Max Sopacua (Dokumentasi)

Ini Penyebab Kegagalan Pegolf Indonesia di SEA Games 2017

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Hasil yang diraih kontingen golf Indonesia di SEA Games 2017 Kuala Lumpur ternyata jauh dari perkiraan awal. Pengurus Besar Persatuan Golf Indonesia (PB PGI) memproyeksikan hasil yang lebih baik dibanding SEA Games 2015. Sasaran itu ternyata tidak tercapai.

Dominasi Thailand di cabang golf ini bukan sesuatu yang aneh jika kita melihat hebatnya pembinaan olahraga ini. Jangankan SEA Games, PGA Tour pun bisa mereka tembus. Mereka sekarang mengejar prestasi pegolf Korea Selatan dan Jepang yang lebih awal merajai cabang ini di kawasan Asia.

Sekarang timbul pertanyaan di mana letak keunggulan pembinaan yang dilakukan negara-negara tersebut? Lalu di mana kelemahan pembinaan di yang dilakukan Indonesia.

Saya adalah orang yang selalu hadir dlm pesta olahraga Asia Tenggara ini sejak 1983 hingga 2003. Setiap dua tahun membuat liputan persiapan atlet berbagai cabang termasuk golf, dan juga membuat liputan persiapan para atlet negara-negara tetangga. Khusus negara yang berpotensi menjadi lawan berat Indonesia.

Dari sinilah tergambar bagaimana atlet-atlet yang akan berjuang membela nama bangsa dan negara ini diperlakukan.

Sekarang pengamatan kita arahkan ke cabang olahraga golf, yang hasilnya mengecewakan buat Indoneseia. Tiga orang pegolf putra yang diandalkan ternyata terlempar dari peringkat elite penerima medali.

Hanya Jonathan Wiyono yang berada di peringkat lebih baik dari pegolf indonesia lainnya. Jonathan menempati posisi tujuh dengan membukukan 3-under.

Kevin C Akbar di urutan 13 dengan 5-over. Naraajie Emerald, yang menjuarai OJAO III dengan skor 7under, terlempar ke urutan 20 di Kuala Lumpur dengan skor 7-over.

Max Sopacua menyerahkan hasil risalah diskusi golf beberapa waktu lalu kepada Ketua Umum PB PGI, Murdaya Po.

Apa sih masalahnya?

Di awal tulisan ini sudah saya singgung tentang masalah pembinaan yang dilakukan negara-negara tetangga terhadap atletnya yang akan membela nama bangsa dan negaranya di kerjuaraan internasional. Setelah diteliti, ada beberapa masalah yang sebenarnya perlu diperhatikan.

Pegolf Indonesia sangat jarang bertanding pesta olahraga multicabang. Sebagian pegolf memiliki tempat yang berbeda dan jauh dari jangkauan. Malah ada yang berlatih secara individu di luar negeri, dan kembali ke Indonesia hanya ketika dipanggil mengikuti SEA Games.

Kalau demikian, perlu dipertanyakan seberapa lama dan bagaimana caranya seorang manajer tim melakukan pembinaan terhadap atlet yang dipimpinnya.

Bagaimana menyatukan tekad dan niat untuk membawa nama bangsa dan negara di ajang internasional. Ini bukan layaknya urusan baris berbaris yang kalau salah dibentak. Ini urusan pendekatan yang terus menerus baik secara fisik maupun secara moral.

Membiarkan atlet berlatih sendiri-sendiri dan baru dikumpulkan ketika akan membela negara di SEA Games atau Asian Games adalah cara yang tidak boleh dipakai lagi.

Manajer tim harus benar-benar orang yang dapat berperan sebagai teman, kebapakan, dan mengayomi.

Secara umum, tanggung jawab ada pada pengurus induk olahraga, dalam hal ini PB PGI. Sekarang yang dipertanyakan bagaimana pola dasar yang diterapkan PB PGI dalam pembinaan atletnya untuk menghadapi ajang multicabang. Bagaimana PB PGI memutuskan layak atau tidaknya seorang atlet mewakili negara.

