Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat launching Budidaya Ikan Nila Sistem Bioflok dan Sosialisasi Program Prioritas di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi (Rabu 18/4/2018). (Humas Direktorat Jenderal Budidaya KKP)

Teknologi Budidaya Baru Ikan Nila, KKP Kembangkan Sistem Bioflok

Loading

SUKABUMI (Independensi.com) – Setelah sebelumnya sukses mengembangkan teknologi budidaya sistem bioflok untuk ikan Lele, kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) bekerjasama dengan peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) menerapkan teknologi ramah lingkungan tersebut untuk ikan Nila.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam sambutannya saat launching Budidaya Ikan Nila Sistem Bioflok dan Sosialisasi Program Prioritas di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi (Rabu 18/4/2018), menyampaikan bahwa penerapan dan pengembangan budidaya Nila sistem bioflok merupakan hasil inovasi tanpa henti yang terus dilakukan oleh DJPB terhadap teknologi yang efektif dan efisien termasuk dalam penggunaan sumberdaya air, lahan dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim.

”Fenomena perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan global, perkembangan dan ledakan jumlah penduduk merupakan tantangan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan sehingga mau tidak mau harus diantisipasi, karena secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi masyarakat,” ujarnya.

“Untuk itu, semua pelaku perikanan budidaya harus terus mengedepankan Iptek dalam pengelolaan usaha budidaya ikan yang berkelanjutan. Intinya dengan kondisi saat ini, produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan penggunaan sumberdaya air yang efisien”, lanjutnya.

Terkait pengembangan di masyarakat, Slamet menyampaikan bahwa sebagaimana untuk ikan lele yang saat ini sudah sangat populer, budidaya ikan Nila sistem bioflok juga akan didorong pengembangannya di pesantren-pesantren dan kelompok masyarakat lainnya serta di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan potensial.

“Teknologi bioflok ini akan terus didorong agar diterapkan terhadap berbagai komoditas dan berbagai daerah sehingga menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk Nila di beberapa daerah menjadi sumber gizi yang digemari, bahkan seperti di papua dan Lombok dan NTB pada umumnya”, imbuh Slamet.

Seiring dengan penertiban keramba jaring apung (KJA) di perairan umum seperti danau, waduk dan lainnya, Slamet optimis bahwa teknologi ini dapat menjadi solusi bagi pembudidaya ikan yang selama ini mengandalkan perairan umum sebagai tempat berbudidaya ikan Nila sebagai komoditas utamanya, agar pindah ke daratan dan menerapkan teknologi bioflok.

Keunggulan Budidaya Nila Sistem Bioflok

Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Supriyadi menjelaskan bahwa penerapan teknologi sistem bioflok untuk ikan Nila tidak terlepas dari filosofi bahwa ikan ini secara alami merupakan ikan herbivora dan mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian sumber makanannya.

Sebagai informasi, ada beberapa keunggulan budidaya ikan Nila dengan sistem bioflok, yaitu: pertama, dapat meningkatkan kelangsungan hidup atau survival rate (SR) hingga lebih dari 90 % dan tanpa pergantian air. Air hasil budidaya ikan nila dengan sistem bioflok tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan.

Hal ini dikarenakan adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budidaya menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman.

Kedua, Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total (biomass) yang dihasilkan pada ikan nila mampu mencapai angka 1,03, artinya penggunaan pakan sangat efisien untuk menghasilkan 1 kg ikan Nila hanya membutuhkan 1,03 kg pakan. Jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCRnya mencapai angka 1,5.

Ketiga, padat tebarnya pun mampu mencapai 100-150 ekor/m3 atau mencapai 10-15 kali lipat dibanding dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3.

Keempat, aplikasi sistem bioflok pada pembesaran ikan nila juga telah mampu meningkatkan produktivitas hingga 25 – 30 kg/m3 atau 12-15 kali lipat jika dibandingkan dengan di kolam biasa yaitu sebanyak 2 kg/m3.

Kelima, waktu pemeliharaan lebih singkat, dengan benih awal yang ditebar berukuran 8 – 10 cm, selama 3 bulan pemeliharaan, benih tersebut mampu tumbuh hingga ukuran 250 – 300 gram/ekor sedangkan untuk mencapai ukuran yang sama di kolam biasa membutuhkan waktu 4-6 bulan.

Keenam, Ikan Nila dari hasil budidaya sistem bioflok lebih gemuk sebagai hasil pencernaan makanan yang optimal. Komposisi daging atau karkasnya lebih banyak, juga kandungan air dalam dagingnya lebih sedikit.

Secara bisnis, budidaya ikan Nila juga sangat menguntungkan. Harganya cukup baik dan stabil di pasaran yaitu Rp 22.000 ribu per kg.

Dalam pemeliharaan ikan Nila sistem bioflok yang perlu dijaga adalah kandungan oksigen yang larut di dalam air, karena oksigen disamping diperlukan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan kotoran atau sisa metabolisme di dalam air. Pada ikan nila, kadar oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.

“Saya mengingatkan agar teknologi bioflok di masyarakat bisa dikawal oleh UPT-UPT dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter kualitas air seperti oksigen juga harus tercukupi” pesan Slamet mengakhiri sambutannya.