, Pewarta Agama Dayak, Kepala Pemerintahan dan Hakim Adat.
Peran hakim adat sebagai pewarta agama asli Suku Dayak, dirasakan sampai kapanpun masih terevan di dalam menciptakan masyarakat Adat Dayak yang beradat, yaitu berdamai dan harmonis dengan sesama, leluhur dan alam sekitar.
Hal ini dirasakan sangat relevan, manakala melihat kenyataan dewasa ini, sikap intolerans yang sering terjadi di Indonesia, para pelukunya selalu berasal dari pihak yang tidak menyadari dirinya sebagai korban hegemoni peradaban agama impor.
Padahal agama itu soal keyakinan iman, sarana pencipta kerukunan, ketentraman, kedamaian satu sama lain, untuk tidak boleh dijadikan alat memusuhi pihak lain, dengan dalih apapun.
Anthropolog Sekolah Tinggi Teologi (STT) Banjarmasin, Pendeta Dr Marko Mahin, dalam TIC 2018, mengatakan, revitalisasi peran hakim adat sebagai pewarta agama asli Suku Dayak, menjadi sangat penting untuk mewujudkan integrasi Kebudayaan Suku Dayak di dalam kebudayaan nasional dan internasional.
Pertarungan Peradaban
Sebab bagaimana mungkin, kebudayaan Suku Dayak yang melahirkan agama asli Suku Dayak di Pulau Borneo, bisa dikenal secara regional, nasional dan internasional, apabila peran hakim adat Dayak tidak segera direvitalisasi dan perangkat infrastrukturnya tidak dibenahi, untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Karena mesti dipahami, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila sekalipun, pada dasarnya terjadi pertarungan hebat peradaban antar suku-suku bangsa.
Pihak suku bangsa di Indonesia yang kuat dari aspek kebudayaannya, akan dengan mudah menghegemoni kelompok yang lemah dalam ekspresi kebudayaanya. Tujuannya agar suku bangsa yang kuat kebudayaannya tadi, dapat dengan mudah diakui sebagai kebudayaan kolektif, baik di tingkat regional, nasional dan internasional.
Jadi, untuk menciptakan kebudayaan Suku Dayak sebagai manifestasi agama asli Suku Dayak, bisa diakui secara kolektif pada tingkat regional, nasional dan internasional, maka apapun alasannya, Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, paling tidak harus mampu menghegemoni peradaban masyarakat luas di Pulau Borneo.
Tidak ada manfaatnya sama sekali jika Suku Dayak yang mengklaim dirinya sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, apabila dalam kenyataannya, Suku Dayak sendiri tidak mampu menghegenomi peradaban masyarakat di Pulau Borneo, dengan tidak berani, tidak tekun dan tidak konsisten di dalam mengangkat kebudayaannya sendiri pada tingkat regional, nasional dan internasional.
Berkaitan dengan itu, agar mudah menumbuhkan kesadaran kolektif Suku Dayak di dalam mengangkat kebudayaannya, maka keberadaan agama asli Suku Dayak yang berurat berakar Kebudayaan Suku Dayak, yaitu, legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak, mestinya mendapat porsi paling depan di dalam penjabaran teknisnya.
Itulah yang mendasari wacana mengusulkan penetapan Hutan Adat Gunung Bawakng di Kabupaten Bengkayang, dan Hutan Adat Kolohkak Tambun Tambun Bungai di Kecamatan Ambalau dan Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, karena dalam legenda, dua kawasan itu sebagai lokasi suci, sehingga nantinya diharapkan menjadi pariwisata religi agama asli Suku Dayak.
Situs Kuhta Bataguh
Ada ribuan situs pemukiman dan pemujaan Suku Dayak di Pulau Borneo, kurang mendapat perhatian dari kalangan Suku Dayak sendiri. Di antaranya Situs Kuhta Bataguh di Provinsi Kalimantan Tengah, sampai sekarang dibiarkan terlantar.
Kuhta Bataguh, merupakan peninggalan benteng terdekat dari Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Kuhta Bataguh (Pematang Sawang) berada di Desa Pulau Kupang, Kecamatan Selat, Kabupaten Kapuas.
Kuhta Bataguh sekarang berupa reruntuhan dari satu kota luas yang sangat menarik, terletak sekitar delapan kilometer sebelah selatan dari Kuala Kapuas, setelah timur dari Pulau Kupang di kawasan Handel Alai dan Handel Kuta.
