JAKARTA (Independensi.com) – Fraksi PAN (F-PAN) DPR RI menilai, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4,5-5,5 persen di tahun 2021 terlalu optimistik dan tak realistis, sebab dampak pemulihan ekonomi tidak otomatis dirasakan dalam jangka pendek.
Hal tersebut disampaikan anggota Fraksi PAN DPR RI Jon Erizal kepada para awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (25/8/2020).
Menurut Jon, sebelum pandemi Covid-19 saja, pertumbuhan ekonomi domestik hanya berada di kisaran 5 persen, kemudian pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi justru mengalami kontraksi ke angka 2,97 persen.
“Bahkan, pada Kuartal II 2020 kembali mengalami kontraksi hingga berada di angka minus 5,32 persen,” ujarnya.
Jon menilai, sumber utama pertumbuhan negatif di triwulan II tahun 2020 adalah konsumsi masyarakat.
“Dengan porsi sekitar 59 persen dari PDB, menyebabkan pertumbuhan konsumsi minus 5,51 persen yang berdampak linier pada pertumbuhan PDB. Selain itu, Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi yang tumbuh negatif 8,61 persen. Pasca krisis 1998, PMTB selalu tumbuh mengikuti permintaan konsumsi,” paparnya.
F-PAN, tutur Jon, juga mengamati kondisi pemulihan ekonomi negara-negara mitra dagang dan investasi utama yang diselimuti ketidakpastian juga sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan investasi Indonesia ke depan.
“Dengan kondisi tersebut, pemerintah diharapkan mencermati kembali asumsi pertumbuhan ekonomi secara lebih realistis karena akan berimplikasi terhadap tingginya target penerimaan negara,” jelas anggota Komisi XI DPR RI ini.
Oleh karena itu, lanjut Jon, F-PAN DPR RI mendorong agar fokus pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19 menjadi agenda utama pada tahun 2021 dibandingkan mengejar target pertumbuhan yang sulit dijangkau.
“F-PAN menilai, kunci pemulihan ekonomi pada 2021 adalah menjaga pertumbuhan konsumsi domestik yang saat ini merupakan basis dari perekonomian kita. Karena konsumsi domestik terkontraksi hingga -5,51 persen di triwulan ke II tahun ini, maka bantuan perlindungan sosial perlu terus diberikan secara adil dan merata agar masyarakat tetap terjaga daya belinya sehingga pertumbuhan konsumsi domestik dapat kembali seperti yang diharapkan,” bebernya.
Jon menegaskan, F-PAN DPR RI mengkhawatirkan, gelontoran dana pemerintah dalam bentuk bansos, PEN dan lain-lain gagal menggerakkan perekonomian jika masyarakat bersikap terlalu hati-hati dan lebih memilih menabung uang ketimbang membelanjakannya.
“Sementara itu, masyarakat kelas menengah juga memilih menyimpan kelebihan dana yang dimiliki untuk berjaga-jaga.
Artinya, sambung Jon, daya ungkit pengeluaran pemerintah akan kecil dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Oleh karena itu, kami mendesak agar pemerintah memastikan agar seluruh masyarakat disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan,” imbuhnya.
Selain itu, Jon berharap, investasi sebagai mesin penggerak ekonomi lainnya agar tetap bisa tumbuh di masa pandemi ini.
“Capaian realisasi investasi tentunya perlu terus tumbuh di tahun depan sehingga mampu menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan pertimbangan di atas, F-PAN berpendapat bahwa target pertumbuhan ekonomi yang realistis di tahun 2021 maksimal 2 persen,” tukasnya.
Inflasi 3 persen
Setali tiga uang, Jon berpendapat inflasi sebesar 3% yang ditetapkan pemerintah sebagai sebuah keputusan yang cukup optimistis.
“Sebab, di tengah berbagai kemungkinan risiko peningkatan inflasi di tahun 2021 yang merupakan akibat dari pandemi Covid-19, pemerintah memiliki optimisme yang cukup tinggi untuk menekan laju inflasi hingga berada di level 3 persen,” urainya.
Dalam hal ini, terang Jon, Fraksi PAN meminta agar pemerintah berhati-hati untuk menjaga inflasi secara nasional.
Hal ini karena inflasi yang rendah bisa menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat yang rendah dan lesunya perekonomian. Maka demikian, F-PAN mendorong agar target yang disasar adalah inflasi yang terjaga bukan hanya inflasi yang rendah,” ungkapnya.
Nilai tukar Rp 14.600 per US$
Sementara itu, Jon menilai, terjaganya target nilai tukar Rupiah pada tahun 2021 di level Rp14.600/USD terlihat sejalan dengan rencana berlanjutnya pelonggaran defisit fiskal hingga 5,5% terhadap PDB.
Artinya, lanjut Jon, kebutuhan pembiayaan dari penerbitan SBN untuk menutup defisit fiskal pada tahun mendatang memiliki implikasi yang positif terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Namun demikian, stabilitas nilai tukar rupiah tersebut tidak boleh hanya mengandalkan arus masuk (capital inflow) dari pasar obligasi negara saja, tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana pemerintah mampu meningkatkan perolehan devisa melalui perbaikan ekspor dan investasi langsung,” tegasnya.
Di lain pihak, Jon berpendapat, pelemahan nilai tukar yang terjadi akibat adanya arus modal keluar (capital outflow) pada akhir-akhir ini akibat ketidakpastian pemulihan ekonomi di dalam negeri serta penanganan Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda membaik.
“Selain itu, monetisasi defisit APBN oleh Bank Indonesia juga memberikan sentimen negatif terhadap nilai tukar Rupiah terhadap USD. Oleh karena itu, F-PAN meminta agar Kementerian Keuangan dan BI menghindari sedapat mungkin pembiayaan defisit APBN secara masif oleh Bank Indonesia,” pungkas legislator asal Dapil Riau 1 ini.