Hakim Agung Artidjo Alkostar Bagai “Ayam Tidak Makan Jagung”

Loading

IndependensI.com – Mulai hari Selasa (22 Mei 2018), Hakim Agung Dr. Artidjo Alkostar SH akan pensiun di usia 70 tahun yang berlaku efektif 1 Juni 2018, setelah menekuni jabatan itu selama 18 tahun dan jabatan struktural tertinggi Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) bidang Pidana.

Jabatan sebagai Ketua Muda yang menangani kasus-kasus korupsi pada tingkat kasasi dan atau Peninjauan Kembali (PK) membuat para koruptor “ngeri” untuk banding apalagi kasasi, sebab hampir tidak ada putusan Artidjo yang mengurangi hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, malah kebanyakan melebihi dan ada juga yang melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Putusan Artidjo hampir tidak bisa diprediksi terutama apabila tim-nya Lumme dan Harahap, pasti permohonan kasasi bagaikan gajah mau lolos dari lobang jarum, sehingga Artidjo sering disebut Hakim Agung berdarah dingin.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kewibawaan MA dalam menangani tindak pidana korupsi setelah Artidjo pensiun? Mengapa pertanyaannya demikian, karena jarang Hakim Agung lain mengikuti jejak Artidjo dengan menghukum koruptor tanpa pandang bulu. Apalagi yang mengajukan kasasi itu pejabat publik yang seharusnya mencegah korupsi malah menggunakan jabatan dan kewenangan untuk mengeruk keuangan negara dan memperkaya diri sendiri.

Banyak yang dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim PN dan PT enggan kasasi hanya melihat masih adanya sosok seorang Artidjo di MA, malah ada kesan Artidjo dan tim-nya tidak mempelajari berkas kasus tertentu, secara menyeluruh mengingat cepatnya tenggang waktu pengajuan kasasi dengan turunnya putusan.

Malah di kalangan praktisi hukum sering di dengar seorang terhukum oleh hakim PN enggan banding dan kasasi, hanya karena Artidjo. “Nanti saja setelah Artidjo pensiun mengajukan PK, jangan sekarang bisa tambah ‘dimatikan’, komentar beberapa kalangan berkaitan perkara pidana korupsi.

Hakim Agung Artidjo di satu pihak dianggap sebagai pemberantas korupsi yang bijaksana dengan memberikan hukuman berat bagi bagi koruptor, tetapi bagi koruptor dan kroninya Artidjo dianggap sebagai “pembunuh berdarah dingin” sebab tanpa peri-kemanusiaan menjatuhkan hukuman berat. Juga tanpa pandang status sosial.

Dalam proses hukum tindak pidana korupsi, kita akan menghadapi dua hal yang kemungkinan akan menjadi kecenderungan beberapa waktu ke depan.

Pertama, dengan pensiunnya sang hakim agung Artidjo Alkostar, maka kemungkinan besar arus permohonan banding dan kasasi terutama PK akan mengalir deras beberapa waktu mendatang. Sebab para koruptor wajar berupaya mengurangi hukuman bahkan menghapuskannya, dengan menempuh semua jalan yang terbuka.

Dengan harapan, kalau Artidjo selama ini bagaikan “ayam tidak makan jagung” tentu ada yang berharap yang ditinggalkannya tidak seperti itu. Dengan harapan pengajuan banding, kasasi dan PK berharap para hakim dan Hakim Agung tidak “mati rasa” seperti Artidjo, yang hampir steril terhadap pengaruh luar kecuali bathinnya sendiri dengan keyakinannya.

Kedua, setelah mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Ir. Antonius Tonny Budiono MM diputus lima tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Jakarta dari tuntutan Jaksa 7 tahun, Kamis 17 Mei 2018 lalu dianggap fenomenal.

Antonius Tonny Budiono selain hanya dihukum 5 tahun, juga mendapat Justice Collaborato (JC) serta sebagian dana-dana yang disita dikembalikan karena tidak terkait perkara dari Dakwaan semula yakni korupsi sekitar Rp 23 miliar. Dengan JC Antonius Tonny Budiono akan mendapat remisi seperti nara pidana tindak pidana umum, akan memperoleh remisi (pengurangan) hukuman.

Pemberian JC tersebut memang beralasan karena yang bersangkutan sejak terkena OTT 23 Agustus 2017 sampai di persidangan tetap koperatif dan mengakui kesalahannya, serta mengajukan kelemensi yaitu permohonan pengampunan dan meminta keringan hukuman kepada majelis hakim.

Kelemensi tersebut kelihatannya akan menjadi trend atau kecenderungan untuk diikuti terutama mereka-mereka yang terkena OTT serta yang terkena imbas dari kelakuan orang lain. Namun pengajuan JC dan kelemensi masih tergantung berbagai faktor, sebab Setya Novanto juga mengajukan JC tetapi tidak dikabulkan.

Kemungkinan besar akan banyak mengembalian dana-dana yang diduga dikorupsikan koperatif jujur dan mengakui kesalahan terutama yang terkena OTT, sebab Penyidik KPK sudah merekamnya.

Karenanya, arus pengajuan perkara banding dan kasasi serta PK mungkin akan meningkat, termasuk pengajuan JC dan klemensi aakan mewarnai persidangan kasus korupsi. (Bch)

4 comments

  1. There are actually lots of particulars like that to take into consideration. That may be a great level to deliver up. I supply the thoughts above as common inspiration however clearly there are questions like the one you carry up where an important factor can be working in trustworthy good faith. I don?t know if finest practices have emerged round issues like that, but I am positive that your job is clearly recognized as a fair game. Each boys and girls feel the influence of just a second抯 pleasure, for the remainder of their lives.

  2. I was curious if you ever considered changing the page layout of your website? Its very well written; I love what youve got to say. But maybe you could a little more in the way of content so people could connect with it better. Youve got an awful lot of text for only having 1 or 2 pictures. Maybe you could space it out better?

Comments are closed.