Tatum, legenda suci Dayak Uud Danum, mengisahkan heroisme seorang gadis Suku Dayak bernama Nyai Undang, dengan dibantu dua jagoan, Tambun dan Bungai, beranggotakan 500 pasukan, mampu melumpuhkan 6 ribu pasukan Raja Sawang dari Solok, Philipina yang dikenal dengan pertempuran Kuhta Bataguh di Pematang Sawang.
Dalam pertempuran Bungai memiliki nama samaran Andin Sindai, dan Tambun memiliki nama samaran Anak Tambun Tapak. Pertempuran mempertahankan Kuhta Bataguh, menurut Tatum, merupakan pertarungan Nyai Undang melawan Raja Sawang dari Solok, Philipina.
Raja Sawang marah, lantaran sebelumnya salah satu saudara laki-lakinya dibunuh komunitas Suku Dayak di Kuhta Bataguh, lantaran memaksa menikahi Nyai Undang yang dikenal berparas cantik dan kaya-raya.
Dari luar benteng, Panglima Latang, Wakil Raja Sawang mengatakan kedatangan mereka ke Kuhta Bataguh untuk menghukum penduduk Kuhta Bataguh, agar menyerah tanpa syarat.
Rambang, dari perwakilan Suku Dayak, secara damai mengajak untuk berunding serta terlebih dahulu ingin menjelaskan duduk perkaranya, namun ditolak dan mereka lalu kembali ke pencalangnya.
Puluhan pencalang mendekat ke tepi dan berlompatanlah ribuan orang bersenjatakan tombak, pedang dengan perisai tembaga: lalu menaiki dinding benteng. Tetapi sampai di atas mereka disambut oleh sebuah mandau yang bagaikan menebas ilalang saja. Ada pula yang jatuh tanpa sempat berteriak lagi terkena anak sumpitan beracun.
Beratus-ratus orang memikul sepotong kayu bulat sebesar drum menumbuk pintu benteng berdentung bunyinya namun tidak dapat mereka hancurkan karena pintu benteng (kuhta) itu dibuat dari kayu ulin dua jengkal tebalnya.
Sementara itu dari atas pintu, menurut Tatum, benteng dijatuhkan batu-batu sebesar buah kelapa disertai dengan hujan anak sumpitan beracun. Menjelang senja, mereka mundur kembali ke pencalangnya.
Saat itu juga pintu benteng dibuka, Rambang dan pasukannya mengamuk bagai air dari bendungan yang bobol. Tidak hanya itu, merekapun lalu menaiki pencalang-pencalang itu dan menenggelamkannya.
Nyai Undang berdampingan dengan tunangannya, Sangalang, turut berperang yang sengaja mencari Raja Sawang saja. Dengan rambut terurai akhirnya Nyai Undang bertemu juga dengan “Raja Sawang”.
Nyai Undang berhasil membunuh raja itu dan membayar sumpahnya ingin rambutnya berkeramas dengan darah Raja Sawang yang dianggapnya penyebab kematian ibunya.Dapat dibayangkan betapa keadaan pertempuran itu, karena hanya dengan kekuatan sekitar 500 orang dapat mengalahkan 6 ribu orang lebih.
Hutan Adat
Sudah saatnya, seluruh lokasi situs pemukiman dan pemujaan milik Suku Dayak di Pulau Borneo, melalui Program Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, dengan mengedepankan peran hakim adat Dayak, sesuai ketentuan yang berlaku, secara bertahap, tapi mengikat semua pihak, ditetapkan menjadi Hutan Adat Dayak.
Hutan adat tersebut, di samping sebagai sumber mata pencaharian masyarakat berbasiskan pelestarian lingkungan, juga menjadi lokasi pariwisata religi berdaya tarik tersendiri, apabila masyarakat Adat Dayak mampu memberikan pemahaman nilai-nilai humanisme di dalam legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Dayak yang bersangkutan di wilayah itu.
Urgensi program revitalisasi peran hakim adat, karena masyarakat Adat Suku Dayak, secara historis, telah ada jauh sebelum ada kesatuan politik negara (state) baik Kerajaan Melayu Islam, pemerintahan Kolonial Belanda, Jepang, maupun Indonesia.
Dalam Mitos Suci, Masyarakat Adat Dayak, telah ada sejak penciptaan alam semesta, telah tinggal di Pulau Borneo, sebelum adanya kerajaan Hindu-Budha, Islam, Belanda, Jepang dan Indonesia.
Meminjam istilah Marko Mahin, secara teori Masyarakat Adat Dayak adalah sekelompok individu masyarakat pribumi Pulau Borneo yang bersekutu membentuk community (Kampong, Lewu, Tumpuk, Banua, Betang, Rumah Panjang) atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti. Komunitas-komunitas itu kemudian membentuk kelompok yang lebih besar yang disebut masyarakat.
