JAKARTA (IndependensI.com) – Terlepas dari masalah bagaimana caranya me-”maintenance” sponsorship dan relationship dengan para kolektor, yang jelas Munadi, pelukis kelahiran Kreo, Larangan, Ciledug, Tangerang 12 Maret 1962, ini, telah 11 kali menggelar pameran tunggal. Yang terbaru pada 10 -20 Oktober 2019 lalu Munadi menggelar pameran tunggal di Marto Art Center, Jalan Pondok Labu 1 Nomor 88, Cilandak, Jakarta Selatan, bertema Potret Diri. Selain pameran tunggal, sejak 1988 Munadi juga telah mengikuti pameran bersama baik di dalam maupun luar negeri sebanyak 34 kali.
Mengikuti perjalanan karir pelukis yang penampilan sehari-hari sangat sederhana ini, banyak pelajaran yang bisa dipetik. Sebagai anak seorang petani, di mana pada era tahun 1960-an Kreo dikenal sebagai penghasil buah dan sayur-mayur, Bang Mun — sapaan akrabnya — sudah terbiasa berkeringat membantu “Enyak-Babe” memanggul hasil bumi dari ladang ke rumah. Bahkan tak jarang dia pun membonceng sanga “Babe” yang hendak menjual hasil olahan di ladangnya tersebut ke Pasar Kebayoran Lama.
Berangkat selepas Subuh. Dengan penerangan jalan berupa obor (sempor?), sang Babe membawa dagangannya dengan dua keranjang yang ada di kiri-kanan “bonceng”-an sepedanya. Setiap lubur sekolah, Munadi ikut ke pasar. Saat memboceng sepeda yang di kanan-kirinya ada dua keranjang sebagai tempat dagangan, Mudani kecil duduk di antara dua keranjang penuh dagangan tersebut dengan menjulurkan kedua kakinya.
Momentum nostalgik masa kanak-kanak Bang Mun tersebut diangkat dengan narasi yang indah, ekspresif sekaligus inspiratif oleh PUG WARUDJU — Kurator Seni Rupa — dengan judul Agro Visual ala Munadi dalam katalog yang diberikan kepada setiap pengunjung pameran. Sementara BENG MUSA MAZMURI (Kolektor) menulis: melihat, menilik, mencoba menghayati, memahami karya-karya Munadi, saya mengambil kesimpulan ini adalah perenungan. Sapuan, goresan spontan, luwes, tidak rumit, tidak ruwet, dan warna-warni yang memberikan keteduhan, ketenangan, membawa kita ke dalam perenungan, komunikasi, tanggungjawab makhluk hidup, manusia khususnya terhadap alam semesta, mather of nature dan Sang Pencipta …
Seperti orang Betawi asli pada umumnya Munadi memang sangat religius. Namun, religiusitas yang senantiasa seiring-sejalan dengan dirinya, tidak menjebak Munadi menjadi seseorang yang mengenakan “kaca mata” kuda setiap kali memandang persoalan yang terjadi dalam kehidupan ini.
Beradaptasi
Penulis mengenal Munadi sejak dia masih berusia belasan tahun serta masih mengenakan seragam putih abu-abu. Pada 1980-an Munadi bergabung dengan Sanggar Garajas Bulungan Jakarta Selatan. Penulis sangat terkesan karena Munadi cepat sekali dapat beradaptasi dengan anak-anak remaja seusianya, yang kebanyakan pendatang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Bahkan ada di antara mereka yang berasal dari luar Jawa. Mereka sama-sama menimba ilmu tentang seni lukis dari para senior di Sanggar Garajas seperti Dimas Praz, Herry Dim, Joko Tri, si Jon, Eddy Yoen, Rip Van Dinnar, dan lain-lain.
Seperti anak-anak Sanggar Garajas lainnya, Munadi pun belajar melukis secara otodidak. Ketekunan sebagai seorang otodidak menghantarkannya menjadi juara lomba lukis remaja se Jakarta Selatan pada 1981-1982, dan pada 1982-1983 Munadi meraih juara II lomba lukis se DKI Jakarta.
Dalam perjalanannya di kemudian hari, Munadi yang, selain dikenal sebagai pelukis juga dikenal sebagai kartunis, pada 1985 aktif sebagai kartunis freelance di beberapa media yang terbit di ibukota antara lain Harian AB (Angkatan Bersenjata), Pelita, Terbit, Prioritas, Warta Kota, Berita Kota, Suara Pembaruan Minggu, Majalah Humor, Intisari dan Tabloid Bola.
Sebagai kartunis, Munadi pernah merebut gelar sebagai pemenang II lomba karikatur Hari Pers Nasional III tahun 1987. Munadi sebagai aktifis di Komunitas Seniman Pasar Seni Ancol pada 1993-2012, pernah juga bekerja tetap selama satu tahun di Harian Merdeka pada 1999-2000 sebagai kartunis dan illustrator.
Berbagi Ilmu
Dengan pencapaian prestasi yang ditorehkannya, Munadi akhirnya memutuskan untuk secara total menekuni profesi sebagai seorang pelukis. Keputusan tersebut diambil setelah kedua orangtuanya sangat mafhum bahwa anak yang sejak kecil sangat gemar menggambar tersebut tidak lagi terlalu membebani kehidupan mereka — terutama setelah sang anak berhasil “mengaktualisasikan” dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang kartunis dan illustrator.
Kini, ketika “anak yang sejak kecil sangat gemar menggambar” tersebut total menggeluti dunia seni lukis, dan setiap berpameran tunggal satu atau dua lukisan hasil karyanya ada yang terjual (note:salah satu lukisan Munadi yang dipameran di Marto Art Centre dibeli oleh seorang Profesor dari Vietnam), suana suka cita pun tidak hanya mewarnai kehidupan Munadi beserta istri (Rina Hartiningsih) dan kedua anaknya (Nuralita Jihad Pospoutami dan (Vita Cahya Sabrina); Akan tetapi dirasakan juga oleh keluarga besarnya.
Munadi tak hanya asyik dengan dirinya sendiri. Tapi, suka juga berbagi. Dalam perbincangan bersama penulis beberapa waktu di Marto Art Centre, selain menjadi guru lukis anak-anak (privat), Munadi juga berbagi ilmu dengan anak-anak tetangga di sekitar tempat tinggalnya di Jalan Ciledug Raya Gang Langgar Cipadu Poncol RT 08 – RW 01 Nomor 43 Cipadu Larangan – Tangerang.
Ketika melihat anak-anak para tetangga di sekitar rumahnya itu sedang asyik melukis, Munadi mengaku teringat dengan masa kanak-kanaknya. Orang tua masa kini merasa menjadi orang tua yang “ortodoks” apabila mereka tidak mensupport putra-putri mereka yang dikarunai bakat melukis. Munadi sadar bahwa zaman telah berubah. Dulu, dia kalau melukis dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan oleh “Nyak-Babe” yang dikenal sebagai petani – padahal di SD tempat dia sekolah dia dikenal sebagai satu-satunya murid yang pandai menggambar.
“Tapi saya bangga karena waktu saya mulai bisa membuat sketsa, orang pertama yang saya sket adalah wajah Ibu saya. Dan, entah kenapa, sejak saat itu saya tidak sembunyi-sembunyi lagi kalau saya menggambar di rumah. Dalam diam mereka mendukung hobi saya, dan kenangan ini tidak akan hilang dari ingatan saya selama hayat masih dikandung badan …,” kata Munadi mengakhiri obrolannya. (Like Wuwus)
Ending gwe nih.. hehehe
Maaf typo.
Maksudnya:
Encing gwe nih..