JAKARTA (IndependensI.com) – Jargon Jasmerah atau jangan sekalipun pernah melupakan sejarah tetap relevan hingga kini, besok dan mungkin selamanya. Manusia harus belajar dari sejarah. Demikian bangsa Indonesia, tidak boleh melupakan sejarah perjuangan para pahlawan yang berjuang untuk mendirikan bangsa ini. Jangan juga mengabaikan sejarah, apalagi menyimpangkannya untuk kepentingan sempit atau kelompok.
Cilaka besar, kalau sejarah dikaburkan ataupun dihapus. Sejatinya, sejarah itu harus diabadikan, sehingga bisa secara terus menerus menjadi tempat belajar bagi generasi anak bangsa. Pahit atau manis, itu adalah sejarah dan yang diambil tentu pelajaran positif untuk kebaikan bagi semua anak bangsa.
Hari ini kita memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-89. Ada tokoh menarik yang mungkin agak terlupakan dalam momentum penting sejarah berdirinya Indonesia tersebut. Dia adalah Soegondo Djojopuspito,
Soegondo Djojopuspito salah satu tokoh penting lahirnya Sumpah Pemuda yang menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda tahun 1928 merupakan murid dari Ki Hadjar Dewantoro. Menurut Sunaryo Jojopuspito, putra almarhum Soegondo Djojopuspito saat ditemui di Depok, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2017), ayahnya pernah mondok dan berguru di rumah Ki Hadjar Dewantoro selama tiga tahun.
Ki Hadjar Dewantoro adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia pada masa penjajahan Belanda, dan pendiri Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
“Lulus dari MULO di Surabaya, Soegondo melanjutkan pendidikan AMS ke Yogyakarta. Oleh bapaknya Soegondo dititipkan ke rumah Ki Hadjar Dewantoro,” kata Sunaryo.
MULO adalah pendidikan umum pada masa penjajahan Belanda yang setingkat SMP, dan AMS adalah setingkat SMA.
Mengulik perjalanan Soegondo sebagai Ketua Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda semua terekam dalam ingatan Sunaryo sebagai satu-satunya saksi sejarah dalam keluarga inti yang masih hidup.
Sunaryo menceritakan sosok Soegondo sebagai anak dari seorang penghulu dan mantri juru tulis desa di Kota Tuban, Jawa Timur bernama Kromosardjono. Perjalanan hidup Soegondo terbilang susah, sejak kecil ibunya sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia. Lalu bapaknya, Kromosardjo menikah lagi, dan mendapatkan dua anak perempuan salah satunya Soenarjati.
Soegondo dan adiknya Soenarjati diangkat menjadi anak oleh pamannya Hadisewojo bersama dua orang sepupunya. Sebagai seorang kolektor pajak di wilayah Blora, Jawa Tengah.
Bapak angkat Soegondo kenal baik dengan Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pendiri sekaligus ketua pertama organisasi Sarekat Islam (SI), lalu menitipkan Soegondo untuk mondok di rumahnya di Surabaya tahun 1919-1922.
HOS Tjokroaminoto dikenal sebagai guru tokoh pergerakan bangsa seperti Soekarno , Semaoen, Kartosuwiryo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka.
“Di rumah HOS Tjokroaminoto lah, Soegondo muda bertemu dengan Soekarno yang juga sama-sama tinggal,” kata Sunaryo.
Perjalanannya pendidikan Soegando berlanjut setelah lulus MULO tahun 1922, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah ke AMS afdeling B (SMA bagian B Paspal 3 tahun) di Yogyakarta sampai tahun 1925.
Istilah SMA bagian B Paspal pada masa lalu adalah untuk jurusan ilmu pasti dan alam (IPA). Selama sekolah di Yogyakarta, Soegondo tinggal di rumah Ki Hadjar Dewantoro yang menjadikannya murid.
Lulus dari AMS, Soegondo melanjutkan pendidikan ke “Rechtsbooge School te Batavia” (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Atas biaya bapaknya dan beasiswa pemerintah Belanda.
Selama kuliah, semangat kebangsaan Soegondo muncul dari bacaan majalah “Indonesia Merdeka” yang ditulis oleh Pemuda Indonesia di bawah asuhan Mohammad Hatta di Belanda.
Majalah tersebut dilarang beredar di Indonesia. Tetapi oleh petugas kantor pos tempat Soegondo mondok selama kuliah di RHS diselundupkan dan dibagikan kepadanya untuk dibaca.
Majalah tersebut lalu dibaca oleh sejumlah pemuda yang juga rekan-rekan seperjuangan Soegondo. Dari situlah muncul gerakan pemuda di sejumlah daerah, ada Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong Batak, dan lainnya.
“Waktu itu Jong Betawi belum ada, karena kelompok pemuda ini dibentuk oleh pelajar yang sedang menempuh pendidikan setingkat mahasiswa. Kala itu Betawi masih tergabung dalam suku Sunda,” katanya.
Selama tinggal di rumah Ki Hadjar Dewantoro dan bersekolah di AMS Yogyakarta, Soegondo dikenal sebagai murid pandai, senang membaca. Buku bacaannya terdiri atas buku bacaan berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman yang merupakan karya tokoh internasional.
Selama di Yogyakarta, Soegondo telah memiliki perhatian ke bidang politik. Sebagai pelajar ia belum dapat menjadi anggota partai politik, tapi sering mengunjungi rapat-rapat umum.
Setelah era Sumpah Pemuda, tahun 1932 Soegondo pindah ke Bandung untuk menjadi Kepala Sekolah Taman Siswa milik Ki Hadjar Dewantoro. Di sanalah Soegondo bertemu Suwarsih yang dinikahinya di Cibadak, Sukabumi, Jabar.
Dari pernikahakanhannya Soegondo dikaruniai tiga orang anak, salah satunya Sunaryo.
Perjalananan hidup Soegondo pernah menghantarkannya ke Bogor, mendirikan sekolah bernama Loka Siswa, tetapi tidak banyak yang berminat sehingga sekolah ditutup.
“Bapak saya cuma jebolan RHS, karena beasiswanya dicabut jadi sekolahnya tidak selesai,” kata Sunaryo.
Soegondo tidak bisa menuntaskan kuliahnya karena beasiswa dicabut oleh pemerintah Belanda dikarenakan ia aktif dalam organisasi pemuda yang merumuskan Sumpah Pemuda.
Ia meninggal di Yogyakarta, 23 April 1978 pada umur 73 tahun, dan dalam perjalanan sejarahnya, ia pernah menjadi direktur di Kantor Berita Antara.
Dalam “Wikipedia” dinukilkan bahwa pada tahun 1941 oleh Mr Soemanang, salah satu pendiri Antara. Soegondo dipercaya memimpin Kantor Berita Antara (sebagai Direktur), melalui dua orang utusan, yakni Djohan Sjahroezah dan Adam Malik yang datang meminta di rumahnya Tjioedjoengweg.
Sedangkan Adam Malik tetap menjadi redaktur/merangkap Wakil Direktur) yang beralamat pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 30 Noord Batavia (Jalan Pinangsia 70 Jakarta Utara) sebelum pindah ke Jalan Pos Utara No. 53 – Pasar Baru. (dari berbagai sumber/antara/kbn)