Nancy Brahmana, Menyemangati Hidup Lewat Melukis dan Puisi

Loading

BEKASI (Independensi.com) – Ada banyak cara orang memotivasi diri sebagai inspirasi jiwa agar tetap semangat menjalani hidup di zaman yang serba canggih dan modern ini. Diantaranya menekuni hobi melukis dan juga membuat puisi. Kedua bidang ini pula yang menjadi pelampiasan hobi Nancy Meinintha Brahmana, perempuan kelahiran Medan 10 Mei 1971.

Melukis dan menulis puisi sudah dilakukan sejak lama. Salah satu kumpulan puisi karya terbaru yang dirilis oleh Nancy adalah Taratinggi. Bagi yang bukan penikmat seni atau tidak paham puisi, mungkin saja puisi kurang menarik. Puisi dianggap sebagai karya biasa-biasa saja.

Tetapi bagi yang mampu menyimak maknanya  pasti sangat menghargai puisi karya Nancy bertajuk Taratinggi. Rasa ingin tahu akan semakin menggebu ketika melihat cover buku berwarna krem dengan gambar rumah adat Karo yang dikelilingi pernak-pernik tersebut.

Ketika mendapat kiriman kumpulan puisi-puisi Karo tersebut langsung dari penulisnya Nancy Meinintha Brahmana tentu saja sangat menyenangkan hati. Saya beruntung karena mendapatkan buku Nancy dari penulisnya setelah direkomendasikan Tokoh Karo Bapak H Muhamad Tempel Tarigan yang juga penulis novel Jandi La Surong. Apalagi setelah membaca kata pengantar dan isi bukunya baru tahu Nancy ternyata salah satu dari cucu Bupati Karo yang pertama tahun 1946-1956 yakni Rakoetta Sembiring Brahmana.

Dalam buku kumpulan puisi-puisi Karo ini setidaknya ada dimuat 16 buah puisi dengan bahasa Karo yang saat ini sudah jarang digunakan oleh orang-orang Karo (bahasa Karo siadi, sinai, sidekah). Taratinggi merupakan sejenis tanaman benalu yang tumbuh di batang pohon besar di hutan dan daunnya berkhasiat untuk obat.

Nama tanaman berkhasiat itu menjadi inspirasi untuk dijadikan puisi oleh Nancy. Sekedar catatan, puisi-puisi Nancy dalam bahasa Indonesia juga banyak dan sering dimuat di beberapa media nasional. Namun beberapa tahun terakhir, Nancy justru banyak membuat puisi dalam bahasa Karo, sebagai bentuk kepedulian terhadap bahasa  Karo lama terus dijaga, dilestarikan, dan digunakan kembali dalam kehidupan sehari-hari di orang Karo supaya tidak hilang.

Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, termasuk bahasa Karo. “Bahasa Karo itu keren, kebanggaan kita orang Karo.  Jadi generasi muda Karo harus belajar supaya bahasa Karo itu tidak hilang,” kata Nancy bersemangat.

Perihal penulisan puisi Taratinggi tersebut, menurut Nancy, muncul dengan sendirinya. “Puisi Taratinggi sebetulnya ditujukan kepada sosok Rakoetta Sembiring Brahmana,” yang notabene adalah kakek saya,” kata Nancy.

Puisi ini seolah senandung doa  oleh ibunya Rakoetta Sembiring bermerga Beru Sebayang dari Desa Gunung, Kabupaten Karo. Senandung itu semacam nyanyian doa agar kelak anaknya menjadi teladan bagi keluarganya dan kuat menanggung beban yang diembankankan kepadanya.

Dalam perjalanannya, Rakoetta Sembiring Brahmana memang menjadi orang berprestasi dan  pernah menjadi Bupati Karo dua periode, pernah menjadi Bupati Asahan dan menjadi Walikota Tanjung Balai. Itu terjadi di awal-awal kemerdekaan. Rakoetta Brahmana juga dikenal sangat dekat dengan Presiden RI Soekarno. Ketika Soekarno berkunjung ke Sumatera Utara ketika itu pasti  menanyakan Rakoetta Sembiring Brahmana. Ini sungguh luar biasa bagi seorang putra Karo di zamannya. Prestasi yang pernah ditorehkan Rakoetta Sembiring Brahmana menjadi sejarah atau pelajaran penting bagi generasi muda Karo.

Melukis Matahari

Kini nama Rakoetta Sembiring Brahmana juga telah diabadikan sebagai nama jalan dari  Kota Kabanjahe hingga perbatasan Kotacane, Aceh Tenggara dan juga di Kota Tanjung Balai. Soal penghargaan berupa pemberian penamaan jalan tersebut tidak lepas dari perjuangan gigih dari Sang Cucu Nancy Meinintha Brahmana.

