JAKARTA (Independensi.com) – Rakyat Indonesia berhak berbahagia karena pemilihan kepala daerah secara serentak pada Rabu (27/6) yang diikuti sekitar 152 juta pemilih di 17 provinsi, 39 kota, serta 119 kabupaten berlangsung aman, tanpa adanya gangguan.
Dari Provinsi Papua, misalnya, yang sering terdengar adanya ulah kelompok sipil bersenjata (KSB) yang mengganggu penduduk setempat, ternyata suasananya tetap terkendali karena praktis tidak ada gangguan keamanan.
Para pengganggu keamanan itu seakan-akan menjadikan dirinya sebagai “penguasa” sehingga acapkali meresahkan warga setempat, pendatang, hingga petugas keamanan dari Polri dan TNI.
Namun sampai dengan Rabu siang, tidak terdengar ulah menjengkelkan atau bahkan memuakkan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto saat meninjau proses pemungutan suara di Bogor, Jawa Barat secara langsung menyampaikan rasa gembiranya bahwa pesta demokrasi ini berlangsung aman, tertib, dan terkendali.
Jenderal TNI purnawirawan ini menegaskan bahwa tidak ada perintah dari para pejabat, baik di daerah maupun pusat, kepada anak buahnya untuk mengganggu jalannya proses pemungutan suara, termasuk tidak netralnya aparatur sipil negara (ASN) prajurit Polri serta TNI.
Kalaupun ada hal yang negatif maka hal itu bukanlah perintah dari atasan, aka tetapi semata-mata ulah oknum pegawai negeri, prajurit Polri, ataupun TNI.
Polri telah mengerahkan sekitar 170.000 personelnya untuk mengamankan pilkada, ditambah dengan kurang lebih 70.000 prajurit TNI, ratusan ribu anggota Perlindungan Masyarakat atau linmas sehingga para pemilih bisa dengan hati lega mendatangi TPS yang telah ditetapkan KPU.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memuji Presiden Joko Widodo yang memerintahkan aparat keamanan dan pertahanan mulai dari Polri, TNI, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) untuk bersikap netaral dalam pilkada serentak ini. Yudhoyono memilih di kawasan Cikeas, Bogor Presiden keenam RI yang kadang kala dianggap “berseberangan” dengan pemerintahan Joko Widodo juga melontarkan pujian kepada Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, hingga Kepala BIN Budi Gunawan yang telah memerintahkan seluruh jajarannya untuk bersikap netral dalam pesta politik ini.
Oleh karena itu, tidak heran jika ratusan juta pemilih di 17 provinsi, 39 kota, serta 119 kabupaten dengan rasa aman dan santai berdatangan secara sukarela ke tempat-tempat pemungutan suara untuk mencoblos gambar para calon pemimpin mereka, mulai dari gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota, hingga bupati-wakil bupati masa bakti 2018-2023.
Pilkada ini menjadi perhatian tidak hanya orang Indonesia, akan tetapi juga para pengamat dari luar negeri, seperti Australia dan Swiss, serta sejumlah diplomat asing yang berkedudukan di Jakarta karena pemungutan suara ini tidak hanya berkaitan dengan kepentingan orang-orang di daerah, akan tetapi juga karena pada April 2019 akan berlangsung pemilihan anggota DPD, DPR RI, DPRD I dan II hingga pemilihan presiden dan wakil presiden.
Oleh karena itu pilkada serentak ini bisa dijadikan acuan atau referensi bagi pesta demokrasi pada 2019.
Masyarakat di tiga provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur akan memilih gubernur dan wakil gubernur masing-masing.
Di daerah Sunda, misalnya muncul tokoh-tokoh beken mulai dari Ridwan Kamil serta Deddy Mizwar, kemudian di Jawa Tengah petahana gubernur Ganjar Pranowo tampil lagi bersaing dengan Sudirman Said, sedangkan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf harus bersaing lagi dengan “musuh bebuyutannya” Khofiffah Indar Parawansa.
Di Sumatera Utara, muncul pertarungan di antara dua “orang Jakarta” yakni Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Edi Rachmayadi dan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
Pemilihan gubernur juga berlangsung di Lampung, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, serta beberapa daerah tingkat satu lainnya.
Sekalipun pemungutan suara itu praktis tanpa cacat, tetap saja ada yang harus diperbaiki untuk pilkada-pilkada pada masa mendatang.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat meninjau proses pemungutan suara di Semarang, Jawa Tengah mengungkapkan bahwa sekalipun ia sudah tiga tahun tinggal di Jakarta, tetap saja terdaftar juga di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah itu, sehingga hak pilihnya menjadi dobel alias ganda.
Kesalahan ini tentunya tidak boleh terjadi lagi pada masa mendatang.
Harapan Rakyat Setelah pemungutan suara dinyatakan selesai pada pukul 13.00 waktu setempat, maka kemudian dilakukan penghitungan suara oleh petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat provinsi, kota, atau kabupaten.
Persoalan atau pertanyaan mendasarnya adalah apakah penghitungan suara ini lancar atau mandeg, ataupun jujur atau tidak. Oleh karena itu, berbagai pihak yang terlibat, terutama partai politik peserta pilkada dan juga calon perseorangan, menyiapkan ribuan saksi serta relawan.
Pada masa lalu, seringkali ada kecurigaan bahwa surat suara itu bisa “dimainkan” sehingga seorang calon yang kalah akhirnya bisa dinyatakan memang.
Oleh karena itu, proses penghitungan suara ini harus dipantau secara amat ketat, mulai dari KPU, Bawaslu, saksi, hingga relawan.
Masyarakat tentu amat berharap agar proses perhitungan suara hingga penetapan pemenang berlangsung aman, jujur sehingga akhirnya yang terpilih adalah benar- benar pejabat yang mau melaksanakan tugas atau amanah dari rakyat.
Dambaan rakyat pada dasarnya tidaklah berlebihan, yaitu cukupnya pangan, sandang dengan harga yang terjangkau oleh kantong yang “tipis” serta bisa memiliki rumah.
Satu hal yang amat didambakan oleh rakyat di manapun dia tinggal adalah pilkada serentak pada 27 Juni 2018 tidak melahirkan lagi gubernur, bupati, serta wali kota yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atas tuduhan memakan uang rakyat dan negara, ataupun menerima suap dari pengusaha.
Pada 2018 saja sudah beberapa wali kota, bupati yang digerebek oleh lembaga antirasuah itu dalam operasi tangkap tangan karena menerima sogokan atau gratifikasi.
Masyarakat pasti sudah muak mendengar pejabat daerah dan pusat yang ditangkap tangan KPK, seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Rita Widyasari ataupun mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah gara-gara “setumpuk atau sekarung” uang sogokan.
Masyarakat tentu berharap pilkada serentak tahun ini benar-benar menghasilkan pejabat-pejabat bersih, siap menjadi pelayan masyarakat, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Para pejabat baru, janganlah sakiti dan kecewakan hati rakyat!