JAKARTA (Independensi.com) – Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah menyebutkan eksekusi lahan perkebunan sawit seluas 47 ribu hektar di Padang Lawas, Sumatera Utara, tidak sah, demikian kuasa hukum Koperasi KPKS-Bukit Harapan, Koperasi Parsub dan keluarga almarhum DL Sitorus, Marihot Siahaan.
Setelah koperasi KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub memohon keadilan kepada negara dengan menggugat Menteri KLHK dan jaksa agung, melalui PN Padang Sidempuan berdasarkan bukti dan fakta yang sah telah memutuskan dengan menyatakan bahwa perampasan kebun koperasi tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum, katanya guna menanggapi pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo yang akan berkoordinasi dengan Menteri KLHK untuk eksekusi lahan sawit, di Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Jaksa Agung dalam pernyataannya Kejaksaan Agung akan membicarakan kembali dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal eksekusi lahan perkebunan sawit seluas 47 ribu hektar milik Darianus Lungguk (DL) Sitorus (Alm) di Padang Lawas, Sumatera Utara. “Ya nanti kita bicarakan dengan menteri LHK ya,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo.
Ia menyebutkan dari kejaksaan sendiri sudah mengeksekusi sejak 2008, namun ternyata masih menemui kendala karena DL Sitorus sendiri tidak menyerahkan secara fisik.
Kalau kejaksaan sendiri sebenarnya sudah menjalankan tugasnya, kita serahkan pada waktu itu kepada menteri kehutanan sejak 2008, katanya. Tapi faktanya secara de facto masih dikuasai oleh DL Sitorus, ini perlu tindak lanjut, tegasnya.
Melalui siaran persnya, ia menambahkan lahan seluas 47 ribu hektar tersebut adalah milik masyarakat adat yang tergabung di KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub dan putusan itu juga menyatakan bahwa lahan tersebut tidak berada di kawasan hutan (Register 40) berdasarkan sidang pemeriksaan di tempat Kawasan Hutan Register 40 belum punya Tata batas yang sah menurut hukum.
“Lalu kenapa Pak Prasetyo mempersoalkan lahan seluas 47 ribu hektar itu lagi saat ini dan sama sekali tidak mengungkap ke publik fakta ini dan tetap mengatakan milik almarhum DL Sitorus. Logika orang awam sulit menepis dugaan bahwa ada kejanggalan tersembunyi dibalik pernyataan Jaksa Agung kita ini,” katanya.
Anehnya lagi, kata Marihot, Jaksa Agung menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan eksekusi pada tahun 2009 terkait lahan seluas 47 ribu hektar tersebut dengan menyerahkan lahan tersebut kepada Departemen Kehutanan.
“Ini artinya, tugas Kejaksaan sebagai eksekutor sudah dilaksanakan dan sudah selesai. Tapi kenapa terus melakukan hal-hal yang terkesan sebagai intimidasi dengan menyatakan akan melakukan eksekusi lagi, memangnya berapa kali eksekusi terhadap suatu perkara dapat dilakukan untuk satu kasus, bukankah eksekusi prinsipnya sekali dan final,” tegas Marihot.
Kalau eksekusi bisa dilakukan berulang kali berarti ada yang tidak beres atau telah terjadi kesalahan di sana Pernyataan Jaksa Agung itu keliru. Karena pemilik lahan itu bukan almarhum DL Sitorus, tapi masyarakat (adat) yang tergabung di Koperasi KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub yang sudah ratusan tahun turun-temurun berada di sana, bahkan lebih dulu mereka ada di sana jauh sebelum negara ini mendirikan Kementerian Pertanian maupun Kehutanan, Bahkan Bukti kepemilikan lahan itu milik masyarakat adat sudah pula dikuatkan oleh Negara dalam hal ini Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
Di bagian lain, ia juga menyayangkan pernyataan jaksa agung mengingat keluarga DL Sitorus saat ini tengah berduka apalagi jenazah DL Sitorus belum dikebumikan.
“Ini yang miris. Mestinya dalam suasana duka, apalagi jenazah almarhum DL Sitorus belum dikebumikan, Jaksa Agung sebaiknya dapat menahan diri dulu-lah demi menjaga wibawa sebagai pejabat negara dan guna menghindari timbulnya kesan seolah-olah terburu-buru dan punya kepentingan tertentu serta disetir, ” katanya.
Sesuai fakta, kata Marihot, tak dapat dipungkiri tentang sumbangsih dan karya almarhum Dr. Sutan Raja DL. Sitorus kepada Negara Indonesia.
Dia sudah ikut membantu negara membangun sarana Pendidikan dari strata SD sampai Perguruan Tinggi dan membangun sarana Kesehatan (Klinik dan Rumah Sakit) serta sarana perbankan masyarakat di daerah tanpa membebani negara dengan hutang atau pinjaman.
“Tidak banyak putra bangsa yang bisa seperti almarhum. Dengan fakta itu maka sangat wajar almarhum dihormati,” kata Marihot.
Sudah dijalani Terkait dengan kasus hukum almarhum DL Sitorus, Marihot menyampaikan, amar putusan pindana No. 481 telah dijalani almarhum dengan baik.
Almarhum diduga telah dijadikan korban dengan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, didakwa menduduki kawasan hutan di register 40 Padang Lawas tanpa ijin menteri kehutanan dan dipaksakan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pidana No 481.
“Padahal, sebenarnya beliau tidak pernah melakukan seperti apa yang didakwakan dan diputuskan dalam putusan pidana dimaksud,” katanya.
Akibat putusan pidana No.481 tersebut, almarhum telah menjalani hukuman penjara delapan tahun dan didenda sebesar Rp5 miliar.
“Meski dalam putusan pidana tersebut tuduhan utamanya yaitu Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak pernah terbukti, beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan negara dan disebutkan bahwa kerugian negara tidak terbukti alias nol,” demikian Marihot. (antaranews)