Emas Disangka Loyang, Ternyata Berlian

Loading

IndependensI.com – Setelah Ali Mochtar Ngabalin dilantik menjadi Staf Ahli Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi pada Kantor Staf Presidenan (KSP) langsung menjadi pusat perhatian. Memang putra Fakfak Papua ini selalu menarik perhatian, ciri khas peci dan ceplas-ceplos. Anggota DPR 2004 -2009 dari Partai Bulan Bintang ini menjadi politisi Partai Golongan Karya (Golkar) Rabu (23/5/2018) resmi menjadi juru bicara Pemerintah.

Pelantikan Ali Mochtar Ngabalin itu menarik, karena pada Pemilihan Prsiden 2014 dia adalah pendukung dan Tim Pemenangan Capres Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa yang juga didukung Partai Golkar.

Siapa dan bagaimana Ali Mochtar Ngabalin menjadi viral di berbagai media social maupun media massa. Salah satu yang beredar adalah video tayangan Metro TV dengan pembawa acara Najwa Shihab dan mewawancarai Ali Mochtar Ngabalin, dengan disaksikan Kofifah Indarparawansa, tidak jelas kapan dan dalam rangka apa tayangan tersebut.

Tetapi terdengar dengan suara dan terlihat gaya Najwa Shihab dengan pertanyaan: “Pak apa anda tidak mau memilih Jokowi?, yang dijawab Ali Mochtar ”apa urusannya dengan Jokowi bagi saya, nggak ada penting”, disahut Nazwa “tidak penting?”, disambung Ali Mochtar Ngabalin, ”tidak penting, karena memilih itu adalah persoalan rasa. Orang memilih Presiden Indonesia ini bukan memilih di satu kota atau kabupaten, nggak Nazwa. Republik Indonesia terlalu luas nggak bisa musti orang kuat, orang yang disegani. Baru benar”. Disambut Nazwa, “Dan itu Anda lihat tidak ada pada Jokowi”, Ali Mochtar Ngabalin jawab “Ada di Prabowo Subianto”, sambil menggeser duduk dan kursinya, dan Kofifah terlihat seperti biasanya mesem-mesem saja.

Tayangan singkat itu sungguh menarik untuk dibahas dan tentu bermacam tanggapan dan pendapat banyak yang memberi tanggapan negatif, tetapi tidak sedikit yang menyambut pengangkatan Ali Mochtar Ngabalin menjadi orang Istana. Ada juga yang mempertanyakan, mengapa Jokowi mengangkat Ali Moctar Ngabalin yang tidak mendukungnya ketika kampanye Pilpres 2014 lalu dan malah “meremehkan” Jokowi.

Kadang-kadang kita lupa, bahwa dalam politik “tidak ada lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”; “pagi tempe, sore kedele”; “tidak kenal maka tidak sayang” dan banyak lagi ungkapan-ungkapan sebagai alat pemaaf.

Apapun alasannya harus diakui bahwa apa yang dilakukan Joko Widodo-Jusuf Kalla di luar dugaan, walaupun banyak yang tidak mengakui hasil kerja Kabinet Kerja Jokowi-JK walau belum lima tahun.

Tidaklah manusia dan tidak memiliki nurani, kalau Ali Mochtar Ngabalin tidak mengakui apa yang dilakukan Pemerintahan Jokowi di pegunungan Papua dan Papua Barat. Selama ini harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan lain-lain kebutuhan bisa seratus kali dari harga di Jakarta, Jokowi mengupayakan agar Papua tidak lagi daerah terbelakang.

Memang kalau Jokowi sebagai individu dengan postur tubuh yang tidak mendukung, putra Solo dari tukang kayu hanya mantan Walikota dan Gubernur DKI tidak seimbang dengan rivalnya waktu itu (2014) Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Mantan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), putra seorang Menteri dan Menantu Mantan Presiden, ada “benarnya” kata-kata Ali Mochtar Ngabalin harus orang kuat dan orang yang disegani.

Tetapi fakta berbicara, ternyata “alam” dan masyarakat memilih Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia, tidak salah kalau Ali Mochtar Ngabalin merubah posisinya menjadi juru bicara “keberhasilan” Jokowi-JK, selain mengatakan yang benar itu benar, dapat kedudukan lagi.

Sebagai politisi tentu Ali Mochtar Ngabalin harus melihat kenyataan, dengan sikap seorang kesatria harus berani mengubah pola pikir sebagai sikap dan sifat mulia untuk mengatakan yang baik itu baik dan yang tidak baik itu tidak baik, sesuai dengan fakta dan bukti nyata.

Jadi kalau pada awalnya sebelum melihat hasil kerja Jokowi, Ali Mochtar Ngabalin menganggap Jokowi itu bagaikan “loyang” pada hal “emas” akan tetapi dalam kenyataanya adalah “berlian”, harus diakui dengan tulus.

Tidak salah kalau semula emas disangka loyang tetapi ternyata berlian, justru kesatria, bagaimana pada Pilpres 2019, apakah Ali Mochtar Ngabalin tetap di posisi sekarang, yang namanya politisi sering bagaikan pelaut, melihat arah angin. Di tahun politik, apapun bisa terjadi. (Bch)

2 comments

  1. Usually I don’t read article on blogs, but I would like to say that this write-up very forced me to try and do it! Your writing style has been surprised me. Thanks, quite nice post.

Comments are closed.