Sorak-sorai vs Densus Tipikor

Loading

IndependensI.com – Presiden Joko Widodo menunda rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor), dan Menko Polhukan meminta agar pro-kontra tentang pembentukan Densus Tipikor itu tidak usah dipermasalahkan.

Semua itu biasa saja sebagai kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, tetapi dengan keputusan itu ada pihak yang bersorak sorai yaitu para pelaku korupsi sebab mereka pelaku korupsi itu tidak akan menjadi koruptor, belum terjaring penegak hukum dan diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sebagai koruptor secara sah dan meyakinkan merugikan keuangan negara.

Usul brilian Kapolri tersebut harus diapresiasi, dengan kesadaran tinggi akan bahaya korupsi yang berpotensial menggerogoti eksistensi negara, pemerintah dan bangsa. Panggilan tugaslah yang menuntut Tito sebagai Kapolri memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan tindakan dan strategi yang luar biasa pula.

Tito sadar kondisi sekarang dengan semangat tinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tekad tulus Kepolisian serta dinamika kerja Kejaksaan belum ampuh memberantas korupsi walaupun KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) ternyata tidak menimbulkan efek jera.

Kapolri berbeda dengan para pengkritik OTT, yang mengangap bahwa OTT menghabisi putra-putrI terbaik bangsa ini kalau KPK melakukan OTT. Mereka beranggapan bahwa lebih baik mencegah daripada menangkap. Mungkin Tito beranggapan bahwa tindakan pencegahan bukan tugas penegak hukum melainkan ada pada diri pribadi seseorang, sebab seorang pejabat tahu dan sadar hak dan kewajibannya serta mana yang baik dan mana yang salah.

Sebelum memangku jabatan sudah mengucapkan sumpah bahwa tidak akan melanggar Undang-undang. Karenanya adalah aneh ada orang yang menyalahkan KPK kalau ada orang yang terkena OTT, para pejabat yang terkena OTT itu adalah pejabat negara bukan anak asuk KPK.

KPK banyak kekurangan, tetapi kekurangan itu jangan digunakan untuk melemahkan KPK apalagi membekukan atau membubarkannya.

Melihat maraknya korupsi kita berharap, kalau Densus Tipikor ditunda, Presiden harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pemerintahannya agar tidak digerogoti koruptor. Pembangunan infrastruktur dengan dana besar harus didukung disiplin anggaran serta penggunannya sesuai prosedur baku.

Karena itu, pembentukan Densus Tipkor hanya menunggu waktu saja sebab Densus Tipikor tidak akan menyaingi KPK dan soal pembagian kerja adalah soal teknis dan manajemen. Kepolisian dan Kejaksaan juga mengurusi tipikor selama ini. Hanya keseriusannya yang tidak efektif dan efisien. Kalau Polri ingin meningkatkan kemampuan dan kinerjanya harus didukung, dan Kejaksaan harus bergerak tidak boleh jalan ditempat sebagai Penuntut Umum agar tidak jadi bumerang.

Usul atau rencana pembentukan Densus Tipikor sekaligus mengingatkan Pansus Hak Angket KPK bahwa pmberanasan korupsi itu suatu kebutuhan dn keharusan, sehingga kalau ada kekurangan KPK jangan dijadikan alaan untuk melemahkan apalagi membekukan dan membubarkannya.

Namun KPK juga harus koreksi diri jangan terbawa arus keangkuhan institusi sehingga mudah “mem-vonis” sebagai tersangka seperti Budi Gunawan dan Hadi Purnomo, sehingga memenangkan Praperadilan, karena tanpa pemeriksaan atau bukti awal yang mencukupi.

Akan tetapi kedua kasus di atas berbeda dengan kasus Setya Novanto yang praperadilannya dikabulkan hakim Cepi Iskandar, sebab saksi dan bukti keterlibatannya telah menjadi Putusan Pengadilan sampai saat inipun masih disebut-sebut di persidangan e-KTP.

Menunggu terbentuknya Densus Tipikor, Presiden perlu membenahi aparat pemberantasan korupsi terutama KPK. Sebab adalah aneh, apabila di KPK ada Serikat Pekerja yang tidak ada di instansi pemerintah serta dipertanyuakan dasar hukumnya.

Komisioner KPK, baik Ketua maupun para Wakilnya agar sedikit bicara saja, karena kita tahu mereka telah banyak bekerja. KPK harus meningkatkan profesionalisme, serta memelihara kehormatan, harkat dan martabatnya dan menjauhkan diri dari sikap arogan, pilih bulu, pilih kasih, pandang bulu dan pilih tebang.

Kalau KPK sembrono bekerja dan asal jadi serta tidak mampu membenahi dirinya berarti sudah tidak sesuai lagi dengan semangat dan harapan pembentukannya, saat itu pula KPK kehilangan wibawa dan akan menjadi beban nasional. Ada atau tidak ada Densus Tipikor, pelaku korupsi adalah musuh bangsa dan penghianat dan harus diseret agar para koruptor tidak beranak-pinak. (Bch)