Cabang-cabang olahraga lain mungkin memiliki pemusatan latihan yang dipantau dari hari ke hari.

Apakah di cabang golf ada pemusatan latihan seperti itu? Jika ada, bagaimana mengumpulkan para pegolf yang secara individu berlatih di luar negeri?

Memang PB PGI sudah melakukan pemilihan sesuai prosedur seperti berdasarkan WAGR atau World Amateur Golf Ranking, kemudian Order of Merit PB PGI, dan pilihan pelatih.

Tapi ini dasar-dasar umum. Semua mengakui bahwa kualitas mereka secara individu tidak diragukan. Tetapi apakah hanya itu yang menjadi acuan dalam merebut medali emas?

Tentu tidak. Faktor mental bertanding di ajang multicabang tentu tidak akan sama dengan penilaian pelatih sewaktu latihan.

Faktor peringkat sesuai dengan WAGR juga bisa saja rontok jika semangat juang atlet tidak dibina selama pemusatan latihan.

Justru semua ini memerlukan manajer tim yang multifungsi. Kenapa banyak sekali pegolf yang didampingi orang tuanya sebagai manajer atau pendamping. Sebab di situlah ada rasa lebih tenang dan dorongan kuat untuk menang.

Inilah kunci bagi PB PGI untuk menghadirkan seorang manajer yang dapat menjalankan berbagai tugas.

Peranan manajer inilah yang menjadi pemimpin di lapangan. Dia harus menciptakan hubungan yang indah dengan para atlet yang dipimpinnya.

Wismoyo Arismunandar semasa menjadi Ketua KONI selalu nengingatkan para manajer tim untuk selalu menciptakan hubungan yang indah dengan para atlet yang dipimpinnya.

Saya masih ingat beliau selalu mengatakan: “Hubungan yang indah antara pemimpin dan yang dipimpin adalah kekuatan dahsyat yang dapat membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.”

inilah kekuatan manajer tim untuk membawa “anak-anak” yang dipimpinnya meraih sukses. Catatan SEA Games 2015 di Singapura dengan Netty Hariadi dan Dian Mariyun sebagai manajer tim, dengan berbagai keterbatasan, bisa membawa pulang dua medali perak dan satu medali perunggu.

Medali perak didapat dari Rivani Adelia Sihotang di nomor perorangan putri dan beregu putri. Satu-satunya perunggu didapat dari nomor beregu putra.

Target satu medali emas di SEA Games 2017 Kuala Lumpur jauh dari jangkauan. PB PGI harus segera melakukan evaluasi dari kegagalan ini.

Di mana letak kesalahan sehingga bisa meleset jauh dari target?

Tahun depan Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games. Lapangan golf akan dipenuhi dengan pegolf yang memiliki peringkat dunia. Mengharapkan medali “seperti  pungguk merindukan bulan”. Namun demikian, perbaikan petingkat perlu dipikirkan.

Di nomor beregu, Indonesia tidak kehilangan muka karena tim putri berhasil meraih medali merak dan tim putra mendapatkan perunggu.

Kita wajib bersyukur karena biarpun lagu Indonesia Raya tidak berkumandang di arena golf, setidaknya bendera Merah Putih masih bisa berkibar.

Sejak awal, semangat PB PGI tidak diragukan. Namun daya dukung dari dari perangkat di bawahnya perlu mendapat perhatian.

Memicu kemampuan para pegolf antara hasil latihan dan orientasi di ajang multicabang sangat perlu dilakukan berkali kali. Ini adalah pemantapan mental ketika berhadapan dengan lawan-lawan yang bukan lawan latih tanding.

Mudah-mudahan besarnya biaya yang sudah dikeluarkan oleh PB PGI, termasuk mendatangkan pelatih asing bisa mengangkat nama Indonesia di dunia golf. (Max Sopacua)

Penulis adalah pengamat olahraga golf, serta mantan produser dan reporter olahraga TVRI.