JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian (Kementan) terus mendorong pembangunan pertanian tanaman pangan di semua jenis lahan dan wilayah. Termasuk juga di kawasan perbatasan yang selama ini kurang tergarap dan sering terpinggirkan. Kementan dengan jeli melihat peluang bahwa kawasan perbatasan adalah wilayah yang sangat menarik untuk dikembangkan pertaniannya.
“Pemikirannya kawasan perbatasan adalah akses terdekat untuk produk kita bisa ekspor ke luar negeri,” demikian dikatakan Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman, Bambang Pamuji di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Bambang menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perbatasan yang cukup banyak antara lain, dengan Malaysia, Brunei, Filipina, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Perbatasan itu sebenarnya surga baru bagi kehidupan bangsa ini.
“Saya yakin perbatasan bisa menjadi penyangga pangan nasional. Spiritnya adalah memberikan kesempatan bagi penduduk kawasan perbatasan membangun ekonomi pangan yang tepat,” tegasnya.
Sebagai langkah nyata komitmen Kementan di wilayah perbatasan, Bambang menyebutkan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan memberikan fasilitasi Rice Milling Unit (RMU) sejak tahun 2016. Pembangunan RMU sebagai bentuk komitmen integrasi dan modernisasi langkah-langkah di lapangan.
Lebih lanjut Bambang menuturkan hingga saat ini RMU Kawasan Perbatasan sudah sebanyak 26 unit tersebar di beberapa provinsi seperti Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Bantuan alat tersebut secara teknis untuk meningkatkan kualitas produksi dan daya tawar petani.
“Dengan demikian masyarakat di kawasan perbatasan tersebut, khususnya para petani akan semakin kuat posisi tawarnya. Kawasan perbatasan dapat menjadi lumbung beras baik untuk domestik maupun ekspor,” jelas dia.
Lebih lanjut Bambang menyatakan Kementan bertekad mendorong daya saing produk di kawasan perbatasan. Menurutnya, daya saing itu bagian dari proses menciptakan keunggulan. Parameternya karakteristik produk, kapasitas profuksi, mutu produk, efisiensi usaha, nilai tambah, harga yang kompetitif, kontiniunitas suplain.
“Kita harus melakukan perubahan atas orientasi produksi sehingga tercipta keunggulan produk. Termasuk di kawasan perbatasan ini kita cari apa yang menjadi kekhasannya,” terangnya.
Kepala Subbagian Kelembagaan Organisme Pengganggu Tanaman, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Batara Siagian mengungkapkan sebagai komitmen ketika menerima RMU tersebut, kelompok penerima RMU Kawasan perbatasan terus bekerjasama dengan Perum BULOG untuk penyerapan hasilnya. Contohnya, di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, petani awalnya hanya menyerahkan nasib pada alam, hanya tanam setahun sekali saja karena nunggu hujan. Lalu April 2018 diberikan bantuan RMU dan hasilnya petani di sana sekarang bisa tanam padi minimal 2 kali.
“Tidak hanya berhenti pada fasilitasi RMU, tapi juga merambah ke konsep pertanian organik. Seperti halnya di Entikong Kalbar. Saat ini, sedang dilakukan pembinaan organik bekerjasama dengan FAO. Tanaman pangan, terutama produk beras organik menjadi salah satu primadona bagi kawasan perbatasan,” ungkap Batara.
Batara menambahkan Kementan bersama FAO pun dalam waktu dekat mengembangkan padi organik di wilayah perbatasan tersebut seluas 104 hektare. Varietasnya untuk padi organik yakni Inpari 24 dan beras hitam biasanya varietas lokal yakni Selasih. Pangsa pasar di kawasan perbatasan cukup menjanjikan disana, ujarnya. Organik ini produk eksotis dalam arti nilai jualnya tinggi.
“Di pasaran kan bisa dihargai Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu per kilogram. Saya yakin pangsa pasar organik di perbatasan ini masih terbuka luas, jadi mari kita maksimalkan manfaatkan kesempatan ini,” sebutnya.