IndependensI.com – Profesi Advokat kelihatannya sangat popular dan menggiurkan bagi masyarkat awam, seolah Advokat itu “kebal hukum dan politik”. Dengan kepiawaian bicara menjadikannya pemilik kebenaran, walau tergantung pada cara pandang masing-masing.
Persoalannya, apa penyebabnya sehingga profesi Adokat itu menjadi terminal terakhir di mana banyak pensiunan PNS/TNI-Polri merapat menjadi Advokat/Pengacara, walaupun banyak juga Advokat jadi Menteri, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anggota DPR dan jabatan-jabatan lainnya.
Persoalan berikutnya, apakah kehadiran para tokoh-tokoh itu meningkatkan penegakan hukum dan hak asasi manusia serta mempertinggi harkat dan martabat Advokat? Masih belum tahu apa ada yang meneliti. Jangan-jangan cuma sekedar agar tidak hanya momong cucu di rumah, alias pengisi waktu saja atau ingin menyalurkan kemampuan dan mengabdi untuk nusa dan bangsa.
Para mantan petinggi itu tentunya tidak melanggar hukum dalam memperoleh status profesi Advokat yang artinya memenuhi persyaratan UU.
Mengenai kebebasan dan hak imunitas hukum advokat itu tidak seperti persepsi masyarakat awam, karena Advokat itu justru “diikat” oleh Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003 dan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).
Pasal 16 UU A menyebutkan: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Cakupan pasal ini diperluas lagi oleh Putusan MK No. 26-PUU/XI)2013 sehingga tidak hanya di dalam siding pengadilan tetapi juga di luar sidang pengadilan.
MK saat ini sedang memeriksa dan mengadili permohonan Judisial Review (JR) perbaikan Putusan tersebut, agar penilaian “itikad baik” advokat dalam membela kepentingan kliennya itu diuji terlebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Memang belum ada pengaturannya.
Selain pasal 16 UUA di atas, KEAI Pasal 7 huruf g menyebutkan: Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggungjawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
Hampir sama kedua pasal yang diatur oleh dua rejim hukum tersebut, etika dan undang-undang, tetapi yang jelas yang berwenang terhadap Pasal 16 tidak disebutkan, sedang Pasal 7 KEAI jelas menjadi domain DKOA.
Dilihat dari segi kewenangan, memang ada baiknya Permohonan Perbaikan Putusan MK tersebut, siapa yang berwenang menilai “itikad baik” seorang Advokat sebelum dituntut secara pidana atau perdata sebagaimana diatur Pasal 16 UUA.
Itikad baik memang menyangkut etika, tetapi sesuai dengan kode etik, DK KEAI OA memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik semata yang diadukan secara tertulis. Pengadu juga terbatas yaitu Klien, teman sejawat Advokat, Pejabat Pemerintah, Anggota Masyarakat dan DPP/DPC/DPD dan organisasi profesi di mana Teradu menjadi anggota.
Kalaulah “pemicu” Permohonan JR itu menyangkut Pasal 21 UU Tipikor, siapa yang akan mengadukan ke DKOA secara tertulis? Sementaa kebutuhan proses hukum menuntut cepat? Pasa 21 itu juga bersifat umum bukan hanya Advokat terbukti ikut Dokter Bimanesh diseret ke Pengadilan bersama Fredrich Yunadi. Demikian juga nanti, apa mungkin hanya Lucas yang bertanggung jawab atas dugaan lolosnya Edy Sindoro ke luar negeri.
Memang organisasi advokad sekarang ini sangat-sangat memprihatinkan, dan bahkan ditafsirkan bahwa dengan ditolaknya Gugatan Fauzie Yusuf Hasibuan cs terhadap Juniver Girsang cs, sebagai dua-duanya tidak sah, maka putusan-putusan kedua DK OA juga bisa dipermasalahkan, sebab diputus oleh DK dari Kepengurusan yang tidak Sah, yang dapat ditafsirkan sebagai Persidangan Pemerintahan di Pengasingan.
Dengan adanya JR tentang “itikad baik” Advokat sebagaimana diatur Pasal 16 UU Advokat, hendaknya membuka mata kita bahwa Advokat itu adalah sebagai penegak hukum, yang seharusnya dimaknai tidak hanya ber’itikad baik” dalam membela Klien tetapi juga jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya baik kepada Klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
Pemerintah dan DPR harus buka mata agar Organisasi Advokat itu sebagai penegak hukum sehingga pengorganisasiannya juga layaknya penegak hukum, apalagi etika dan moralnya harus dikembalikan kepada Undang-undang dan Kode Etik Profesi.
Menunggu perbaikan UU Advokat, ada baiknya Organisasi Advokad yang ada sekarang membentuk satu Dewan Kehormatan bersama sebagai pelaksana dan pengawas Kodem Etik Profesi yangdiakui berlaku agar ada jaminan bagi masyarakat pencari keailan, dan advokat itu benar-benar profesi terhormat (officium nobile). (Bch)