Lahirnya komunitas Adat Suku Dayak, karena satu asal-usul nenek moyang, kesamaan bahasa, dan tinggal di satu wilayah yang sama, ada sejarah asal mula, sejarah perpindahan desa, sejarah para tokoh Desa.
Primus Interpares
Pentingnya merevitalisasi peran hakim adat Dayak, karena seorang Hakim Adat dipercaya dan dipilih oleh masyarakat Adat, dengan pemahaman primus inter pares: yang terkemuka dari semua, memiliki kelebihan dari yang lain, seperti memiliki kelebihan memahami, mengerti Hukum Adat dengan baik, berani, pandai bicara dan berhikmat dan bijaksana, bisa merangkul semua orang, berjiwa pemimpin, kaya, sehingga mampu beri makan semua orang, sehat jasmani dan rohani.
“Hakim Adat Dayak merupakan panggilan Illahi, bukan jatah atau quota atau warisan, dan siap hidup terkutuk, apabila terbukti berbuat salah,” kata Marko Mahin.
Dari aspek sosiologi adat sebagai sistem untuk mengatur komunitas dan masyarakat, bisa disimpulkan, interaksi melahirkan adat berupa norma-norma, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, tata susila/etika, budaya, sistem nilai, dan hukum.
“Dari aspek anthropologi adat berasal dari Tuhan, sebagaimana penuturan Imam Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak disebut Basir, dimana Hukum Adat berasal dari Ranying Hatalla Langit. Schärer (1963) menyatakan bahwa hadat telah ada sejak penciptaan,” ujar Marko Mahin.
Hadat adalah perintah-perintah atau tuntunan-tuntunan yang bersumber dari peristiwa-peristiwa suci yang dialami oleh para leluluhur pada awal mula zaman. Misalnya hadat kawin bersumber dari peristiwa perkawinan manusia pertama Manyamei dan Kameloh yaitu nenek-moyang manusia orang Dayak Ngaju.
Secara anthropologi dan sosiologi, lanjut Marko Mahin, adat adalah sistem atau hukum yang lahir atau berasal, dipelihara atau dijaga oleh keputusan-keputusan masyarakat adat, terutama keputusan-keputusan berwibawa (berotoritas) para ketua adat yang bertugas memimpin dan melaksanakan peradilan adat untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang senafas-seirama dengan keyakinan dan kesadaran masyarakat adat.
“Keseluruhan sistem atau hukum atau peraturan yang terwujud dalam bentuk peraturan para fungsionaris adat. Inti dari adat adalah hidup harmoni secara vertikal, hidup harmoni secara horizontal. Manusia beradat adalah manusia yang hidup harmoni secara vertikal dan horizontal,” ungkap Marko Mahin.
Menurut Marko Mahin, wilayah adat adalah ruang hidup kita. Wilayah Adat adalah tempat harta-kekayaan, kehidupan kita. Wilayah Adat adalah eksistensi kita. Wilayah Adat adalah identitas Dayak. Berkaitan dengan itu, petakan wilayah adat Dayak sebelum orang lain memetakannya.
Akitifitas adat sebagaimana tertuang di dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tahun 2000, dalam pasal pasal 18B, menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Masyarakat adat memiliki kegiatan ritual tahunan, berupa: ritual ladang (pesta panen, Naik Dango), ritual kelahiran, perkawinan, kematian, ritual masuk rumah. Sementara kegiatan kebudayaan, pertunjukan seni budaya, festival kuliner, festival permainan rakyat.
Sehubungan dengan itu, maka eksistensi masyarakat Adat Dayak tergantung kita, orang Dayak, karena hukum Adat Dayak hidup dan ditegakkan oleh kalangan internalnya, sehingga kalau bukan kita orang Dayak yang menggerakkan dan melestarikannya siapa lagi? Kalau bukan sekarang melakukan pelestariannya, kapan lagi? (Aju)
Sayang sekali di KALIMANTAN ini hutan nya sudah banyak rusak, pemerintah dengan semaunya memberikan HGU buat perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Sehingga mengakibatkan kerusakan alam yang semakin menjadi. Hutan adalah Temat kami bermain, berburu, mencari makan dn hutan adalah sumber kehidupan bagi kami. Kalau hutan habis kami pun habis.
#SaveHutanRimbaBorneo
Luar biasa saya membaca dari awal sampe akhir semua isinya bersipat membangun dan tinggal geraknya orang dayak aja lagi mengerakkan sebagai agen pelestari kebudayaan orang dayak dan agama kepercayaan orang dayak.