JAKARTA (IndependensI.com) – Campak dapat menyebabkan komplikasi yang serius, seperti diare, radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis), kebutaan, gizi buruk dan bahkan kematian. Masih belum lekang dari ingatan kita, KLB Campak dan Gizi Buruk mengakibatkan 75 anak meninggal di Asmat dari 651 anak yang terjangkit campak dari Desember 2017 hingga Maret 2018.
Dampak Rubella terburuk apabila terjangkit pada ibu hamil. Rubella menyebabkan keguguran atau kecacatan pada janin. Kecacatan tersebut meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian atau keterlambatan perkembangan dan tidak dapat diobati.
Secara dampak ekonomi, beban pada orang tua yang anaknya cacat karena Rubella bisa mencapai Rp 300 juta – 400 juta per anak per tahun. Belum menghitung biaya waktu dan biaya kehilangan produktivitas dari masa depan anak. Apabila tidak mencapai target 95%, maka imunitas kawanan (herd immunity) tidak terbentuk dan program imunisasi dinyatakan gagal.
Karena itu, pemerintah bersepakat, Imunisasi MR Fase Kedua yang harusnya tuntas akhir bulan ini harus dituntaskan, meski menemui banyak hambatan di berbagai daerah.
Pernyataan itu disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho dalam Rapat Koordinasi Kampanye Imunisasi MR Tahap II di Bina Graha, Kantor Staf Presiden, Rabu, 12 September 2018.
Temuan Kantor Staf Presiden dari lapangan menyatakan, tenaga petugas kesehatan mengalami penolakan dari masyarakat.
Dari Puskemas Papoyato Induk, Pohuwatu, Gorontalo dilaporkan 6 petugas kesehatan yang melakukan imunisasi MR di Desa Torosiaje Kepulauan, mendapat ancaman karena orang tua anak yang diimunisasi membawa parang, mengunci rumah, dan mengancam akan memotong petugas yang melakukan penyuntikan.
Sementara itu, dari Posyandu di wilayah Puskesmas Selalak Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, seorang laki-laki menanyakan dan mengatakan bahwa imunisasi haram karena dari babi. Laki-laki ini datang dengan membawa senjata tajam dan memaksa petugas untuk membuang vaksin MR. Petugas ketakutan dan akhirnya meninggalkan posyandu untuk kembali ke puskesmas.
Peristiwa lain terjadi di Puskesmas Tanah Datar, Sumatera Barat. Orang tua mendatangi bidan desa, kepala sekolah dan wali nagari, menyatakan tidak terima anaknya disuntik. Mereka mengatakan akan menuntut tenaga kesehatan dan pemerintah, serta meminta bidan desa, kepala sekolah, dan wali nigari menandatangani surat pernyataan minta maaf.
Mengatasi hambatan-hambatan di lapangan ini, pemerintah akan melakukan komunikasi publik secara massif dan melibatkan lintas sektor sehingga cakupan Imunisasi MR-2 bisa lebih luas.
“Cakupan Imunisasi MR Fase II amat rendah, jauh di bawah target 95 persen, sementara waktu tersisa sudah amat singkat,” kata Yanuar. Sebagai gambaran, pada Imunisasi MR Fase I tahun lalu, berhasil dengan sangat sukses. Cakupan imunisasi menjangkau 35.307.148 anak usia 9 bulan hingga 15 tahun di Pulau Jawa, jauh melebihi target 95 persen.
Sementara itu, pelaksanaan kampanye imunisasi MR fase 2 menargetkan hampir 32 juta anak usia 9 bulan hingga 15 tahun di 28 provinsi di luar Pulau Jawa, hingga 10 September, baru mencakup 42.98 persen, dari seharusnya mencapai 75 persen.
Yanuar menjelaskan ada beberapa permasalahan yang menyebabkan cakupan Imunisasi MR Fase 2 rendah. Di tingkat masyarakat, ada tantangan kesenjangan pemahaman terkait fatwa, sementara di tingkat tenaga kesehatan, ada kesulitan di lapangan karena masalah keamanan.
Padahal, apabila kampanye Imunisasi MR Fase 2 ini tidak berhasil, maka 32 juta anak Indonesia di antara umur 9 bulan dan 15 tahun tidak terlindungi virus Campak dan Rubella.
Yanuar menegaskan, ditinjau dari dampak pertahanan kesehatan, rendahnya cakupan imunisasi berpotensi melemahkan ketahanan kesehatan bangsa. “Indonesia akan tetap rentan terhadap penyakit menular yang berpotensi mewabah dan merenggut nyawa, padahal penyakit tersebut dapat dihindarkan,” kata Yanuar.
Untuk itu, menghadapi tantangan kampanye Imunisasi MR Fase II, pemerintah akan tampil suatu suara membuat narasi publik secara massif. Terutama terkait bahaya penyakit campak dan rubella, baik secara dampak langsung ataupun kerugian ekonomi.
“Kami juga akan melakukan prioritisasi kewilayahan untuk memfokuskan upaya Imunisasi MR Fase II secara optimal,” ungkapnya.
Sanksi Bagi Pemerintah Daerah
Pada pertemuan ini, Direktur Singkronisasi Pemerintah Daerah Kementerian Dalam Negeri Eduard Sigalingging menggarisbawahi Imunisasi MR Fase II harus dipastikan terseksekusi di daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. “Kami menyurati gubernur mengenai pelaksanaan imunisasi MR II pasca adanya fatwa dari MUI,” paparnya.
Eduard menegaskan, akan ada konsekuensi tersendiri bagi daerah yang menolak program ini. “Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah harus mendukung suksesnya program-program pemerintah,” katanya.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Vensya Sitohang menyatakan, dukungan pelaksanaan Imunisasi MR Fase II harus didapatkan dari semua pihak dan lembaga. “Kami berharap polisi memberikan perlindungan optimal, karena banyak tenaga kesehatan kami di lapangan merasa tak aman,” ungkapnya.
Ditekankan, pemberian imunisasi merupaan hak anak yang harus dipenuhi. “Ini harus kita kejar, jangan sampai ada yang terlewat. Secara logistik, baik vaksin, maupun anggaran kami siap. Tinggal bagaimana memastikan agar masyarakat memperoleh haknya dan tidak terhalangi,” terangnya.