Nancy menuturkan, tidak mudah memperjuangkan nama jalan tersebut di Kabupaten Karo, sekalipun Rakoetta menjadi bupati Karo pertama pasca kemerdekaan Indonesia  dan menjabat dua periode. Banyak prosedur dan rintangan yang harus dilalui.  Suka atau tidak suka, kadang kita masih kurang menghargai sejarah. “Apa yang saya perjuangkan bukan untuk diri saya atau keluarga saya, tetapi bagaimana kita menghargai sejarah,” kata Nancy yang pernah tinggal selama beberapa waktu di Kota Kabanjahe.

Sejauh ini, hobi melukis dan membuat puisi dari Nancy tetap dilakoni. Melukis seperti sudah menjadi bagian hidup bagi Nancy. Meski tidak seproduktif seperti pelukis-pelukis profesional lainnya, tetapi Nancy menjadikan  kegiatan atau profesi melukis sebagai penyemangat hidup. Banyak lukisan Nancy yang kini dikoleksi.  “Kadang ada juga yang memesan lukisan saya untuk kantor, restoran dan juga untuk dipasang di rumah baru mereka,” kata Nancy yang kini sedang menggarap lukisan Matahari.

Tentang melukis Matahari ini memiliki semangat sekaligus keunikan tersendiri bagi Nancy. Mungkin itu sebagai sebuah karunia dari Tuhan,  karena Nancy bisa menatap matahari terik dengan mata telanjang. “Kalau orang lain menatap Matahari pasti silau, tetapi bagi saya tidak sama sekali,” kata Nancy yang mengaku ketika menutup matanya saja ada banyak muncul cahaya warna warni yang indah.

“Hal itu juga salah satu yang mendorong dirinya aktif melukis,” kata Nancy yang melukis dengan telapak tangan alias  tanpa menggunakan kuas sebagai mana pelukis lainnya.

Nancy selama ini sudah dikenal sebagai seorang pelukis, penulis puisi dan juga sebagai pelaku sekaligus pembina pengobatan spiritual. Profesi yang terakhir ini sering menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat, terutama dari Suku Karo. Kata pengobatan spiritual sering dilekatkan dengan hal-hal berbau mistis, bahasa terangnya dukun, setan,iblis, ilmu gaib atau begu (bahasa Karo).

“Saya membuka konsultasi khusus atau pribadi untuk pengobatan tradisional Karo. Namun jujur saja, saya sering terganggu dengan penilaian atau persepsi tentang pengobatan spiritual itu,” kata Nancy ketika ngobrol-ngobrol beberapa waktu  lalu di Apartemen Grand Kumala Lagoon Bekasi.  Padahal, lanjutnya, tujuannya  membantu orang yang sakit  karena  ada talenta atau karunia dari Tuhan.

“Saya berdoa dalam nama Tuhan dan mereka sembuh. Saya saja kadang heran, kok bisa sembuh. Tetapi mereka menganggap saya menggunakan “jampi-jampi’. Padahal, mulut saya mendoakan mereka yang sakit.  Kadang-kadang saya bersuara dengan keras dan nyanyi lagu gereja supaya tidak ada salah paham,” kata Nancy dengan nada serius.

Namun karena kesan atau image sebagai dukun itu membuat dirinya  mengurangi kegiatan untuk pengobatan spiritual tersebut. Kadang-kadang masih ada satu dua orang yang menghubungi dari luar daerah dan minta didoakan supaya sembuh.

Nancy juga mengungkap tentang  berbagai jenis obat tradisional Karo yang memiliki banyak khasiat. Banyak yang sudah sembuh setelah dipraktekkan. Bahan dasarnya semua berasal dari hutan Tanah Karo. Sebut misalnya daun Taratinggi untuk obat stroke, daun loning untuk obat diabetes, buah kayang-kayang untuk obat syaraf.

“Banyak yang bisa dilakukan untuk pengobatan dari tanaman hutan di Tanah Karo,” kata Nancy yang masa kecilnya mengaku pernah mati suri. Nancy pun mengaku dirinya bisa meracik banyak ramuan-ramuan tradisional menjadi obat herbal yang sangat paten. Termasuk diantaranya adalah minyak Karo yang secara kualitas jauh lebih baik dibanding herbal sejenis di Indonesia.

Karena itu pula, Nancy pernah didapuk sebagai Pembina sekaligus Ketua asosiasi untuk pengembangan obat tradisional Karo. Namun dukungan dari masyarakat Karo kurang, bahkan cenderung mematahkan semangat. Masih ada sifat kurang baik di masyarakat yang harus dikikis habis. Hal  itu menjadi salah satu penyebab Tanah Karo atau suku Karo tidak maju. ”Semua pahamlah ya maksud saya,” tuturnya. (kbn)