PEKANBARU (Independensi.com) – Setiap tanggal 25 Desember adalah peringatan hari kelahiran Yesus Kristus menjadi moment tersendiri bagi umat Kristen diseluruh dunia. Tradisi perayaan ibadah Natal tidak mungkin dilewatkan oleh semua umat Kristen, bahkan sangat ditunggu-tunggu, termasuk umat Kristen di Indonesia.
Namun ada berita, yang dilaporan salah satu media, bahwa masih ada daerah di Indonesia yang melarang perayaan ibadah Natal. Yaitu larangan merayakan ibadah Natal di daerah Sumatera Barat, khususnya Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Nagari Sungai Tambang dan Kabupaten Sijunjung. Larangan merayakan ibadah Natal tersebut dikeluarkan pemerintah setempat.
Pihak yang melarang tersebut disebut-sebut oknum Ninik-Mamak, Tokoh Masyarakat dan Pemuda setempat. Adanya larangan merayakan ibadah Natal bagi umat Kristen tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak. Larangan merayakan ibadah Natal itu dinilai sangat menyedihkan dan tidak menggambarkan ciri masyarakat Indonesia yang plural.
Salah satu tokoh umat Katolik, Romo Benny Susetyo pun angkat bicara terkait adanya pelarangan Natal di Kabupaten Darmasraya Sumatera Barat tersebut. Larangan merayakan ibadah Natal itu diduga dilakukan oleh kalangan intoleran.
Romo Benny menjelaskan: “pelarangan Natal terhadap umat Kristiani oleh kelompok intoleran adalah pelanggaran konstitusi. Konstitusi memberikan jaminan untuk menjalankan Ibadat” ujar Romo Benny Susetyo kepada Independensi.com, Rabu (18/12/2019)
Dijelaskannya, “Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agana pada tahun 2003 telah ditegaskan bahwa kewajiban Kepala Daerah untuk menjaga kerukunan”
Romo Benny menambahkan, pelarangan Natal yang selalu terjadi dari tahun ke tahun disebabkan adanya kelompok kecil yang sengaja dihembuskan oleh para intoletan yaitu isu Kristenisasi.
“Umat Kristen tidak khawatir yang berlebihan karena Pemerintah hadir untuk menjalankan konstitusi. Adapun pelarangan Natal, itu disebabkan kelompok kecil yang dikaitkan isu Kristenisasi. Pelarangan Natal jelas melanggar konstitusi yaitu pasal 29 UUD 45,” ujar Romo Benny Susetyo.
Melanggar HAM
Di bagian lain, berdasarkan informasi yang diperoleh media, menyebutkan bahwa pelarangan perayaan ibadah Natal di dua kabupaten tersebut sudah berlangsung sejak lama yakni tahun 1985. Pemerintah setempat beralasan, perayaan Natal dilarang di dua lokasi itu karena tidak dilakukan pada tempat ibadah pada umumnya.
Badan Pengawas Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Sudarto sebagaimana dikutip Covesia—jaringan Suara.com di Padang, Selasa (17/1/2/2019) mengatakan, pelarangan bagi umat Nasrani ini untuk merayakan Natal dan Tahun Baru sudah berlangsung sejak tahun 1985.
“Selama ini mereka beribadah secara diam-diam di rumah salah satu jamaat, namun mereka sudah beberapa kali mengajukan izin untuk merayakan Natal, namun tak kunjung diberikan izin. Pernah sekali, pada awal tahun 2000, rumah tempat mereka melakukan ibadah kebaktian dibakar karena adanya penolakan dari warga,” kata Sudarto.
Sudarto menilai, larangan tersebut merupakan suatu tindakan melanggar HAM, karena di negara ini setiap umat beragama diberikan kebebasan untuk merayakan hari besar agama masing-masing.
“Saat ini sekitar 210 kepala keluarga (KK) umat Nasrani di Sungai Tambang, yang terdiri dari 120 KK jamaat HKBP, 60 KK Khatolik dan 30 KK GKII. Selama ini merayakan Natal di geraja di Sawahlunto yang harus menempuh jarak 120 kilometer,” tegasnya. (Mangasa Situmorang)