Ketika Jaksa membacakan nama-nama yang diduga menerima aliran dana dalam sidang korupsi pengadaan e-KTP 9 Maret 2017, masyarakat dibuat terkejut. Selain menyebut nama Menteri Hukum dan HAM yang menjabat saat ini Yasonna Laoly,tercatat juga gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Mantan Mendagri Gamawan Fauzy, ketua DPR Setya Novanto dan banyak anggota anggota DPR aktif dan nonaktif yang disebut menerima aliran dari dari proyek ini. Jumlah uang yang diduga diselewengkan dan dibagi-bagikan ini cukup fantastis . Anggaran untuk pengadaan e-KTP sebesar Rp 5,9 trliun dan 49 persen diantaranya diduga dibagi-bagi puluhan orang dari berbagai latar belakang yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek e-KTP ini.
Tidak lama setelah berita ini tersebar lewat media, spontan nama-nama yang disebut namanya menerima aliran dana melakukan bantahan. Hal yang wajar dan merupakan hak masing-masing melakukan pembelaan diri.Ada yang melakukan bantahan dengan normatif meminta semua pihak menunggu hasil proses hukum, tetapi ada yang bereaksi emosional bahkan ada anggota DPR mewacanakan penggunaan hak angket mengenai pengusutan korupsi -KTP ini, merevisi UU KPK, usulan mengganti ketua KPK . Gamawan Fauzy mantan Mendagri dalam sidang beberapa hari lalu bahkan minta didoakan mati jika dia menerima aliran dana tersebut meski hanya satu rupiah.
Dengan ditetapkannya ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus ini oleh KPK, semakin menambah terpuruknya citra lembaga ini di mata masyarakat. Makin tidak terbantahkan jika institusi perwakilan rakyat ini menduduki peringkat pertama lembaga yang paling korup. Dalam beberapa diskusi dan perbincangan mengenai korupsi utamanya dalam kasus e-KTP ini, beberapa anggota DPR membela diri mengenai perilaku koruptif yang dilakukan rekan-rekannya dengan berbagai alasan, misalnya biaya politik yang sangat tinggi, bujukan dari mitra kerja di birokrasi untuk melakukan penyimpangan. Bahkan salah satu pimpinan DPR pernah mengatakan bahwa korupsi itu bisa menjadi oli pembangunan.
Korupsi, terutama yang dilakukan terhadap anggaran-anggaran proyek pembangunan umumnya melibatkan pihak-pihak terkait dengan proyek tersebut. Pemerintah/birokrasi sebagai pengguna anggaran, DPR sebagai pihak legislasi dan pengawas serta pihak lainnya yaitu swasta ,BUMN dan lainnya sebagai pelaksana proyek adalah pihak-pihak yang terkait dalam proyek e-KTP ini. Jika DPR menuding birokrat/pengguna anggaran atau pihak swasta/BUMN yang membujuk/menggoda DPR untuk melakukan penyimpangan, maka itu adalah alasan yang dibuat-buat. Karena salah satu tugas dan fungsi yang diemban DPR adalah sebagai pengawas pemerintah dan itu adalah hal yang mendasar. Jika anggota DPR terlibat atau berkonspirasi dengan pengguna anggaran, pihak swasta, BUMN atau pihak lainnya untuk melakukan tindakan memperkaya diri sendiri atau kelompok maka itu adalah pengkhianatan atas fungsi dan tugas dasar DPR.
Korupsi apapun modelnya tetaplah korupsi. Tidak ada alasan biaya politik tinggi, digoda atau dibujuk mitra pengguna anggaran dan sebagainya. Demikian halnya dengan pengguna anggaran, temuan yang didapat aparat hukum mengindikasikan bahwa dari awal proyek e-KTP ini sudah dirancang untuk bahan “jarahan” pihak-pihak tertentu. Fakta membuktikan bahwa proyek pengadaan e-KTP tidak memenuhi target dari sisi kuantitas dan kualitas. Perbedaan harga yang dianggarkan untuk satuan e-KTP dengan harga sebenarnya sungguh sangat jauh perbedaannya. Dan pada ujungnya yang merasakan dampak adalah rakyat, yang memberi kepercayaan kepada para wakilnya di DPR untuk mengawasi pelaksanaan pengadaan proyek e-KTP ini. Masih sangat banyak warga masyarakat yang belum memiliki e-KTP meski sudah mengurusnya dalam waktu yang cukup lama.
Disamping kerugian besar anggaran yang diduga dijarah para koruptor, mandeknya proyek e-KTP ini mengakibatkan pembuatan data base yang lebih sistematis , efektif dan efisien mengenai kependudukan terhambat.Jika proyek e-KTP dengan sistem chip penomoran tunggal berjalan sesuai yang direncanakan banyak hal yang bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efisien. Misalnya dalam pelaksanaan Pemilu atau Pilkada,dengan sistim penomoran tunggal penduduk dalam chip e-KTP akan memungkinkan dilakukan pemungutan suara dengan e-voting. Selain lebih mudah, efisien ,transparan juga lebih dapat dipertanggungjawabkan. Inilah yang harus disadari semua pihak, bahwa korupsi bukan melulu hanya merampas uang negara/rakyat tetapi akibatnya juga akan melanggengkan ketertinggalan, pemborosan dan sebagainya.
Dari pihak-pihak yang disebut pihak kejaksaan terlibat dalam dugaan korupsi proyek e-KTP ini sebetulnya diharapkan kejujuran dan pengakuan apa adanya agar tidak menjadi bola liar yang dikait-kaitkan dengan berbagai isu politik.Hal ini tentu tidak baik dan menguras energi serta membuat suasana dalam negeri tidak kondusif .Tetapi melihat gelagat dan sikap emosional serta tidak bersahabat dari beberapa pihak menanggapi keadaan ini, sebaiknya aparat hukum dalam hal ini KPK beserta kepolisian, kejaksaan dan kehakiman betul-betul harus menunjukkan profesionalismenya mengawal kasus ini hingga tuntas.
Menjatuhkan tindakan hukum yang setimpal bagi siapapun yang terlibat tidak peduli siapapun dia, apapun jabatannya. Meski hal ini tidak mudah, karena menyangkut petinggi di birokrat dan legislatifnyang sering menggunakan trik-trik licik untuk menghindar dari jerat proses hukum. Bahkan saat ini DPR dengan bentukan tim Pansus KPK-nya sudah memasuki babak akhir untuk membuat laporan tentang “kekurangan-kekurangan” KPK. Tetapi sekali lagi, ini saatnya para penegak hukum kembali bisa menunjukkan keberpihakannya kepada keadilan dan kebenaran dengan menindak tegas para koruptor perampok uang negara. Mata rakyat dengan penuh harap mengarah kepada penegak-penegak hukum yang diminta untuk tetap menjunjung tinggi marwahnya sebagai ujung tombak penegak keadilan di bumi Indonesia. (dame sitompul)
Para koruptor harusnya segera ditangkap