Tradisi ritual tapa bisu mubeng beteng masih terpelihara dengan baik di masyarakat Yogyakarta.

Warga Yogyakarta Antusias Mengikuti Ritual Budaya Mubeng Beteng

Loading

YOGYAKARTA (IndependensI.com) – Masyarakat Yogyakarta berkomitmen untuk terus melestarikan budaya di tengah arus perubahan dunia yang semakin tidak terbendung. Budaya lokal menjadi sebuah warisan penting bagi setiap daerah untuk terus dipertahankan sebagian sebuah identitas sekaligus kekayaan budaya nusantara. Hal itu pula yang dilakukan warga Yogyakarta dalam mengikuti ritual Lampah Budaya Tapa Bisu Mubeng Beteng.

Ribuan warga Yogyakarta mengikuti ritual Lampah Budaya Tapa Bisu Mubeng Beteng atau diam membisu berjalan mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati tahun baru Jawa 1 Sura, Jumat (22/9/2017) dini hari.

Ribuan warga bersama para abdi dalem keraton berkumpul di sekitar Bangsal Ponconiti Keben Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak Kamis (21/9/2017) pukul 20.00 WIB. Acara Ritual tahunan itu diawali dengan pembacaan tembang macapat dan doa yang dipimpin oleh abdi dalem keraton, KRT Projo Suwasono.

Selanjutnya, tepat pukul 00.00 WIB ribuan warga, baik penduduk asli Yogyakarta maupun pendatang, beserta abdi dalem mulai menjalankan ritual budaya itu setelah dilepas oleh Putri pertama Sultan H.B. X, Gusti Kanjeng Ratu (G.K.R.) Mangkubumi.

Mereka menyusuri jalan tanpa berbicara mengelilingi seluruh benteng keraton yang berjarak 5 kilometer.

Ritual itu dimulai dari Keben Keraton menuju Jalan Retowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, hingga Pojok Beteng Kulon, Jalan Mayjen M.T. Haryono samapai Pojok Benteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara, dan berakhir di Keben Keraton.

Ketua Panitia Acara Lampah Budaya Mubeng Beteng Keraton Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Gondohadiningrat mengatakan bahwa ritual tahunan ini sebagai bentuk introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan pada tahun lalu, dan memperbaiki diri memasuki tahun baru.

“Memiliki pesan mengingatkan masyarakat agar senantiasa mawas diri dalam menjalankan kewajiban, sekecil apa pun, sekaligus sebagai sarana meminta doa agar pada tahun-tahun ke depan selalu mendapatkan keselamatan,” katanya.

Tugiyem (65), warga Ngampilan, Yogyakarta, yang baru pertama kali mengikuti ritual itu berharap mendapatkan ketenteraman. Ia menganggap ritual yang sudah dimulai sejak Hamengku Buwono (H.B.) II ini sebagai sarana untuk membersihkan diri.

“Mudah-mudahan bisa mendapatkan ketenteraman dan diberikan keselamatan,” katanya yang datang bersama anaknya.

Sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara, Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY Singgih Raharjo mengatakan bahwa ritual Lampah Budaya Tapa Bisu Mubeng Beteng telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya nasional asli Yogyakarta. “Ritual budaya ini pantas untuk terus dilestarikan,” katanya.