JAKARTA (IndependensI.com – Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai keberadaan haluan negara merupakan kebutuhan nasional untuk tercapainya tujuan nasional yang kita cita-citakan bersama, dan juga agar arah pembangunan negara menjadi searah dan sinkron antara pusat dan daerah.
“Amandemen terbatas UUD 1945 tentang mengembalikan haluan negara bukan soal mendesak atau tidak mendesak, akan tetapi keberadaan haluan negara tersebut adalah kebutuhan nasional untuk tercapainya tujuan nasional yang kita cita-citakan bersama,” kata Basarah di Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Dia menilai saat ini Indonesia memiliki konsensus dasar negara yakni Pancasila, konsensus bentuk negara adalah NKRI, konsensus semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, dan konsensus bahasa, yakni bahasa Indonesia namun belum memiliki konsensus haluan negara.
Menurut dia, arah pembangunan nasional saat ini diatur dalam UU tentang Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang didalamnya dibagi lagi menjadi Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang isinya merupakan visi dan misi presiden terpilih.
“Karena tidak punya haluan negara, konsekuensinya ketika ganti presiden, maka ganti juga RPJMN. Lebih ironis lagi di daerah, para kepala daerah menempatkan arah pembangunannya berdasarkan visi dan misi kepala daerahnya, belum tentu sinergis dengan visi dan misi presiden sehingga membuat arah pembangunan negara menjadi tidak searah dan tidak sinkron,” ujarnya.
Dia menilai pasca dihilangkannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), telah dibuat sistem perencanaan pembangunan nasional yang dilegalisasi melalui UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dengan konsep perencanaan pembangunan nasional jangka panjang (RPJP), jangka menengah (RPJM), dan tahunan (RKP) untuk tingkat pusat dan daerah.
Namun Basarah menilai semua dokumen tersebut belum memenuhi kriteria sebagai Haluan Negara melainkan hanya merupakan Haluan Eksekutif.
“Hal itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU 25 tahun 2004, bahwa Rancangan RPJP Nasional, RPJM Nasional dan RKP disusun dan disiapkan oleh Presiden melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,” katanya.
Menurut dia, RPJM Nasional yang disusun Presiden berdasarkan visi dan misinya, hanya bersifat “executive centris” yang mengikat dan mengatur bidang eksekutif itu sendiri.
Dia menilai RPJM ini tidak mengatur dan mengikat lembaga di luar lembaga Presiden karena di dalamnya tidak dirumuskan pokok-pokok kebijakan lembaga negara lainnya yang wewenangnya diatur dalam UUD NRI 1945.
“Akibatnya, rencana kebijakan dan cetak biru masing-masing lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945 tidak memiliki satu keterhubungan dan arah kebijakan berdiri sendiri-sendiri,” ujarnya.
Dia menilai ada dua alasan pentingnya haluan negara, pertama dalam alam pemikiran bangsa Indonesia, usaha untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental, yaitu Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai norma dasar, dan haluan negara sebagai kebijakan dasar.
Menurut dia, apabila Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, konstitusi mengandung prinsip-prinsip normatif, maka Haluan Negara mengandung prinsip-prinsip direktif.
“Nilai-nilai Pancasila bersifat abstrak, pasal-pasal konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya,” katanya.
Kedua menurut dia, mengingat saat ini Haluan Negara yang bersifat direktif tersebut “hilang” dari sistem ketatanegaraan Indonesia maka muncul gagasan perlunya untuk menghadirkan kembali Haluan Negara yang merupakan kaidah penuntut.
Dia menilai kaidah penuntut tersebut berisi arahan dasar tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi itu ke dalam sejumlah pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana dan terpadu.